Aksi Sosial FORHATI - Jaya Ancol

Jangan Menutup Matahari dengan Jemari

| dilihat 1695

Tsunami yang melantakkan sejumlah kecamatan di Kabupaten Pandeglang, Sabtu (22/12/18) tak hanya meninggalkan cerita lara dan aneka kabar tentang proses pemulihan kehidupan korban. Bencana yang memakan banyak korban meninggal dunia dan rumah lantak, itu ternyata juga menyediakan tantangan pengabdian.

Tantangan itulah yang diambil oleh Majelis Nasional FORHATI dipimpin Koordinator Presidium Hanifah Husein, bersama Sekretaris Jendral Jumrana Salikki. Sebelumnya, Majelis Nasional FORHATI sudah turun ke lokasi bencana gempa di Lombok dan tsunami di Palu.

Para emak dan ninin yang selalu merasa masih belia dan tak pernah lelah merawat semangat pengabdian dan ibadah.

Bekerjasama dengan PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, mereka melakukan aksi community responsibility, melakukan psychosocial action movement. Membuang sesaat segala atribut sosial yang melekat pada diri mereka. Meninggalkan peraduan dan tilam di kamar berpengatur ruang yang nyaman. (Baca : Fantacy Leap Anak Anak Sumur Kroban Tsunami)

Ahad (24/2/19) mereka bergerak ke desa Taman Jaya, Sumur, Pandeglang - Banten yang medannya berat untuk ukuran emak-emak dan ninin. Dua di antaranya (Farida dan Jurmrana) mengemudian sendiri jeep Terrano Catty, Pajero Bunbun, dan FortuPAS.  Lainnya, dengan jenis mobil double gardan yang biasa dipakai di medan berat, tapi nyaman dikendarai di tengah kota.

Rombongan yang bergerak ke lapangan (Sumur), disertai tim khusus para motivator, penganggit kreativitas - origami skill, dokter-dokter belia berwajah optimistis di bawah koordinasi pendidik dengan pengalaman lapangan yang matang, Asnawi Hamid.

Akan halnya Hanifah dan Jumrana membawa 'pasukan' ahli multi fungsional dengan beragam latar, multistages: Farida Islahiati T.S - yang lama tinggal di Kramat Watu dalam lingkungan pimpinan manajemen Krakatau Steel dengan beragam pengalaman - termasuk mengorganisasi PAUD (Pendidikan Anak Usaha Dini), Darmahusni Yahya - dosen senior cerdas yang peduli pendidikan anak, Kasmawati yang terlatih dalam aksi tanggap bencana; Jamilah Abdulgani - notaris beken di wilayah Banten, Helwa Alkathiri - aktivis tangguh penggerak emas-emak, serta para aktivis lebih muda: Misna, Tanriajeng, Jane, dan lainnya.

Izza - yang mengurusi koordinasi dan persiapan menyambut kunjungan 100 anak-anak Sumur, korban tsunami terus memonitor timnya, berkoordinasi dengan tim Ancol untuk mengetahui perkembangan mutakhir di lapangan. Sampai, Ahad tengah malam, Izza yang entrepreneur ini, terus memonitor perkembangan rekan-rekannya di lapangan.

Para pengusung program 'Menjemput Impian Bersama,'  ini rada kesulitan berkomunikasi, sejak Ahad tengah hari. Pasalnya, tak ada sinyal di ruas jalan yang dilalui. BTS (base tranceiver system) yang aktif hanya milik satu operator, yang lainnya belum lagi merehabilitasi. Celakanya, tak ada anggota tim yang berlangganan layanan komunikasi operator tersebut.

Mencemaskan memang. Komunikasi terputus, selepas Jamila di akun facebook-nya, memposting gambar-gambar mereka terjebak kubangan lumpur, dalam perjalanan menuju lokasi. Bahkan, gambar kendaraan yang ditumpangi Hanifah, yang terjebak dalam kubangan munding, tak sempat lagi diposting.

Izza yang terus memonitor tim lapangan yang dipimpin langsung Hanifah, meyakinkan, bahwa rekan-rekannya dapat mengatasi keadaan yang memicu adrenalin kepetualangan itu.

"Sepanjang jalur menuju ke lokasi, kami belajar bagaimana melatih ketepatan intuisi dalam memilih jalan yang tepat dan benar," cetus Jumrana.

"Saya mengambil inisiatif memposting gambar kubangan munding itu sebagai fakta nyata, betapa infrastruktur pedesaan kita tak sebagus cerita dalam kampanye politik," ungkap Jamilah.

"Alhamdulillah. Karena terlatih menghadapi medan sulit di masa lalu, medan yang lumayan berat, bisa kami atasi. Keterampilan harus selalu selaras dengan keberanian dan keyakinan," ungkap Farida.

"Seru deh pokoknya. Pelajaran utamanya adalah bagaimana mesti selalu konsisten dengan kesetiaan pada gagasan dan rencana aksi program dan kekuatan hati untuk melayani insan sesama," ungkap Kasma, yang mantap pramuka aktif ini.

"Kata kuncinya adalah keikhlasan dan kesungguhan memberi dan melayani. Program semacam ini, di dunia perguruan tinggi merupakan salah satu tridharma perguruan tinggi. Eksekusinya memang harus matang," ujar Darmahusni Yahya, yang biasa dipanggil Idar, itu.

"Kita musti gembira menghadapi tantangan. Di balik kesukitan, selalu ada kemudahan," tanbah Helwa.

Pastinya, kata Jumrana, "Di balik kesulitan selalu ada inspirasi."

Jum bercerita, kerumitan yang terselesaikan, terbayar dengan keindahan. Dia bercerita tentang Misna dan Ajeng yang menikmati keindahan alam, laut lepas dan pantai yang menjanjikan harapan. "Bagi penyair, ketika Misna dan Ajeng menikmati suasana alam, mungkin bisa lahir gagasan menuliskan fantasi tentang dua putri yang mendamba datangnya dua jejaka, menjemputnya ke alam khayal," sambung Jumrana.

Dari cerita perjalanan tim FORHATI, itu beragam makna bisa diserap. Sumur - Ujung Kulon yang terletak di arah azimuth 248° 37' 25.302" (paling ujung Barat Pulau Jawa) dari Jakarta dengan jarak lurus 147.69 km, dengan jarak tempuh jalur yang berliku, mencapai 210 km.  

Dengan jarak sebegitu saja, ketimpangan masih menonjol, bahkan ketika Banten sudah menjadi provinsi otonom. Maknanya adalah katimpangan antarwilayah sudah menampakkan sosoknya dalam jarak yang relatif tak begitu jauh. Kompleksitas permasalahan ada di situ.

Isyarat yang didapat: yang selalu diperebutkan adalah kursi jabatan dalam Pilkada, bukan bagaimana berlomba menebar kebajikan. Lima tahun sekali, segala persoalan ini tak nampak, karena pencitraan yang dibangun, seolah menutup segala kekurangan dan kelemahan.

Pada Senin, ketika tim di lapangan melakukan berbagai aksi psychosocial treatment anak usia balita dan melakukan training of trainer trauma heal dengan keterampilan origami untuk para guru -- yang sebagian terbesar masih berstatus tenaga honorer, di Jakarta, Izza dan tim Ancol menyiapkan berbagai hal menyambut kedatangan tim dengan 100 anak peserta program.

Ruhnya adalah keterpaduan melalui koordinasi. Yang ada di dalam benak Izza, adalah bagaimana ketika rekan-rekannya dari lapangan tiba di Ancol dengan segala pepat penat, mereka bisa rebah membuang lelah dengan nyaman. "Suasana batinnya, tetap dijaga, kami siap suasana kedaruratan, supaya segala yang tersimpan di benak dan batin dari perjalanan panjang," ujar Izza. Karenanya tak perlu kamar hotel.

Suasana itu yang dijaga Izza, karena keesokan harinya (Selasa, 26/2/19) mereka masih harus mendampingi 100 anak-anak itu melakukan proses fantacy leap di wahana Dunia Fantasi (Dufan).

Apa yang menarik di balik suasana yang 'darurat' iut? Gambar memang menjelaskan peristiwa melebihi jutaan kata. Gambar Kasma memasak dengan tabung gas, mengirimkan pesan semua anggota tim dalam keadaan selamat, sekaligus laper, letih dan lelah.

Momen di balik gambar itu jadi cerita, misalnya tentang Farida yang lelap tertidur, kala diminta Kasma menunggui beras yang masih ditanak. Pun, kesigapan Kasma memilih resep singkat sederhana santapan yang cepat dimasak, tepat waktu dihidangkan.

"Persoalan utamanya memang bukan kelezatan," ujar Kasma.

Di Jakarta pun begitu. "Hamparan kasur yang diletakkan berbanjar di ruang lumayan panjang di salah satu gedung kantor Jaya Ancol, tidak terukur dengan kenikmatan dan kenyamanan. Karena fokusnya adalah bagaimana memfasilitasi teman-teman membayar luas kelelahan dan keletihan mereka," jelas Izza. "Nikmatnya, nanti waktu pulang.. di rumah," sambungnya.

Apa yang menarik dari semua ini? Kerja sosial, khasnya program pemulihan psikologis dan psikis korban bencana alam, mesti dihampiri oleh intereaksi tanpa jarak. Termasuk jarak batin. Mulai dari bagaimana memelihara kepedulian, antusiasme, empati dan simpati yang melahirkan apresiasi dan respek.

Pemulihan korban bencana alam harus dihidupkan oleh cinta dan kesetraraan insaniah. Membuang jauh-jauh jarak sosial dan bahkan jarak batin. Pengalaman ini yang menjadi formula FORHATI. 

"Itulah dan begitulah makna kegiatan bermakna ibadah," ujar Hanifah, yang usai serah terima peserta program kepada Direktur Utama Ancol, Paul C. Tehusijarana, langsung bergegas karena ditunggu rapat PKK (Program Kesejahteraan Keluarga). Kemudian, kembali bergerak berikhtiar sebagai CEO perusahaan yang tak kecil skalanya.

"Kami ini aktivis, bukan sosialita berjubah bakti sosial," kata Jumrana.

Melihat aksi para emak dan ninin Forhati, perintis Komunitas Alumni HMI Jalan Sehat (KFJS) Afni Achmad mengatakan, "Jangan menutup matahari dengan jemarimu, nanti silau matamu."  | semsahaja

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya