Siasat Dewan Menggasak Anggaran

| dilihat 1541

AKARPADINEWS.COM | KECAMAN publik tak membuat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatalkan pengesahan peraturan usulan dana aspirasi yang nilainya fantastis hingga mencapai Rp11,2 triliun. 

Selasa, 23 Juni lalu, dari 10 fraksi, tujuh fraksi mendukung dan hanya tiga fraksi yang menolak pembahasan mengenai mekanisme usulan dana aspirasi atau dikenal Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) tersebut. Namun, penolakan itu tekesan basa-basi, hitung-hitung investasi pencitraan di hadapan rakyat.

Toh, tetap saja, jika usulan itu dikabulkan, maka kas negara akan terkuras untuk anggota dewan. Makanya, fraksi yang menolak "baru berteriak" tatkala peraturan itu disahkan lewat sidang paripurna di DPR. Sementara saat rapat "maha penting" itu, tidak terdengar adanya interupsi, tidak ada perdebatan sengit menolak usulan dana aspirasi.

Dana aspirasinya, rencananya sebesar Rp20 miliar, akan diperuntukkan bagi setiap anggota dewan demi merealisasikan UP2DP setiap tahunnya. Dengan total 560 anggota dewan, maka dana sebesar Rp 11,2 triliun itu akan digelontorkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 untuk dimanfaatkan anggota dewan guna kepentingan merealisasikan platform politik daerah pemilihan (dapil) masing-masing.

Campur tangan DPR dalam mengelola anggaran negara jelas melabrak peran dan fungsinya. DPR hanya sebatas melakukan fungsi legislasi, pembahasan anggaran, dan pengawasan. Mereka harusnya mengawal penggunaan anggaran yang digunakan pemerintah untuk membiayi program-program pembangunan, bukan justru cawe-cawe menggunakan anggaran negara.

Lagian, apa mungkin dana yang dikucurkan itu efektif untuk merealisasikan pembangunan di basis konstituennya? Dan, siapa pula yang akan melaksanakannya. Proses pembangunan tentu tidak bisa serampangan, butuh perencanaan, assesmen masalah, profesionalitas, dan integritas. Jangan sampai, dana aspirasi itu justru jadi bancakan dan dihambur-hamburkan begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban.

Di era politik liberal saat ini--tanpa disertai dengan penguatan partai politik--uang menjadi senjata utama dalam memenangkan pertarungan. Bisa jadi, mereka membidik uang negara untuk modal politik dengan mengatasnamakan dana aspirasi. Di negara ini, politisi begitu haqul yakin jika uang menentukan karir politiknya.

Dengan sekoci melimpah, mereka dapat dengan mudah memobilisasi rakyat yang hanya mendapatkan secuil imbalan. Nah, di kala musim suksesi, mereka berubah layaknya "Robinhood" yang begitu derma membagikan harta rampasan perang ke orang-orang miskin.

Uang telah menyebabkan politisi dengan konstituen terjebak pada pola hubungan jual-beli. Untuk mendapatkan suara, mereka harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli sembako, kaus, atau menyumbangkan uang untuk pembangunan fasilitas umum.

Idealnya, hubungan politisi dengan rakyat bersifat simbiosis mutualisme, bukan simbiosis paratisme. Interaksi yang saling menguntungkan itu bisa dilakukan para wakil rakyat dengan melakukan kunjungan secara rutin dan intensif. Bukan dengan membagi-bagi uang. Rakyat dan wakilnya dapat memanfaat momen reses untuk menyikapi masalah.

DPR nampaknya berlindung di bawah UU No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Isinya, di Pasal 80 huruf (j) dinyatakan, hak anggota dewan untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan di Dapil. UU yang bias itu menjadi dasar para anggota parlemen untuk mengajukan program pembangunan di dapil yang sudah lama menjadi pemicu timbulnya usulan dana-dana liar.

Namun, mayoritas fraksi DPR yang menyetujui dana aspirasi berdalih, program itu akan membantu pemerintah. Menurut Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, Roem Kono, dana aspirasi tidak berada di kantong anggota dewan, melainkan disimpan di pos pemerintahan daerah, yang mewakili Dapil, sehingga diklaim mampu memangkas birokrasi jika sewaktu-waktu Dapil membutuhkan dana taktis untuk kepentingan darurat.

Politisi Partai Golkar dari Dapil Gorontalo itu juga menolak jika penggunaan dana aspirasi sebagai upaya DPR mengambil alih tugas pemerintah. Dia pun mengklaim, anggota DPR berhak memperjuangkan kepentingan konstituen.

Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional di DPR, Yandri Susanto juga menganggap, dana aspirasi sebagai bentuk kepedulian anggota parlemen terhadap Dapilnya. "Rp20 miliar itu bentuk kami peduli terhadap Dapil. Terkadang mereka tidak punya akses untuk itu," tutur Yandri di Gedung DPR, Jakarta, berapa waktu lalu.

Dia juga menyatakan, anggota dewan yang sering ke daerah sering sekali tidak tersentuh APBN atau APBD. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PAN itu mengimbau agar tidak mencurigai UP2DP menjadi bancakan anggota dewan. Logika Yandri itu rada membingungkan. Bagaimana mungkin, anggota dewan yang memanfaatkan anggaran dari kas negara sebagai bentuk kepedulian kepada rakyat? Apa untungnya bagi rakyat?

Jika untuk turun ke Dapil melaksanakan fungsi-fungsi pengawasan, DPR sudah mendapatkan jatah dari kas negara untuk kegiatan reses. Di tahun 2014, anggaran reses untuk penyerapan aspirasi rakyat sekitar Rp1,7 miliar per anggota DPR atau mencapai total mencapai lebih dari Rp994 miliar.

Masalahnya, toh rakyat juga tidak pernah tahu pertanggungjawaban wakilnya dalam menggunakan waktu reses. Padahal, dalam Pasal 29 UU No 23 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPR ditegaskan, anggota dewan mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Ketua DPR Setya Novanto juga mendukung usulan dana aspirasi. Setya menuturkan, anggota dewan sama sekali tidak akan menyentuh anggaran sebesar Rp20 miliar yang diperkirakan akan menjadi platform atas UP2DP nanti. Dana aspirasi itu akan digunakan untuk penyediaan air bersih, peningkatan sanitasi, tempat ibadah, pembangunan kantor desa, pengadaan benih dan bibit.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menambahkan, anggota DPR t‎idak akan menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam realisasi penggunaan dana aspirasi. "Aturannya sedang dibuat. Tentu tidak ada cerita DPR jadi pengguna anggaran (KPA)," ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dana aspirasi yang kini menuai sorotan publik sebenarnya sudah pernah mencuat pertengahan 2010 lalu. Beberapa fraksi di DPR ngebet agar dana aspirasi sebesar Rp8,4 triliun dianggarkan di APBN 2011. Dana sebesar itu dianggap kecil dibandingkan APBN yang nilai lebih dari Rp1.000 triliun. Lalu, di tahun 2004, muncul wacana dari anggota DPR untuk mendirikan Rumah Aspirasi.

Namun, Kementerian Keuangan menolak karena setiap anggota DPR akan mengantongi dana reses ke Dapil. Dana itu mencapai Rp118 juta untuk empat kali periode dalam satu tahun. Rumah Aspirasi gencar dilancarkan anggota parlemen selama kurun waktu lima tahun.

Berlanjut ke tahun 2013, fokus dana aspirasi berubah haluan ke dana reses. Bagi setiap anggota parlemen akan diberi kocek sebesar Rp678,43 juta setiap tahun. Kemudian setahun berikutnya, pada tahun 2014, angka itu membengkak hingga mencapai RP1,7 miliar untuk 11 periode reses.

Puncaknya, revisi UUMD3 akhirnya memasukkan wewenang DPR untuk mengambil aspirasi langsung dari masyarakat lewat dapil setiap anggota. Peraturan inilah yang menjadi dalih untuk memunculkan wacana dana aspirasi seperti saat ini.

Dengan demikian UUMD3 rasanya perlu dihilangkan atau diubah haluannya. Semata-mata menjauhkan mata para anggota parlemen untuk menggunakannya dengan tujuan lain. Mengingat, pasal ini hanya menimbulkan kerancuan terkait proses penganggaran di DPR.

Pasal ini juga banyak dinilai pihak sebagai “pasal siluman” karena tidak adanya penjelasan bersifat akademis atau yuridis. Karenanya, masyarakat yang dirugikan akan adanya praktik itu harus melayakan uji materi (judicial review) pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika UUMD3 dipaksakan terus berjalan, maka akan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antara DPR dengan pemerintah. Kedua institusi itu bisa-bisa berebut untuk membuat anggaran. Selain itu, dana aspirasi dapat menyebabkan pemerataan pembangunan di tiap daerah tidak akan berjalan efektif.

Pasalnya, anggota dewan di semua daerah jumlahnya berbeda, maka dana aspirasi nantinya berpotensi menimbulkan kesenjangan yang semakin mencolok di setiap daerah.

Misalnya, Pulau Jawa saat ini memiliki 306 kursi, maka diperkirakan akan menyerap dana aspirasi sebesar Rp6,12 triliun. Padahal, rencana pembangunan nasional memprioritaskan percepatan pembangunan di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku yang hanya mendapatkan sekitar Rp 5 triliun.

Parahnya, kebutuhan tiap daerah tentu berbeda dengan daerah lainnya. Misalnya, Bandung dan Jambi, tentu Jambi adalah daerah yang memerlukan dana lebih besar untuk pembangunan. Singkatnya, dana aspirasi ini justru makin menyebabkan kesenjangan pembangunan.

Karenanya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai dana aspirasi tidak perlu. "Karena tidak semua daerah punya kekurangan dan kebutuhan yang sama, sehingga ketika semua anggota DPR nanti dapat Rp20 miliar, tentu bisa berbeda-beda keinginannya," kata Kalla kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, 25 Juni lalu. Kalla menjelaskan, ketika sebuah daerah memerlukan dana untuk pembangunan infrastruktur, maka itu seharusnya diusulkan sejak pembahasan APBN.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. DPR tetap saja tidak peduli dengan resistensi atas usulan dana aspirasi. Fachri mengklaim, dana aspirasi adalah wujud dari pelaksanaan peran dan fungsi DPR yang diatur konstitusi maupun sumpah jabatan legislator. Penolakan terhadap dana aspirasi, menurut Fahri, berarti menolak konstitusi dan melanggar sumpah jabatan DPR.

Menurut politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, selama ini, tidak ada mekanisme bagi anggota DPR untuk menjalankan aspirasi konstituennya. Karenanya, program UP2DP akan memberi ruang bagi anggota DPR untuk membela konstituen.

Logika yang digunakan Fachri, jelas menyesatkan. Jika memanfaatkan dana aspirasi, maka anggota DPR justru melabrak kewenangannya sehingga melanggar UU. Sikap ngotot para wakil rakyat itu juga memperlihatkan watak aslinya. Mereka bukannya sibuk melaksanakan fungsi-fungsi pengawasan, justru ikut-ikutan cawe-cawe menggunakan anggaran.

Dana aspirasi ibarat bola panas panas yang tengah dimainkan DPR. Bola panas itu perlu dijinakkan agar tidak salah sasaran dan berpotensi menimbulkan masalah baru. Tinggal, bagaimana pemerintah menyikapi dana aspirasi tersebut. Presiden Joko Widodo sebelumnya menyatakan tidak setuju usulan dana aspirasi itu melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago.

Adhimas Faisal

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 527
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1620
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1400
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya