Perupa Muda Perluas Makna Trimatra

| dilihat 3336

AKARPADINEWS.COM | PAMERAN berjuluk Kait Kelindan menyuguhkan kreativitas, kebaruan, dan gagasan yang segar. Pameran itu menampilkan sejumlah patung karya tiga perupa yang pernah menjuarai kompetisi karya Trimatra tingkat Nasional tahun 2013 lalu. Mereka adalah Faisal Habibi, Octora Chan, dan Budi Adi Nugroho.

Patung-patung kontemporer yang dipajang di ruang Galeri Salihara, Jakarta, (16 April-15 Mei) itu bercorak bebas, tidak terikat konvensi baku karya seni patung umumnya. Karya-karya Trimatra ini dapat dipandang sebagai karya seni yang ide dan pembahasannya dibentuk, dipengaruhi, dan merefleksikan keadaan zaman. Karya-karya itu juga menafsirkan kembali dialektika antara keterkaitan benda dengan manusia, yang saling berkelindan dalam fungsi dan maknanya.

Para pengunjung dibuat penasaran dengan patung emas bertubuh dewa, namun berwajah ultraman seperti pada Ultrawealth Edition (2016) karya Budi Adi Nugroho. Karya itu seakan merefleksikan ikon tokoh mainan anak asal Jepang sebagai simbol spiritual.

Beberapa benda-benda seperti kursi juga direkonstruksi kembali visual dan fungsinya, untuk mengganggu persepsi pengunjung oleh Faisal Habibi. Terdapat pula baju kebaya yang menyerupai seragam militer, lengkap dengan tanda kepangkatan dalam karya My Dear Gentlemen-Oh Insignia! (2015) karya Octora Chan. Karya itu menunjukan simbol perempuan yang dikaitkan dengan relasi kekerasan dan kekuasaan.

Asikin Hasan, selaku kurator, dalam pembukaan pameran, mengungkapkan istilah Trimatra yang semakin berkembang dalam seni patung. Asikin juga menyoroti karya-karya ketiga perupa muda ini dalam medium yang dipercanggih.

Karya Trimatra dapat dipahami sebagai bentuk karya seni rupa yang memiliki dimensi ukuran panjang, lebar, ketebalan, dan ketinggian serta dapat dilihat dari berbagai arah. Unsur-unsur ini kemudian disusun membentuk pola-pola yang unik dengan komposisi karya rupa yang bermakna seperti dihadirkan oleh tiga perupa, lulusan seni patung Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Karya-karya para perupa ini dapat dilihat dari kecanggihan medium dan teknik yang digunakan. Penggunaan batu atau kayu yang dipahat dan dianggap sebagai medium dan teknik kemapanan oleh perupa-perupa dahulu, pada pameran ini, digantikan oleh baja, kulit, karet, besi, serat gelas, plastik, kuningan hingga cat emas.

Kait kelindan antara hubungan benda dan refleksi keseharian manusia menjadi bagian interaksi simbolik dalam karya-karya tersebut. Serupa karya-karya Faisal yang menujukan sikap skeptik, mempertanyakan ulang fungsi-fungsi yang telah mapan di kepala manusia. Misalnya, sebuah kursi, di mana ketika kursi difungsikan lebih, maka dalam bentuknya ergonomis (kenyamanan) dengan tubuh manusia, kursi menjadi subjek dan manusia menjadi objek.

Bila dahulu ia mengeksplorasi imaji fungsi dari objek sehari-hari, saat ini, pada karya-karyanya seperti This Thing (2015), ia mulai meminggirkan fungsi tersebut dan fokus pada kualitas tampilan visualnya, yang ia sebut visual appearance.    

“Aku sudah tidak memikirkan fungsinya, lebih pada struktur, pengalaman pada objek menjadi tampilan yang baru,” ungkap seniman yang pernah mengikuti residensi di Zentrum fur Kunst und Urbanistik (ZK/U) dengan membuat kursi taman yang ia mainkan struktur dan celahnya untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan pada penggunanya.

Dalam mengembangkan kreativitas karyanya, Faisal memposisikan diri sebagai seorang designer, dengan melakukan pengamatan dan pertimbangan untuk mendesain secara matang dengan mempertimbangkan aspek material, ukuran, bentuk, dan ergonomis.

Sebagai perupa modern, ia pun terlihat mengejar nilai kesegaran dan kebaruan (novelty) dengan menelisik lebih kritis dan esensial tentang kebudayaan material. Dalam konteks ini, fungsi dan realitas dari varian-varian benda, ternyata mewakili kepentingan, baik ekonomi, sosial, dan politik. Dengan kata lain, menurut Faisal, benda sebagai subjek. Lantas, apa yang melatarbelakangi fungsi benda tersebut menjadi lebih unggul dalam kebudayaan material?

Salah faktor yang  mempengaruhinya adalah budaya global, pengaruh teknologi berkembang cepat, dan kebutuhan manusia pada benda, yang tidak lagi hanya untuk kegunaannya saja. Namun, menjadikan lebih eksis secara simbolik.

Demikian pula karya-karya Octora dan Budi yang mencari esensi keterkaitan antara benda dan manusia. Dalam karyanya, Octora menyuguhkan persoalan sosial, ekonomi, dan politik dalam sejarah kekerasan di Indonesia. Sedangkan Budi, lebih mengaitkan antara spiritual timur dengan ide-ide pop, yang diwarnai ikatan tradisi (spirit of the race) atau ikatan zaman (spirit of the age).

Simbol-simbol pada benda-benda Trimarta tersebut, bila dikorelasi pada kebudayaan manusia, seperti menjembatani masa sekarang dan masa lalu atau sebaliknya. Karya-karya itu juga mengungkap jika simbol berfungsi sebagai instrumen komunikasi antara benda dan manusia.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1185
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 239
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 463
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 454
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 425
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya