Menjaga Eksistensi Teater Berbahasa Sunda

| dilihat 3128

AKARPADINEWS.COM | SELAMA 21 hari, Gedung Kesenian Rumentang Siang yang terletak di samping Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, tak sepi dari anak-anak muda. Mereka berjibaku di ajang Festival Drama Basa Sunda (FDBS) ke-17 yang diselenggarakan sejak 18 April-8 Mei 2016.

Dedikasinya para peserta dan pihak penyelenggara patut diapreasasi. Karena mereka, FDBS mampu digelar secara kontinu sejak 17 tahun lalu. FDBS, ajang berteater berbahasa Sunda tetap eksis di kala makin miskinnya perhatian para pemangku kepentingan. Animo publik seni sungguh luar biasa. Peserta yang tampil di ajang itu pun cukup banyak.

1 Mei 2016, pertunjukan teater berjudul Jam Hiji Dua Puluh Salapan Menit, naskah Ayi G Sasmita, dipentaskan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni Bamboo Politeknik Praktisi dengan sutradara Dado Tisna.  

Berkisah tentang Ratna, perempuan yang divonis hukuman mati. Selama menunggu waktu kematiannya, Ratna menceritakan masa lalunya yang perih. Ibunya wafat sejak Ratna masih belia.

Ratna pun ditinggal kekasihnya ketika hamil karena perbedaan status. Kehidupannya kian menderita lantaran dipaksa menjadi pelacur oleh ayahnya sendiri untuk membayar hutang judi.

Hingga akhirnya, ia dijebak agar menikahi seorang pejabat. Dan, pada malam pengantin, tepat jam hiji dua puluh salapan menit, suaminya ditemukan tewas. Ratna pun disangkakan. Ia lalu dihukum mati tanpa mendapatkan pembelaan.

Pertunjukan itu berbicara tentang tuntutan keadilan, ketimpangan hukum, dan kemiskinan, serupa lingkaran yang tak ada ujungnya. Hanya kematian yang mengakhiri penderitaan itu. Tidak ada yang mendengar keperihan hidup Ratna. Hukum yang sejatinya membela yang tertindas pun acuh padanya.

Naskah jam hiji dua puluh salapan menit ditampilkan dalam bahasa Sunda. Para pemain yang kebanyakan fasih berbahasa ibu itu pun mampu melafalkan dialog-dialog dan menghayati perannya. Para penonton pun terlihat terenyuh, sekaligus terhibur dengan kata-kata satir yang disampaikan para pemainnya.

Di pertunjukan lain, naskah Manusia Jero Botol karya Rosyid E.Abby dimainkan Teater Awal, Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung dengan sutradara Yayan Katho. Pertunjukan yang berlangsung di hari pertama (18/4) itu menceritakan seorang anak berusia 20 tahun yang selalu dipenuhi kebutuhannya, tetapi justru membuatnya tertekan. Ia lalu mengumpulkan botol-botol dan menciptakan imajinasinya sendiri. Hingga akhirnya, ia berontak dan keluar dari rumah.

Menurut Katho, penyelenggaraan FDBS, dapat melatih mental anak-anak. Mereka menjadi lebih berani dan memiliki pengalaman di atas panggung. FDBS diselenggarakan pada 18 April-8 Mei 2016. UKM Seni Bamboo Politeknik Praktisi dan Teater Awal adalah salah satu dari 64 grup yang mengikuti FDBS. Mereka berasal dari berbagai kelompok teater, sanggar, dan UKM dari Jawa Barat.

Bahkan ada pula dari luar Jawa. Selain untuk berkompetisi dan unjuk kreativitas di atas panggung Rumentang, kedatangan mereka juga untuk bersilaturahmi dengan sesama kelompok teater.

FDBS adalah ajang festival tahunan yang diselenggarakan sejak tahun 1990 oleh Teater Sunda Kiwari. “Kami berjalan (sudah) lama karena Sunda adalah identitas dan sebagai orang Sunda, kami merasakan beban moral dan tanggung jawab tersebut,” tutur Dadi P Danusubrata, ketua Teater Sunda Kiwari saat diwawancarai di sela-sela pertunjukan.

FDBS digelar untuk menggerakkan seni teater dan menjaring penulis naskah drama berbahasa Sunda serta sebagai ajang pembelajaran bagi peserta dan publik seni untuk melahirkan generasi baru. Setidaknya, mereka pun diharapkan dapat lebih mengapresiasi, melestarikan bahasa, dan kebudayaan Sunda.

Melihat banyaknya peserta yang mencapai tidak kurang dari 60 peserta setiap tahunnya, menurut Dadi, hal tersebut mencerminkan rasa eksistensi dan kehausan mereka untuk tampil.

Akan lebih baik jika energi dan kreatifitas mereka disalurkan lewat berteater daripada sibuk bermain gadget, sosial media, hingga terlibat geng motor agar diakui eksistensinya.

Diselenggarakannya FDBS patut diapresiasi. Karena, di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, sangat langka pertunjukan drama yang menggunakan bahasa Sunda. FDBS menjadi wadah bagi mereka untuk tampil dengan bahasa ibu.

Awalnya, waktu pelaksanaan FDBS diselenggarakan dua tahun sekali. Namun, lantaran animo yang luar biasa dari kalangan pelajar dan umum, penyelenggarannya dibagi menjadi dua kategori yaitu tahun ganjil untuk pelajar dan tahun genap untuk umum, dengan porsi bobot naskah yang berbeda.

Tahun ini, sebanyak tujuh naskah disediakan panitia. Sementara tema yang diangkat diarahkan untuk menanamkan pemahaman akan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat. Peserta bebas memilih tujuh naskah yang disediakan panitia.

Selain naskah Jam Hiji Dua Puluh Salapan Menit, naskah lainnya yang dipentaskan antara lain Dayeuh Simpe karya Lugieana De, Kalangkang karya Nunu Nazarudin Azhar, Manusa Jero Botol karya Rosyid E. Abby, Nu Gareuring karya Dhipa Galuh Purba, Mojang Dua Rebuan karya Dadan Sutisna, dan naskah Polbakik karya Arthur S. Nalan. Sejak kali pertama diselenggarakan, sudah terkumpul 100 naskah yang dipentaskan di ajang FDBS.

Karenanya, Dadi pun tertarik untuk membukukan naskah-naskah tersebut. Ia bercerita, pernah kedatangan seniman dari California, Amerika Serikat, untuk menonton FDBS.

Seniman tersebut menyayangkan jika naskah-naskah tersebut tidak dibukukan dan kurang mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan. Padahal, naskah-naskah tersebut dianggapnya sangat penting sebagai dokumentasi bahasa dan budaya Sunda.

FDBS tahun 2016 ini mendaulat tiga juri yang terdiri Godi Suwarna, Bambang Aryana, dan Rahman Sabur. Mereka adalah budayawan dan seniman yang memiliki kapabilitas dalam teater dengan jam terbang internasional. Godi misalnya, dikenal sebagai budayawan dan penyair yang kerap menampilkan puisi-puisi Sunda di berbagai negara.

Godi yang hampir setiap tahun menjadi juri FDBS menilai, dari tahun ke tahun, secara estetika, kualitas peserta makin berkembang. Di ajang itu, dasar penilaian para juri antara lain pemetasan, penyutradaraan, aktor dan aktris, artistik, dan musik. Para peserta memperebutkan piala bergilir yang sebelumnya diraih Teater Dongkrak dari Tasikmalaya.

Setiap hari, terdapat tiga sampai empat grup yang pentas. Mereka tampil selama 21 hari untuk dinilai Godi dan juri lainnya. Bila tahun ini jumlah peserta mencapai 64 grup, tahun-tahun sebelumnya hingga mencapai lebih dari 70 grup.

Tentu, bukan pekerjaan mudah bagi para juri. Dibutuhkan konsentrasi dan stamina yang kuat untuk memberikan penilaian terhadap kualitas grup-grup teater yang dipentaskan anak-anak muda ini. Sampai-sampai, Godi berkata, "Sepertinya, saya juri pemecah rekor di Indonesia dengan menilai peserta terbanyak dan jumlah waktu penjurian terpanjang, saya nyaah (sayang) dengan anak-anak muda ini,”  katanya.

Bisa saja penyelenggaraan FDBS itu tercatat dalam rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) jika pihak Muri mengetahui perjalanan festival itu. Dan, tak berlebihan jika menilai FDBS dapat meraih tiga penghargaan sekaligus, yaitu festival yang menggunakan drama Bahasa Sunda terlama di Indonesia, festival dengan jumlah peserta terbanyak se-Indonesia, dan festival yang telah mengumpulkan 100 lebih naskah drama berbahasa Sunda.

FBDS selama ini bisa terselenggara karena militansi dan loyalitas penyelenggara dan peserta untuk mempertahankan seni teater berbahasa Sunda. Mereka bergerak secara mandiri. Sementara dukungan dari pemerintah maupun pihak lainnya sangat minim.

Misalnya, dalam hal pendanaan. FDBS didanai dari peserta yang mendaftar. Mereka dipatok Rp250 ribu per grup. Memang ada dana dari yang diberikan dari Dinas Pariwisata dan Budaya Jawa Barat. Namun, jumlahnya sangat terbatas. Bahkan, tahun ini, karena keterbatasan waktu, FDBS sama sekali tidak mendapatkan dana dari pemerintah.

Menurut Dadi, meski penyelenggaraan FDBS begitu lama, pihak penyelenggara harus tetap banting tulang. “Sebenarnya, saya sudah cape dengan soal (minimnya) dana ini,” sesalnya.

Ia pun menyesalkan jika beberapa event dadakan lainnya yang diselenggarakan pemerintah, justru bertabur dana. “Seharusnya, FDBS yang sudah dibina sejak lama ini yang didukung lebih (oleh pemerintah),” tuturnya.

Memang, sejumlah event seni, khususnya yang berbau kontemporer dan mendatangkan tokoh-tokoh besar, terlihat lebih mendapatkan apresiasi dan dana dari pemerintah maupun sponsor. Namun, dari sisi manfaat pada publik seni, sebenarnya event-event itu hanya memberikan dampak sementara.

Berbeda dengan FDBS yang terbukti turut mempertahankan bahasa Sunda, khususnya dalam seni teater yang menjadi cara edukasi berbahasa Sunda yang efektif, melebihi cara-cara yang diajarkan di sekolah-sekolah umumnya. Karena, ajang FDBS tidak hanya mengajarkan tentang teori. Namun, anak-anak juga terlibat langsung di atas panggung mementaskan perannya.

Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu adalah warisan budaya yang menunjukan jati diri dan asal etnisitas seseorang atau komunitas. Akibat pengaruh globalisasi dewasa ini, bahasa ibu makin terpinggirkan, digantikan dengan bahasa nasional, bahkan bahasa asing seperti bahasa Inggris yang dianggap sebagai bahasa internasional.

“Saya berpikir, kalau FDBS berjalan terus, saya ingin berdialog dengan Pak Gubernur (Jawa Barat). Kalau pemerintah tidak mendukung Bahasa Sunda, agar lestari, yah mau apa lagi?” kata Dadi miris.  FDBS menjadi potret problematika teater dan naskah berbahasa Sunda. Pementasan lakon drama itu makin terasing di tanah kelahirannya sendiri.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 230
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 329
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya