Eksekusi Mati Terpidana Narkoba

Awas! Sindikat Narkoba Mengincar Perempuan

| dilihat 1958
 
JAKARTA, AKARPADINEWS.COM | Gadis lugu asal Cianjur, Rani Andriani alias Melisa Aprilia (25) tinggal menghitung waktu menunggu eksekusi mati di Nusakambangan setelah vonis pidana mati diberikan pada tahun 2000 oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tanggerang.
 
Selama 14 tahun, sejak ia baru tamat SMA, Rani selalu dibayangi kematian dan penyesalan, sesaat lagi maut akan menjemputnya dengan eksekusi mati. Keinginan terakhirnya hanya satu, ingin dimakamkan di samping makam ibunya. 
 
Jaksa Agung HM Prasetyo saat menggelar konfrensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Kamis (15/1) menjelaskan bila terdakwa yang keenam adalah Rani Andriani alias Melisa Aprilia, Warga Negara Indonesia, Rani adalah wanita kelahiran Cianjur, Jawa Barat. Namun, belum diketahui apa pekerjaan dia. Putusan Pengadilan Negeri tahun 2000, Putusan MA 2001, Peninjauan Kembali 2002 dan Grasinya ditolak 30 Desember 2014.
 
Rani adalah terdakwa sekaligus korban dari jaringan narkotika yang selalu melakukan berbagai tipu daya, termasuk melalui perangkap perkawinan dan pacaran hingga hubungan keluarga. Rani diciduk petugas Soekarno Hatta, karena menyelundupkan 3,5 kilogram heroin alasannya membantu sepupunya Meirika Pranola (Prn) alias Ola yang konon dipaksa suaminya yang berkebangsaan Nigeria yang selalu mekakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta melibatkan seorang lurah di Cianjur, Deni Setia Marhawan, yang juga sepupu Ola. Mirisnya, Ola dan Deni mendapat Grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono. 
 
Banyak pihak menyayangkan vonis pidana mati terhadap Rani yang tidak mempertimbangkan latar belakang ekonomi Rani yang tertekan secara ekonomi dan psikologi, serta terjebak dalam jaringan mafia narkotika karena tertipu. Selain Rani ada tujuh perempuan lain baik WNI dan WNA yang mendapat vonis hukuman mati, grasi dan hukuman penjara.
 
Pusat Kajian Wanita dan Jender (PKWJ) Universitas Indonesia yang fokus pada penelitian untuk mengungkapkan perdagangan perempuan dalam pengedaran narkotika juga turut serta menyayangkan vonis Rani dan nasib para perempuan yang dianggap terjerat jaringan narkoba.  Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Ketua PKWJ, melihat keberadaan delapan perempuan dan beberapa korban lainnya itu sebagai fenomena perdagangan perempuan. 
 
"Keberadaan mereka dalam aktivitas ini tidak terlalu mudah untuk dapat dikategorikan sebagai perdagangan perempuan, tapi tetap menunjukkan adanya eksploitasi dan kejahatan yang sangat merugikan perempuan", jelas Sulis.
 
 
Adapun tahapan modus perdagangan perempuan yang dilansir dari hukumonline, menurut Sulis meliputi: Pertama, perekrutan perempuan dalam jaringan narkotika itu diawali dengan tipu daya dalam berbagai bentuk. Terutama, diciptakannya hubungan personal--pacaran, perkawinan, hidup bersama--antara perempuan sebagai korban dengan pemilik sesungguhnya. Kedua, para perempuan itu diperintahkan untuk melakukan jenis pekerjaan yang berbahaya dan beresiko, tanpa diberitahu apa bahaya dan resiko pekerjaan itu. Mereka yang masuk perangkap pacaran atau perkawinan tidak mengetahui bahwa mereka bakal dijadikan pengedar narkotika oleh pasangannya.
 
Ketiga, adanya unsur migrasi. Buktinya, semua terpidana mati kasus narkotika tertangkap di bandara. Keberadaan para perempuan itu menjadi salah satu mata rantai dari perdagangan perempuan. Keempat, adanya unsur eksploitasi berupa kekerasan, termasuk penyekapan dan ditiadakannya hak korban untuk bertanya. Kelima, ada orang-orang yang mendapat keuntungan dari bisnis ini, yaitu pengedar lapis atas dan bandar narkotika sesungguhnya.  Mereka dapat keuntungan besar, sedangkan para perempuan itu malah mendekam di penjara dan menunggu hukuman mati.
 
Tampaknya, perempuan yang menjadi terpidana kasus narkotika itu diumpankan sebagai perisai. Salah satu strategi jebakan adalah mendekati perempuan-permpuan muda, yang kemudian bergantung secara finansial. Sebagai kompensasi diajak jalan-jalan ke luar negeri, perempuan itu dikirim sebagai pembawa narkotika. Lalu, perempuan itu membawa narkotika dengan  barang khas perempuan, disempunyikan di balik BH, atau malah ditelan dalam perut.
 
"Padahal, pengalaman perempuan ini seharusnya dapat menjadi bahan pertimbangan berkaitan dengan posisi perempuan dalam kasus tersebut," jelas Sulistyowati. Karena pengabaian pengalaman perempuan dalam proses persidangan, para perempuan itu tidak mendapatkan akses pada keadilan.
 
Semoga kisah Rani dan nasib para perempuan yang terjebak dalam jaringan Narkotika ini dapat menjadi refleksi, agar perempuan tidak mudah terbujuk tipu daya dan mempunyai sikap menolak, sehubungan dengan resiko yang begitu besar yang akan di hadapi yakni selain vonis mati juga turut serta merusak generasi bangsa. |Ratu Selvi Agnesia
 
 
 
Editor : Nur Baety Rofiq
 
Energi & Tambang
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 233
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 332
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya