Santapan Warteg Data dalam Seni Lintas Media

| dilihat 2615

AKARPADINEWS.COM | DI tahun 1965, Suratinah hijrah dari Yogyakarta ke Jakarta. Dia ikut suami dan bapak mertuanya, Slamet, seorang pensiunan tentara berpangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda). Mereka lalu membuka usaha Warung Tegal (Warteg) pertama di Pasar Gambir (sekarang stasiun Gambir), Jakarta Pusat.

Awal kali memulai usaha, mereka harus berjuang keras. Warung yang menjadi tempat mengais nafkah juga dijadikan tempat berlindung. Waktu terus berjalan. Usaha yang mereka lakoni pun terus berkembang. Di tahun 1970, usaha mereka pindah ke kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Kini, Warteg yang mereka kelola dikenal para penggemarnya itu dinamakan “Rumah Makan Bu Slamet”.

Tahun 2002, suami Suratinah meninggal dunia. Suratinah, tak putus semangat. Warung makannya tetap melayani pelanggan. Karena, dari usaha itulah, Suratinah menafkahi dan menyekolahkan tiga anaknya. Suratinah juga tak sekadar sibuk mengurusi bisnis kulinernya. Namun, dia juga aktif di kegiatan sosial, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan menjabat sebagai Ketua RT untuk dua periode di wilayahnya.

Dalam menjalankan roda usahanya, dia tidak pernah mencatat pengeluaran dan pendapatan dengan rinci. Setiap hari, dia hanya mematok kebutuhan belanja sayuran sekitar Rp300 ribu dan lauk pauk yang mencapai Rp1 juta per hari. "Asal belanja tidak rugi dan ada uang lebih untuk arisan dan menabung,” katanya.

Warteg Suratinah yang berada di kawasan perkantoran, tidak pernah sepi pengunjung lantaran menyajikan makanan sehat, meriah, dan harga yang terjangkau. Menu utama yang disuguhkan adalah gudeg dan pecel.

Setelah bertahun-tahun, usaha Warteg kini mempekerjakan tiga orang pegawai beserta keluarganya. Suratinah tidak hanya melayani pelanggan yang datang. Namun juga menerima pesanan catering. Suratinah yang tugasnya sebagai tukang icip masakan itu berharap, usaha wartegnya diteruskan anak-anaknya.

Ketika ditanya kunci suksesnya Suratinah menjawab, "Saya percaya sama yang di atas, kalau rezeki dapat segitu, yang penting gak rugi dan dapat membantu.” Dan, Suratinah bangga, karena dari beberapa lokakarya dan pameran seni lintas media, Wartegnya menjadi role model.

Warteg Suratinah dan warteg-warteg lain di Jakarta menjadi simbolisasi seni lintas media. Tidak hanya dipandang sebagai konsep warung khas Jawa dengan menyajikan berbagai menu kuliner ala rakyat kecil atau kelas urban bawah Jakarta. Namun, Warteg Suratinah menjadi ruang interaksi turun menurun dan memperkuat ikatan keluarga.

Warteg juga menjadi simbol transaksi ala ekonomi rakyat kecil yang tradisional dan mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan. Misalnya, “boleh berhutang” untuk menjaga kekerabatan dan kesetiaan pelanggan. Wartegnya juga menjadi ruang pergaulan, yang mempertemukan berbagai informasi, dari obrolan keseharian, hingga urusan politik.

Dalam hubungan antara Warteg sebagai gagasan seni lintas media, muncul pertanyaan, bagaimana keterkaitan antara Warteg, data, dan masa depan? Tujuan akhirnya, gagasan tentang Warteg  yang direspon seniman itu dapat menjadi produk karya visual dalam bentuk pameran.

Dalam rangkaian pameran Pintu Belakang, Derau Jawa di Galeri Nasional, korelasi ini dibedah dalam lokakarya dan pameran Seni Lintas Media yang digelar tanggal 2-15 Maret 2016 yang melibatkan beberapa fasilitator dan peserta yang berusia muda dan memiliki gagasan mengejutkan.

Tiga fasilitator utama, selain fasilitator lain dalam seni lintas media, di antaranya, Enrico Halim, Yuka Dian Narendra, dan Cecil Mariani. Enrico memberikan gagasan mengenai Warteg sebagai simbol dan titik berangkat utama dalam lokakarya seni lintas media. Sementara Yuka memberikan rangsangan untuk melihat Warteg di masa depan yang merepresentasikan masyarakat kelas bawah kota. Sedangkan Cecil yang lebih mengarah pada pengembangan cara berpikir dan mendesain Warteg dengan mengumpulkan beberapa orang kreatif.

“Warteg menjadi titik tolak. Berinteraksi dengan data untuk menyerap. Banjirnya data, kita respon seperti apa, dan kita kumpulkan,” tutur Enrico saat lokakarya, 4 Maret 2016.

Pameran seni lintas media yang dibuka pada 10 Maret 2016 ini bertajuk “Warteg Getwar”. Di ajang itu, Warteg diperlakukan serupa ruang yang menyajikan berbagai data-data keseharian manusia, aktivitas di kantor pemerintahan, perusahaan, kamar hotel, ruang ibadah dan berbagai tempat lainnya. Karya-karya 12 peserta lokakarya ini membuka ruang interpretasi Warteg yang jauh dari dugaan masyarakat umumnya.

Menurut Cecil, lintas media bersintesis dengan banyak hal. “Harapannya, kita bisa membayangkan sejauh mana informasi yang dibagikan itu, bisa menyangkut, dan menempel di kepala seniman. Media tidak hanya lukis atau video. Bahasa juga media dalam seni lintas media ini,” ungkapnya.

Saat pembukaan pameran, 12 peserta yang dipimpin John Heryanto menyebut para juru masak dan nabi yang mewartakan ajaran dan ibadah melalui data-data. Mereka menyajikan potongan daging mentah seperti kikil, lidah sapi, hingga jengkol dalam toples, yang mereka sebut sebagai simbol ideologi, politik, industri, sebagai alat dan media mengkritisi berbagai data.

Afrizal Malna yang juga turut sebagai fasilitator melakukan performance art dengan cara menempelkan lakban, mengelilingi ruangan Warteg Getwar. Selanjutnya, Hanafi tidur terlentang pasrah, bersilang dada di atas meja, di samping belasan toples daging mentah. Lalu, John yang menyebutkan berbagai menu dan masakan yang terpajang di instalasi besi Scaffolding dengan warna mencolok.

Catatan menu yang aneh, kreatif,  kritis, sekaligus menohok realitas mapan dengan gaya komedi gelap. Seperti menu lauk pauk, seni disajikan untuk seniman yang berorientasi global, dengan makanan bandeng industri kreatif, lele kolektor, cumi-cumi kritikus, telor asin proposal, mujaer puisi esai, tongkol festival dan berbagai makanan lain.

Ada pula menu nasi negara dengan penjabaran diskon untuk mensukseskan program Revolusi Mental yang menyajikan nasi putih patriot, nasi tutug oncom militer, nasi tumpeng Pemilu, lontong dana desa, dan berbagai menu lainnya.

Inilah cara para peserta lokakarya sebagai seniman muda dalam membahasakan Warteg konvensional, bertransformasi menjadi Warteg Getwar yang menyajikan berbagai menu data, hingga angka yang memualkan, dan tidak enak dipandang, apalagi dinikmati. Namun, data-data itu menjadi santapan keseharian manusia.  

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 497
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1580
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1371
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 423
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 995
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 231
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 707
Momentum Cinta
Selanjutnya