Cerita Seputar Alterasi Seni Rupa - Seni Tari

| dilihat 1131

Sém Haésy

TARI adalah senirupa yang bergerak. 'Menghidupkan' makna artistika dan estetika yang melekat pada karya perupa yang 'mati.'

Ini adalah pernyataan Endang Caturwati, Guru Besar Seni Pertunjukan di Institut Seni Budaya Indonesia.

Guru besar dengan latar karawitan, tari dan koreografi yang sering bersentuhan dengan seni rupa itu, sampai pada pendapat itu, dari pengalaman artistiknya sebagai koreografer dan penari.

Dalam berbagai kesempatan, profesor yang kreatif ini, mengemukakan pendapatnya yang relevan dengan pergerakan perubahan nilai budaya yang sangat cepat dan dipengaruhi oleh berbagai dimensi tentang rupa. Baik yang murni maupun seni instalasi.

Saya berpandangan sama dengannya, tetapi berbeda perspektif. Terutama dari sisi image engineering (rekacitra) dan imagineering (rekacita).

Image, citra yang dengan daya teknologi bergerak menjadi movie (citra bergerak) sebagai realitas kedua kehidupan. Imagine, cita yang bertumpu pada imajinasi -- deskripsi abstraktif terukur -- yang bergerak menjadi realitas pertama kehidupan.

Masa pandemi nanomonster Covid-19, menawarkan hikmah, karena memungkinkan terjadinya kolaborasi kreatif antar seni dan seniman dengan bidang keilmuan dan keahliannya masing-masing.

Tak hanya dalam konteks alih media dari pentas riil ke ruang virtual, jauh dari itu juga meramu platform image dan imagine, termasuk alterasi medium dan formulanya. Agar tak sekadar memindahkan performa seni di ruang pesentasi riil ke ruang presentasi virtual.

Bertolak dari kesamaan pandangan (berbeda perspektif) tentang tari sebagai senirupa yang bergerak kami dialog intens jarak jauh, mulai dari pertimbangan artistik, estetik, dan etik.

Kemudian berkembang ke soal-soal yang lebih spesifik tentang tubuh, retorika tubuh, interaksi langsung antara seni rupa, tari, musik, dan sinematografi. Termasuk penyamaan persepsi antara konversi di situ sisi dan alterasi di sisi lain. Tak terkecuali proses kreatif yang melatarinya.

Mulai dari ide konseptual tentang gerak (gerak murni dan gerak imitasi), scenography, floor, sampai detil visual videotik : size, movement, pict continuity, positioning, point of view, angle, photography direction, perspektif, image montage dan video editing.

Sebagai guru besar yang kaya ilmu, pengetahuan, dan pengalaman secara dimensional, Endang konsisten dan keukeuh dengan prinsip-prinsip koreografi, dengan perspektif image. Saya juga konsisten dan keukeuh dengan prinsip imagine. Kami saling menghargai sikap masing-masing.

Lewat beragam bentuk perdebatan sesuai dengan disiplin keilmuan masing-masing, kami pertemukan berbagai persamaan pandangan dan menghargai perbedaan-perbedaan.

Dalam konteks point of view dan angle, tak sulit mempertemukannya, dalam perspektif, perlu waktu. Terutama karena goal yang ingin dicapai adalah kualitas. Terutama, karena kata maestro sudah disandangkan banyak kalangan kepadanya.

Saya berprinsip, mesti menjaga academic standing dia, sehingga memungkinkan lahir gagasan dan konsep baru. Kami saling menjaga ekspertasi di bidang masing-masing dan bersepakat untuk menempatkan perbedaan sebagai cara mencapai harmoni kreatif.

Saya perlu waktu mereview karya-karya tarinya, pasca Ronggeng Blantek sampai Parisukma (yang terbentang sekitar tiga dekade) untuk menemukan benang merah atas pendapatnya, "tari adalah senirupa yang bergerak" dari perspektif image, sekaligus menyigi imagine management dalam proses dan eksekusi kreatifnya.

Saya mengambil posisi dan jarak kreatif untuk melihat bagaimana pendapatnya tereksekusi dengan baik dengan menempatkannya sebagai seorang maestro tari, yang 'melukis nilai imaji.'

Kami bersepakat melakukan kolaborasi kreatif pada alterasi ruang kreatif, dari alih media menjadi movie. Kami memilih tiga karya mutakhir: Munajat untuk Bumi (ditarikan sendiri), Parisukma (ditarikan oleh Hani), dan Purbasari - Purbararang (performa dua maestro Prof. Endang & Prof. Een). Basisnya musik karya Suhendy Afrianto (Munajat dan Purbasari) dan Rudy Rodex (Parisukma).

PADA Munajat dan Parisukma, kolaborasi relatif mulus, meski direkam dengan menggunakan satu kamera, karena ruang presentasi tari dan frame videotik dalam konteks alterasi menjadi konten virtual relatif tidak memerlukan ekstra visual untuk aksentuasi image.

Tak terlalu banyak harus menggunakan transisi dan efek visual, karena gerak tubuh -- mimik, gestur, spido, dan enduransi --, kostum, efek cahaya, properti artistik, tidak terlalu sulit untuk ditelangkai oleh warna, sesuai dengan karakter warna frekuensi media transmisi saat mempresentasikannya.

Perdebatan agak pelik baru muncul, ketika Purbasari - Purbararang, yang diperuntukan sebagai sajian khas dalam International Webinar on Mask of Global Society and The Dance of Maestro (15/8/20). Banyak kendala dihadapi di lapangan. Mulai dari protokol Covid-19; Perekaman video (hanya dengan satu kamera) secara flat akibat tidak ada photography direction dalam proses pengambilan gambar yang singkat; Cahaya hanya mengandalkan matahari; dan, tak ada kontrol lokasi.

Karena sama berpegang pada musik hasil komposisi Suhendy yang memasukkan efek suara dan lirik filosofis dengan ritme yang terjaga, dan short story line yang sekaligus memandu eksekusi gerak tubuh, saya meminta  re take. Saya menuntut mesti ada beberapa visual lain dengan size tertentu dan ruang prsentasi yang clean, untuk kepentingan pencapaian artistika dan estetika.

Permintaan yang sulit dipenuhi, karena berbagai argumen. Karena dari aspek koreografi dan eksekusi kreatif tari, menurut Endang sudah maksimal. Anasir-anasir imago seni rupa yang diperlukan sudah terpenuhi, dan tak harus dilihat sebagai kekurangan prinsipil untuk memenuhi konvergensi artistik.

Dia memberi alternatif untuk mengubah perspektif dari 'melukis nilai imaji' menjadi dokumentasi karya tari sebagai tafsir imaji dengan memadukan anasir seni rupa dengan gerak.

Makan waktu sehari untuk mengendapkan masing-masing argumen. Saya menurunkan ekspektasi, tetapi tak sepenuhnya mengikuti perspektif tari yang ditawarkan. Saya masih mencari solusi untuk mengartikulasikan 'tari sebagai seni rupa yang bergerak' dalam konteks movie secara sinematografis. Buntu.

Saya melihat kembali siapa pembicara dalam webinar dan siapa saja para maestro yang akan menampilkan karyanya. Topik yang diangkat keynote speaker, Kathy Foley (Mask of Other) sangat membantu. Dengan topik itu sudah terbayang, Foley akan bicara topeng (produk senirupa) sebagai alat untuk adegan transformasi karakter. Pun, esensi topeng sebagai signal arti hidup yang fana dan abadi sudah terakomodasi dalam komposisi musik karya Suhendy.

Saya juga menyigi Prof. Matthew Isaac Cohen yang fokus dalam filsafat dan estetika topeng, merujuk pada Serat Damar Wulan dan beberapa tari topeng lokal Jawa lainnya. Saya pun menyigi pembicara lain, Ira Kusumorasri yang cenderung literatif tentang keistimewaan topeng Panji.

Saya menyigi tentang Tari Kyai Goweng (Pura Mangkunegaran) yang bakal disajikan Lantip Kuswala Daya dengan mengambil lokasi Plataran Tawang Turgo dan Museum Ullen Sentalu - Yogya.

Demikian juga halnya dengan Handoyo yang akan menampilkan tari Topeng Klana (gagrak), dan maestro tari Bali Bulantrisna Jelantik yang akan menyajikan Tari Topeng Sitarasmi dari kisah Ramayana.

Setelah itu baru saya ketemu pilihan menurunkan ekspektasi visual, membaca ulang story line dan musik Purbasari - Purbararang dan mereview cermat bentuk tiga topeng yang dipakai, komposisi warna kostum, asesoris, termasuk warna selendang, dan pola gerak tubuh dari menit ke menit dan pada bagian tertentu saya review ulang dari frame per detik.

Pola gerak dua maestro Endang & Een menyegarkan ingatan saya pada pandangan Jean Luc Nancy, filosof yang juga ketua Wilhelm Friedrich Hegel dan profesor di The European Graduate School (EGS), "Tubuh adalah ruang. Saya ada dalam tubuh saya dan di mana saja. Tulisan dan pikiran adalah tubuh. Tubuh adalah bagian luar."

Pandangan ini terkoneksi dengan pandangan maestro Endang, yang sering berdiskusi dengan saya tentang cangkang dan suwung, mind and soul, seni rupa dan tari. Sekaligus relevan dengan lirik filosofis yang dibunyikan Suhendy, "sing becik ketitik sing olo ketoro," dengan lantunan khas Cirebon. Saya ketemu titik temu persepsi dengan mengubah suai perspektif artistik visual sebagai bagian seni rupa di luar, sedangkan topeng panji dan topeng kelana dengan segala asesoris dan warna kostum sebagai seni rupa yang berada di dalam tarian.

Ini sangat memudahkan. Terutama, karena dalam tari Astungkara approach visual videotiknya juga cenderung flat, bobotnya dominan pada gerak dan anasir artistik yang sangat kaya. Pada Tari Munajat untuk Bumi aspek seni rupa menjadi properti, sedangkan pada tari Parisukma, gerak tubuh dan unsur seni rupa menyatu.

Akhirnya, pendekatan artistik videotik mengawinkan prinsip-prinsip sinematografi dengan pertimbangan pilihan medium dan color of transmission (sesuai aplikasi zoom) presentasi Purbasari - Purbararang. Sekaligus menata ritme visual berbasis komposisi musik dalam durasi yang hanya 240 detik atau sekitar 6000 frame.

Posisi maestro Endang & Een (dengan academic standing dua profesor: seni pertunjukan dan sejarah tari) sebagai koreografer dan penari tetap terjaga, pesan filosofi dan nilai imaji dalam cerita mengalir lewat pola gerak yang kontras (soft dan hard) dengan karakterisasi 'gaya tari.'

Dengan pilihan-pilihan fitur video editing, tanpa mengurangi keaslian gerak yang terekam, keseluruhan performa Purbasari - Purbararang menjadi ekspresi imago (image dan imagine).

Keyakinan kami (Endang dan saya) bahwa tari adalah senirupa yang hidup, bergerak baik dari sisi image maupun imagine bertemu dalam proses kreatif auvi tari Purbasari-Purbararang. 

Seni rupa (setidaknya pada seni lukis dan seni sclupture) banyak bersoal pada produksi artistik bermuara pada image - citra, tarian menghidupkannya dengan refleksi internal manusia yang tertampak pada tubuh -- domestikasi tubuh, kontrol gerak (terutama gestur), melahirkan citra bergerak -- yang ketika dikembangkan platform, formula dan mediumnya -- menjadi movie.

Gestur adalah komponen dari suatu bahasa, yang berkembang menjadi retorika tubuh. Dengan komposisi musik yang sesuai dengan pola rancang gerak dalam skenografi, menjadi bahasa khas yang merepressentasikan karakter yang tersembunyi dalam senirupa.

Dalam tari, bahkan tertampak nuansa terkecil melalui setiap gerakan yang mengekspresikan sisi individualitas, yang dalam senirupa bisa diubah menjadi imaji - persepsi.

Tari - kecuali tari topeng -- memberi pemahaman tentang postur melalui gerak kepala, tubuh, lengan, jemari,  senyuman, dan detail lain yang empiristik. Tubuh dalam konteks tari, dari sudut pandang imagineering bisa mengemas citra, dan menjadi rangkaian seni visual di era digital (dengan internet on think dan artificial intelligent).

 Seni rupa berada di wilayah silent imago, tarian menegaskan live imago,  yang sama bisa menjadi fase terakhir dari perkembangan nalar, naluri dan rasa. Karena pada seni rupa dan seni tari, dria berada pada ruang dan posisi yang berbeda.

Dari pengalaman berkolaborasi dengan maestro Endang Caturwati, ketika berbincang dengan perupa Ariesa Pandanwangi - Komunitas 22 IUbu (Salam Radio, Rabu 2/8/20) saya ungkapkan kolaborasi antara Sabana Setiawan, guru besar senirupa ITB; Endang Caturwati, guru besar ISBI, dengan Ariesa yang seni bergerak ke seni digital. Akan jadi sesuatu yang memberi nilai dalam dinamika inovasi di lingkup pendidikan seni Indonesia. Cag ! |


Artikel Terkait :

Puitika dalam Retorika Tubuh Tiga Karya Kreatif Endang Caturwati

Tari Astungkara dan Parisukma Merayakan Zaman Kerytas di Awal Era Digital

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 922
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1154
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1412
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1559
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya