Kutil dan Jabatan

| dilihat 2100

N. Syamsuddin Ch. Haesy

MUDAH-MUDAHAN sebagian terbesar kita kenal atau tahu kutil, yang berbentuk benjolan kecil berakar yang bisa tumbuh tak terduga di tubuh kita. Relatif tak mudah dihilangkan dari tubuh.

Kutil adalah masalah kesehatan kulit yang disebabkan oleh human papilloma virus (HPV). Kutil sangat mengganggu siapa saja yang terkena. Terutama karena virus yang menyerang lapisan kulit itu, membuat produksi keratin (protein keras) meningkat pesat, sehingga melebihi jumlah yang diperlukan tubuh.

Apa hubungan kutil dengan jabatan? Tak ada hubungan langsung. Keduanya berbeda satu dengan lainnya. Kutil tak pernah diharapkan siapapun melekat pada dirinya, jabatan sebaliknya. Tak sedikit orang yang memburu  dan berharap-harap jabatan melekat pada dirinya. Antara lain melalui lelang jabatan yang dilakukan secara terbuka.

Siapa saja berharap, kutil segera lepas dari tubuhnya. Berbagai cara dilakukan, termasuk operasi medis kecil. Sedikit sekali orang yang berharap kutil berlama-lama melekat pada dirinya.

Jabatan? Tidak. Terlalu banyak orang yang ingin jabatan melekat berlama-lama pada dirinya.

Terlalu sedikit orang yang menyadari, ketika kutil dari copot dari tubuh kita, terasa pedih sakitnya. Berbeda dengan jabatan. Karena tak melekat secara fisik, sama dengan berbagai tanda pangkat dan jabatan, ketika dilekatkan atau dicopot di pundak baju atau kerah jas kita, tak terasa apa-apa.

Itu sebabnya dalam jabatan formal dilakukan upacara, termasuk upacara pelantikan, agar ada ‘sesuatu yang dirasakan.’ Kendati demikian, tetap saja tak terasa. Kecuali bagi mereka yang memandang jabatan sebagai sesuatu amat sangat luar biasa.

Bagi saya, jabatan adalah sesuatu yang berada di luar diri kita, dan ketika kita menyandangnya, yang mesti kita sadari adalah fungsi jabatan itu sendiri.

Suatu malam di bulan Maret 2013, di Istana Negara, saya pernah tanya pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) apa hakekat jabatan baginya. Sambil tersenyum dan memandang antusias ke arah saya, SBY mengatakan, baginya jabatan adalah amanah.

Di dalam jabatan itu ter­dapat kepercayaan rakyat, masyarakat, negara, yang harus diper­tanggung jawabkan di dunia dan akhirat.

Memangku jabatan, kata SBY, adalah melaksanakan amanah dan kepercayaan rakyat, bukan berkuasa. Karena kekuasaan adalah wahana untuk mengemban amanah dan kepercayaan itu. 

Yang membuat jabatan, Presiden misalnya, menjadi ‘sesuatu’ adalah karena ikhtiar mempertemukan ikhtiar insaniah kita dengan takdir Ilahi. Karenanya di dalam jabatan itu selalu saja ada risiko.

Bagi SBY, karena kita merupakan bagian dari masyarakat, upaya mempertemukan ikhtiar insaniah dan takdir Ilahi itu harus dihadapi dengan kesiapan mental diri sendiri dan lingkungan sosial terdekat, terutama keluarga.

Khususnya ketika takdir Ilahi menghadirkan jabatan itu kepada kita dan ketika Allah mengambil kembali amanah itu dari diri kita.

Saya terkekeh dalam hati ketika membayangkan kutil yang hanya mengandung risiko personal dan sangat individual. Karena ketika virus penyebab kutil menyerang diri kita, ya hanya diri kita saja yang merasakannya. Begitu juga ketika kutil dilepaskan dari diri kita, hanya kita sendiri yang menanggung risikonya.

Alhasil menyikapi jabatan, hanya satu saja: perlakukan sebagai amanah. Laksanakan amanah itu secara bertanggungjawab dan sesuai dengan hukum insaniah dan hukum ilahiyah yang mengaturnya.

Secara spiritual, dalam ajaran Islam, misalnya, jabatan adalah sarana untuk melakukan pelayanan kepada umat seluas-luasnya. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin berat dimensi pelayanan yang harus dilaksanakannya, berupa kewajiban dan tanggungjawab.

Oleh karena itu, pada jabatan selalu tanggungjawab menyertai. Karena jabatan bukanlah pemberian, melainkan takdir Ilahi.

Saya dan SBY lantas berbagi cerita di masa lampau, ihwal jabatan di masa Rasulullah dan masa Khulafa’ ur Rasyidin.

Rasulullah Muhammad SAW  menegaskan, “Barangsiapa yang Allah angkat sebagai pengatur urusan umat, lalu ia bersembunyi dari kewajiban-kewajibannya, maka Allah pun akan menghindar dari keperluannya di hari kiamat.”

Itulah sebabnya, di dalam ajaran Islam, jabatan bukan tidak berlaku bagi mereka yang meminta jabatan itu, melainkan diperuntukan bagi mereka yang berhak menerimanya.

Abu Musa berkesaksian, suatu saat Rasulullah dikunjungi dua orang lelaki dari Bani Amir. Keduanya memohon, “Jadikan aku sebagai pimpinan atas sebagian dari apa yang Allah jadikan engkau sebagai pemimpinnya.”

Kepada kedua orang, itu Rasulullah SAW menyatakan, “Sesungguhnya, kami – demi Allah – tidak menyerahkan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya atau seseorang yang sangat berhasrat untuk itu.”

Pada masa kepemimpinannya, Rasulullah SAW hanya memberikan jabatan kepada mereka yang dinilai pantas dan patut menerimanya, serta diyakini: mampu melaksanakan amanah dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.

Atas pertimbangan, itu Rasulullah SAW mengangkat Utsman bin Abi al-Ash -- seorang anak muda yang tak pernah meminta jabatan itu -- sebagai Gubernur di Tsafiq. Karena anak muda ini, sedemikian ikhlas menjalani hasratnya mengajarkan al Qur’an, meski mempunyai kemampuan memimpin sangat baik.

Hal yang sama juga diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Usamah bin Zaid, yang berusia di bawah dua puluh tahun, dan berkemampuan memimpin luar biasa.

Usamah diangkat sebagai panglima tentara, dan mengirimnya ke medan laga bersama para sahabat yang terbaik dan kaum muhajirin. Terbukti, Usamah mampu membuktikan kepemimpinannya, dan memperoleh kemenangan yang besar.

Dalam hal pengakhiran jabatan seseorang, Rasulullah SAW – atas petunjuk wahyu – melakukannya dengan alasan yang sangat dalam: menyelamatkan seseorang dari petaka karena jabatan yang disandangnya. Bukan karena like and dislike, bukan karena performance appraisal yang sangat subyektif. Juga bukan karena desakan dan pengaruh siapapun.

Apa yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW itu pernah dilakukan Umar bin Khattab, ketika mencopot jabatan Khalid bin Walid dari jabatannya sebagai panglima perang. Padahal peperangan yang dihadapi merupakan peperangan besar.

Usai memenangkan peperangan yang juga melibatkan Khalid bin Walid sebagai prajurit biasa, karena terus menerus didesak untuk memberi klarifikasi, Umar mengemukakan tiga hal, yakni :

Pertama, Umar tak ingin Khalid sombong, karena terlalu hebat menjadi panglima perang. Kesombongan (pongah dan takabur) akan mendorong siapapun menjadi lupa diri dan kapan saja diterkam petaka.

Kedua, Umar tak ingin terjadi Khalid terjebak oleh popularitas yang menyebabkan dirinya melupakan hakekat fungsional sebagai penyandang amanah yang harus melayani umat;

Ketiga, Umar tak ingin Khalid terjemah oleh kultus individu seluruh prajuritnya, karena hal itu akan mendatangkan petaka, terseretnya para pengikut ke dalam jebakan penghambaan, yang akan menimbulkan syirk.

Khalid bersukacita dan senang hati dicopot jabatan dari dirinya.  Dia bersyukur untuk itu. Dan jabatan prestisius itu dia lepaskan begitu saja. Khalid tak merasa sakit sedikitpun.

20 Oktober 2014, di ruang sidang Kementerian Sekretariat Negara di luar pagar kompleks Istana Negara dan Istana Merdeka, sambil menunggu kedatangan Jokowi – JK yang diarak dan dielu-elukan bak raja sepanjang jalan Thamrin, saya pandangi SBY sangat enteng melepas jabatannya.

Kepada Lukman Hakim Saifuddin, SBY sempat bergurau, “Pak Lukman pantas diteruskan jabatannya sebagai Menteri Agama.” Ucapan itu menjadi kenyataan, karena sudah dua kali reshuffle Kabinet Kerja Jokowi – JK, Lukman terus menyandang amanah sebagai Menteri Agama.

Bagi yang ‘diselamatkan Allah’ melalui reshuffle kedua, yang jatuh pada hari Rabu Pon, selamat ! Allah sedang merencanakan sesuatu yang terbaik bagi Anda. Dan.. ingat, jabatan bukan kutil, jadi tak ada yang sakit ketika dilepaskan.. ! |

Editor : sem haesy
 
Energi & Tambang
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 238
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 409
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 256
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya