Sindiran Jakarta dalam Komedi Betawi

| dilihat 2706

AKARPADINEWS.COM | DKI Jakarta menjadi salah satu kota pilihan bagi para pencari kerja. Jakarta menjadi primadona karena memiliki sumber-sumber ekonomi yang dapat dijamah sehingga diyakini dapat mengubah hidup para perantau yang datang dari berbagai pelosok Indonesia.Daya magnet Jakarta itu yang coba dikisahkan, tiga anak muda yakni Cak Lontong, Akbar, dan Arie Kriting. Ketiganya terpesona dengan kemegahan Jakarta.

Di depan Monumen Nasional (Monas), ketiga berandai-andai. Mereka berpikir, hidup di ibu kota, lebih enak dibanding desa. Bisa kerja di pabrik atau di kantor, dan menyuarakan mimpi maupun harapan untuk sukses, kaya, dan populer. Mereka tidak percaya kejamnya dengan penilai ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.

Ketiganya lalu mengukuhkan janji. Mereka akan saling mendukung dan kompak dalam menghadapi kesulitan. Dengan tangan yang saling direkatkan, mereka bersumpah, “Satu untuk semua, semua untuk satu.”   

Jakarta memang menjanjikan. Di Jakarta ada segala-galanya. Dengan kerja keras dan pantang menyerah, sesuatu yang menjanjikan itu, bisa direngkuh. Tentu, semua juga berpulang dengan garis tangan seseorang. Namun, Jakarta juga menyisahkan pelbagai persoalan.

Tidak mudah mewujudkan mimpi. Selain berpeluh keringat, para pencari kerja juga harus bersaing dengan pekerja-pekerja lainnya. Kadang kala, untuk mencapai kemenangan dalam persaingan, seseorang menghalalkan cara-cara yang tidak dibenarkan.

*****

Panggung lalu berganti menjadi suasana kantor yang terletak di salah satu gedung pencakar langit. Di sana, Miing Bagito, sukses menjadi pengusaha besar. Dia ditemani ajudan setianya, Didin Bagito, dan sekretaris yang cantik dengan tubuh semampai.

Tidak lama kemudian, datang Marwoto, seorang pejabat negara yang memiliki kekuasaan. Marwoto menemui Miing. Keduanya rupanya membicarakan sebuah proyek besar: penggusuran.

Awalnya, proyek itu sifatnya rahasia. Mungkin, mereka khawatir jika rencana penggusuran itu dapat menuai penolakan warga. Namun, mereka juga yang terang-terangan berbicara kepada penonton skenario proyek yang melibatkan segerombolan preman dan mengorbankan kepentingan banyak orang.

Beberapa preman yang diperankan dalam pementasan itu adalah Trio Gam yakni Gareng, Wisben dan Joned. Pementasan yang kental dengan kritik sosial itu juga menuai gelak tawa penonton. Penonton tak henti-hentinya terpingkal-pingkal lantaran mendengar lontaran kata-kata bernada satir yang  berbalut komedi.

Lakon mereka itu disuguhkan dalam adegan pembuka dari pertunjukan Indonesia Kita berjuluk Komedi Tali Jodo yang dipentaskan, Jumat & Sabtu, 27-28 Mei 2016 pukul 20.00 WIB di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Memasuki tahun keenam, Indonesia Kita yang digagas oleh tiga seniman bersaudara; Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, dan Agus Noor pada pertunjukan ke-19 ini menampilkan perihal Jakarta, dalam sudut pandang kaum pendatang, yang dibalut komedi bergaya lenong khas Betawi, bersama lagu-lagu warisan dari maestro Betawi, Benyamin Sueb.

Karena itu, panggung komedi Tali Jodo turut melibatkan para aktor yang pernah berjaya di era 1990-an melalui sinetron Si Doel Anak Betawi seperti Maudy Koesnaedi dan Mandra. Teater Abang None (AbNon) sebagai Betawi ala anak muda yang dibina Maudy juga turut terlibat dalam pertunjukan untuk melengkapi akting, tarian, dan nyanyian.

Sosok Tali diperankan Fitri Aprillia dan Jodo diperankan Wandha Dwiutari. Keduanya adalah anggota Teater AbNon. Mereka tampil cukup baik bersama Maudy yang berperan sebagai sang ibu Tali dan Jodo, serta Mandra sebagai paman mereka.

Diceritakan, Tali dan Jodo yang sedang menjaga warung kopi, bertemu dengan Cak Lontong, Akbar, dan Arie Kriting. Tiba-tiba datang beberapa preman yang meminta jatah kepada Tali dan Jodo. Para begundal itu juga tidak segan melakukan kekerasan.

Untungnya, Cak Lontong yang jago berkelahi, mampu menghalau kelakuan jahat para preman. Cak Lontong berhasil menyelamatkan Tali dan Jodo. Cak Lontong pun menuai apresiasi. Namun, kedua gadis Betawi ini malah jatuh cinta pada Akbar dan Arie Kriting. Karena urusan percintaan, persahabatan ketiganya pun retak.

Cak Lontong pun akhirnya berpisah dengan kedua sahabatnya itu. Dia berjanji akan membuktikan akan sukses, tanpa bersama Akbar dan Arie yang dia anggap sebagai penghianat.

Panggung teater memang selalu menunjukan keajaiban dengan cepat. Tidak berselang lama, Miing yang mengetahui Cak Lontong jago berkelahi, akhirnya menawarinya menempati posisi direktur dan akan memberikan upah yang berlimpah. Tawaran yang menggiurkan itu pun diterima Cak Lontong. Apalagi, dia ingin membuktikan kepada Akbar dan Arie jika bisa menjadi kaya dari jerih payahnya sendiri.

Lalu, dengan sombongnya, Cak Lontong datang ke rumah Tali dan Jodo. Dia juga menunjukan kesuksesannya kepada kedua sahabatnya. Cak Lontong sesumbar, hanya dia yang dapat menaklukan Jakarta.

Namun, malang nasib Cak Lontong. Dia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran posisinya sebagai direktur di perusahaan milik Miing yang diketahui melakukan korupsi. Akbar dan Arie sedih dengan kabar itu. Keduanya berinsiatif menjenguk Cak Lontong di penjara. Dari penjara itu, persahabatan ketiganya terajut kembali, terutama dengan kehadiran sosok Maudy yang juga turut menjenguk Cak Lontong.

Sementara di sisi panggung yang lain, Mandra berdiri terpaku. Menyiratkan masa lalu ketika dia harus mendekam di penjara karena cara-cara licik di dunia industri. Mandra menjadi korbannya. Jakarta… oh… Jakarta.

Siapa Suruh Datang Ke Jakarta?

Lakon Komedi Tali Jodo mencoba mengaitkan persoalan di Jakarta yakni menyangkut budaya dan politik, plus soal persahabatan dan cinta, yang dikemas dalam komedi satir.

Seringkali terdengar aksioma, “Siapa suruh datang Jakarta?” sebagai kenaifan orang kota dalam menyikapi para pendatang. Tidak ada yang salah dengan kaum pendatang dan gaya kekotaannya. Tidak perlu pula larangan mereka mencari penghidupan layak di kota besar demi masa depan. Sebab hidup dapat berubah saat para pendatang mencari nafkah di ibu kota.

Selain itu, Jakarta dengan budaya Betawi adalah refleksi dari akulturasi budaya para kaum pendatang dari berbagai bangsa dan etnis. Seperti yang diucapkan Mandra, Jakarta menyimpan sejarah sebagai kota dengan budaya multikultural. Dengan tidak menampik jasa orang Betawi membangun Jakarta, peran pendatang pun banyak terasa. Sebut saja, para pemimpin Jakarta yang umumnya bukan asli penduduk Jakarta. Karenanya, wajar jika setiap tahun Jakarta selalu menjadi tempat mencari peruntungan, atau sekadar mencari pengalaman.

Namun, yang perlu disikapi dan ditindak adalah mereka yang menggunakan cara-cara kotor dalam persaingan politik dan ekonomi dengan mengorbankan banyak orang demi ambisi kekuasaan dan pemenuhan kebutuhan materinya. Kisah Cak Lontong di lakon ini bisa jadi sebagai refleksi kasus korupsi Anggodo Widjojo yang mengorbankan Hendra, salah satu office boy yang dipekerjakannya, yang ditunjuk sebagai direktur di sebuah perusahaan milik Anggodo. Inilah bentuk kegilaan yang massif dari para pemburu rente di Jakarta yang diungkapkan dalam lakon komedi ini.

“Bagi saya terasa janggal bila lawakan tak menyentil persoalan terkini, teraktual, dan tak bersifat menyadarkan masyarakat” ungkap Miing.

Lakon ini merefleksikan, baik pendatang maupun orang Betawi dalam membangun Jakarta dengan caranya. Jakarta adalah melting pot orang Indonesia dengan beragam suku dan etnis. Jakarta tetap menjadi kampung halaman orang Betawi. Namun, sebagai ibu kota negara, Jakarta juga milik seluruh rakyat Indonesia.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 227
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 401
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 250
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 234
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 457
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 449
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 417
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya