Ilmuan Indonesia yang Mendunia

| dilihat 3475

AKARPADINEWS.COM | 25 JUNI 1970, di Rumah Sakit Pangkalan Udara Sulaiman, Margahayu, Bandung, Jawa Barat, Florentina Srindadi melahirkan bayi laki-laki. Dia bersama suaminya, Micheal Suman Juswaljati sangat bahagia menyambut kehadiran anak pertamanya itu. Pasangan itu lalu menyematkan nama bayinya, Josaphat Tetuko Sri Sumantyo. 

Josh, demikian sapaan Josaphat, dididik ayahnya yang seorang tentara. Hingga akhirnya, dia menjadi orang hebat. Josh menjadi profesor pertama Indonesia di Jepang, sekaligus pemilik Joshapat Microwave Sensing Radar Laboratory (JMSRL), Universitas Chiba, Jepang. Josh kini tidak lagi seperti dulu, yang kala duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), sering diolok-olok teman-temannya dan mendapat predikat "anak bodoh". 

Dia mengakui jika sukses yang diraihnya tidak terlepas dari peran orang tuanya, khususnya sang ayah. Josh masih ingat pesan tertulis dari ayahnya yang diletakkan di meja belajarnya. “Josh pasti bisa dan lebih pintar, jangan takut!” pesan ayahnya. Sang ayah memang piawai mendidik anak-anaknya karena pernah menjadi pelatih Komando Pasukan Gerak Cepat Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)--sekarang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), yang berpusat di Pangkalan Udara Sulaiman.

Josh hingga kini masih terus mengembangkan cita-citanya membangun laboratorium terlengkap di Jepang, bahkan di dunia. Kerja kerasnya berbuah manis. Dia pun layak berbangga, menyematkan namanya di laboratorium yang dikembangkannya.

Josh membangun JMRSL karena ingin menutup kekurangan pengetahuan dan teknologi di bidang microwave remote sensing di dunia, khususnya pengembangan perangkat synthetic aperture radar di berbagai tingkatan, mulai dari desain, perancangan, pembangunan, pengujian, pengoperasian, dan pengolahan atau aplikasi, khususnya aplikasi untuk pengamatan wilayah bencana.

Pembangunan JMRSL bermula saat ia diangkat menjadi associate professor (lektor kepala) di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University pada tanggal 1 April 2005. Dia berpikir untuk membangun pusat penelitian terlengkap, setidaknya di Jepang untuk bidang microwave remote sensing.

CEReS adalah pusat penelitian di bidang penginderaan jarak jauh (remote sensing) yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Teknologi (MEXT) dan Monbukagakusho Jepang yang berada dalam Universitas Chiba.

Berkat kegigihan dan ketekunan melakukan promosi ke sejumlah negara, JMRSL akhirnya mendunia. Berbagai riset dilakukan. Berbagai temuan pun dihasilkannya. Salah satunya sensor pemantau muka bumi, Circularly Polarized-Syntetic Aperture Radar disingkat CP-SAR.  Temuan pertamanya itu berawal dari pembuatan antenna transparent sekitar awal tahun 2002.

Banyak komunitas Jepang yang tertarik dengan hasil temuannya itu. Berbagai dukungan yang mengalir untuk pengembangan penelitian, mendorongnya untuk lebih optimal melakukan penelitian bidang antena.

Kemudian, ia memusatkan pada penelitian antena yang berhubungan dengan aerospace yang biasanya menggunakan polarisasi melingkar atau circular polarization (CP).

Dan, sejak diangkat menjadi associate professor, ia makin fokus melakukan penelitian CP untuk synthetic aperture radar (SAR), sensor yang biasa digunakan untuk keperluan militer--yang sejak tahun 1990 juga untuk keperluan sipil. Saat diangkat sebagai staf pengajar, ia hanya mendapatkan satu kamar staf dan satu kamar mahasiswa di lantai dua gedung CEReS.

Ruang ini merupakan cikal bakal terbentuknya JMRSL. Kamar mahasiswa itu masih dipakainya bersama dua mahasiswa (Lim dari Korea dan Dash dari India) dan Professor Sugimori, sekarang menjabat Direktur CReSOS di Universitas Udayana, Bali.  

Professor yang berstatus pegawai negeri di Jepang yang memiliki dua kewarganegaraan Jepang dan Indonesia itu pun tidak perlu lama untuk dapat melengkapi fasilitas laboratorium. Josh langsung menyiapkan dua proposal ke Monbukagakusho (Kagakukenkyuuhi-Research Grant Aid) di tahun 2005 untuk mendapatkan dana mulai tahun 2006.

“Saat itu, langsung saya apply young scientist (A), yaitu Research Grant yang cukup sulit untuk young scientist dengan besaran dana sekitar Rp3 miliar bila dikurskan ke rupiah,” ujarnya kepada akarpadinews.com melalui surat elektronik. Kala itu, dia menghadiri ISAST (International Seminar Aerospace and Science Technology) 2015 di Bali (29/10).

Topik penelitian yang ia sampaikan kala itu adalah pengembangan sensor Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR) untuk pesawat terbang. CP-SAR adalah tema original yang belum ada selama ini. Dari proposal yang diajukan, diterima dana sekitar Rp2,7 miliar. Dana itu yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun anechoic chamber atau ruang kedap gelombang electromagnet di laboratoriumnya. Dana itu sebagian digunakan untuk membeli alat ukur dan komponen radar.

Pemilik gelar sarjana dan magister bidang rekayasa komputer dan kelistrikan dari Universitas Kanazawa serta doktor bidang sistem gelombang radio terapan dan radar dari Universitas Chiba itu mengembangkan pula beberapa teknik penerapan radar untuk pemetaan perubahan lingkungan akibat bencana alam dengan menggunakan teknik interferometric SAR (InSAR) dan Differential InSAR (DInSAR).

Papernya sebagai laporan hasil penelitiannya dimuat di International Journal of Remote Sensing, IEEE TGRS, dan lainnya. Pengembangan CP-SAR dilakukan JMSRL selama enam tahun.

Teknologi radar, khususnya SAR sangat berguna untuk wilayah yang selalu diselimuti awan seperti Indonesia. “Karena itu, sekitar tahun 2005, saya mulai kembangkan dan temukan sensor yang berguna untuk Indonesia, yaitu CP-SAR. Kemudian terpikirkan pula platform untuk membawa radar ini adalah pesawat tanpa awak, pesawat berpenumpang biasa dan satelit,” jelasnya. Temuan CP-SAR telah dioperasikan sejak tahun 2011.

Kemudian, mulai dikembangkan pesawat tanpa awak khusus untuk membawa radar-radarnya dan diberi nama Josaphat Laboratory Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX-1).  JX-1 series UAV sudah lima tahun berjalan dan terbang pertama kali pada tanggal 7 Juni 2012. Saat ini, telah selesai dikembangkan JX-2 dengan material yang terbuat dari carbon composite agar lebih ringan sehingga jarak jangkau lebih jauh dan dapat membawa berbagai sensor lain selain CP-SAR.

Sejak tahun 2007, ia membuat Komisi Pengembangan CP-SAR sensor untuk microsatellite. Hampir ratusan usulannya ia buat ke pemerintah Jepang dan pemerintah lain. Akhirnya, pada tahun 2011 setelah mendapat dukungan dari Universitas Chiba, media, pengusaha, organisasi, dan senator Jepang, maka pengembangan CP-SAR onboard microsatellite didanai 360 juta Yen atau sekitar Rp36 miliar oleh Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang. Dana itu sangat membantu dirinya bersama teman-temannya, untuk pengembangan radar dan satelit yang diberi GAIA atau “Tanah Air”.

Josh menyematkan nama “Tanah Air” karena selama ini, hanya cemoohan pesimis dari banyak orang Indonesia terhadap karya bangsanya sendiri. Karenanya, dia pun meninggalkan Indonesia pada tahun 1998 untuk menciptakan sesuatu yang tidak bisa dibuat oleh pemerintah maupun orang Indonesia.

Dan, Josh pun ingin memberikan kontribusi kepada dunia. Radar, drone, dan microsatellite ini adalah kristalisasi keringat dan pikirannya selama ini untuk dunia dan Indonesia. Dia ingin tunjukkan, orang Indonesia tidak serendah yang dipikirkan oleh kebanyakan orang Indonesia sendiri. “Mudah-mudahan sesuai rencana atas bantuan pemerintah Jepang, tahun 2016-2017 nanti Tanah Air-I akan meluncur bersama satelit GCOM-C milik JAXA menggunakan roketH-II,” pungkasnya.

Bus sistem microsatellite yang digunakan oleh Tanah Air-I merupakan bus sistem dasar yang akan digunakan pula untuk microsatellite lainnya yang dikembangkan Josaphat Laboratorium. Selama berkarya di Jepang hingga pensiun pada tahun 2035 nanti, rencananya enam unit microsatellite, akan ia luncurkan untuk berbagai misi ruang angkasa. Teknologi ruang angkasa ini juga akan diaplikasi untuk pengembangan stratosphere drone yang dikembangkan untuk Indonesia, Taiwan, dan Jepang saat ini. 

CP-SAR dengan frekuensi L band telah dilakukan percobaan di Chiba, Jepang dan Malaka, Malaysia berkali-kali melakukan percobaan sejak tahun 2011 hingga saat ini. Saat ini, dia bersama rekan-rekannya sedang mempersiapkan percobaan menggunakan Boeing 737-200 di Indonesia pada Januari hingga Maret 2016 nanti untuk keperluan pengamatan perairan, hutan, perkotaan, gunung aktif, dan lain-lain di hampir seluruh pelosok Indonesia.

Dengan pengamatan menggunakan pesawat, maka diharapkan akan didapat informasi permukaan bumi Indonesia secara detail. Dengan begitu, Josh mengatakan, akan bermanfaat bagi banyak negara untuk keperluan antisipasi bencana, pertahanan, dan keamanan.

Keunggulan CP-SAR dapat menembus lapisan Ionosphere. Sehingga menghasilkan informasi citra radar yang lebih akurat. Di samping itu juga menghasilkan informasi tilted angle atau sudut orientasi masing-masing obyek di permukaan bumi dan menghasilkan informasi sudut kemiringan masing-masing obyek benda.

Demikian juga dari informasi elipticity atau keelipan gelombang, axial ratio, dan lain-lain. “Informasi-informasi ini dapat kita gunakan untuk pemetaan perkebunan, kehutanan, dan kelautan,” ujarnya. Harga satelit SAR biasa mencapai Rp4 triliun. Sedangkan satelit mikro yang dipasangi CP-SAR, sekitar Rp150 miliar.

 

Karyanya itu telah dipakai beberapa negara. Saat ini, radar CP- SAR L band telah dibuat untuk Malaysia. Sedangkan C band untuk Indonesia dan X band untuk Jepang dan Taiwan. CP-SAR dengan frekuensi C band telah dibangun untuk Indonesia.

“Demikian pula modifikasi dari JX UAV, sekarang sedang dikembangkan di Indonesia, dan mudah-mudahan akhir tahun 2016, kita dapat mengoperasikan UAV bersama CP-SAR C band ini di Indonesia. Saat ini, kami mengembangkan pula perangkat CP-SAR yang akan dipasang di microsatellite dengan berat sekitar 150 kilogram,” terangnya.

Selain CP-SAR temuan lainnya yang telah ia patenkan adalah sistem pengukuran karakteristik tumbuhan dengan menggunakan gelombang mikro. Ada lagi beberapa temuan, namun belum ia patentkan dan publikasi.

CP-SAR yang sedang dirancang juga untuk lembaga keantariksaan, antara lain: Badan Keantariksaan Eropa (ESA), Institut Riset Keantariksaan Korea Selatan (KARI), Organisasi Keantariksaan Nasional Taiwan (NSPO), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Paten dan hasil-hasil risetnya telah dibuat di 118 negara. Paten CP-SAR sendiri atas nama rektor Universitas Chiba pada bulan Oktober 2014.

Meski lama di Jepang, Josh tidak pernah melupakan tanah airnya. Karenanya, hasil risetnya untuk kepentingan Indonesia, khususnya untuk keamanan, pertahanan, dan bencana alam. Dia pun berharap, pemuda Indonesia lebih meng-explore karya sendiri, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bila perlu hasilnya ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia di seluruh dunia.

Ageng Wuri RA

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 821
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1088
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1341
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1481
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 337
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 333
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya