Kretek dalam Pertarungan Global

| dilihat 1944

AKARPADINEWS.COM | KUBA dikenal masyarakat internasional dengan cerutunya. Di negara komunis itu, cerutu menjadi bagian dari identitasnya. Bagaimana dengan Indonesia? Jika Kuba dikenal lantaran cerutunya, Indonesia juga dikenal dengan kreteknya.

Mark Hanusz dalam The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes menjelaskan, "Kretek itu tidak ada di Amerika Serikat, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia.”

Krektek, dengan tembakau dan cengkeh yang memiliki citarasa khasnya, diyakini menjadi salah satu pemicu bangsa-bangsa asing menjajah Indonesia. Agus Salim, salah satu tokoh bangsa, yang menjadi penikmat kretek, pada tahun 1953 di Istana Buckingham pernah lugas menjawab pertanyaan pangeran Philips suami Ratu Inggris Elizabeth II. Kala itu, Philips bertanya, "Apakah gerangan rokok yang Tuan hisap itu?”

Sembari menikmati kreteknya, Agus Salim yang berada di samping Philips menjawab, “Inilah (krektek) sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu, bangsa Barat mengarungi lautan mendatangi (menjajah) negeri kami.” Dia menilai, bangsa asing, khususnya Belanda selama ratusan tahun menjajah Indonesia karena kaya rempah-rempahnya, termasuk tembakau. 

Secara historis, perkembangan produksi kretek di Indonesia tidak terlepas dari penanaman tembakau yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda di bawah kekuasaan Van De Bosch tahun 1830 melalui penerapan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) di Semarang, Jawa Tengah. Namun, sempat mengalami kegagalan.

Karena tingginya kebutuhan pasar, pada tahun 1856, Belanda kembali menanam tembakau di lahan yang lebih luas lagi di Besuki, Jawa Timur dan berbagai daerah lainnya. Hingga saat ini, Besuki, Klaten (Jawa Tengah), dan Deli (Sumatera Utara) merupakan daerah penghasil tembakau yang potensial. Dalam perdagangan internasional khususnya Eropa, Indonesia merupakan negara penyuplai komoditas tembakau terbesar.

Sementara di masyarakat Indonesia, tradisi ”menginang” dianggap cikal bakal persentuhan orang Indonesia dengan kretek, dengan mencampurkan kapur (injet), gambir, dan tembakau, lalu dibungkus kulit jagung kering (klobot). Berbeda dengan bangsa asing, di Indonesia, tembakau terlebih dahulu dirajang, dikeringkan, dicampur dengan cengkeh atau rempah lain, dan digulung dengan klobot atau kertas sehingga jadilah kretek.

Penamaan kretek, tidak bisa dilepaskan dari nama Haji Djamhari, petani dari Kota Kudus, Jawa Timur. Pada suatu hari, sekitar akhir abad ke-19 (1870-1880), secara tidak sengaja, Djamhari menambahkan cengkeh ke dalam lintingan tembakau miliknya. Setelah menghisap lintingan tersebut, penyakit asma dan sakit dada yang dideritanya sembuh. Sejak itulah, orang-orang mulai mengikuti jejaknya. Mengenai penamaan kretek sendiri, disebut-sebut karena menyerupai bunyi tembakau saat terbakar, "Kretek.... kretek..." Kretek sebenarnya berbeda dengan rokok putih yang hanya berbahan tembakau. Kretek juga tidak ada filter.

Saat ini, kita mengenal Kudus sebagai Kota yang identik sebagai penghasil Kretek dengan basis produksi industri rumahan hingga industri besar. Dalam perkembangannya, rokok kretek yang berkembang di Indonesia mendapatkan berbagai pesaing dalam perdagangan rokok di pasar global. Kretek bertarung dengan rokok putih, sekaligus menghadapi gencarnya kampanye antirokok yang disuarakan perusahaan obat dunia. Dalam buku bertajuk, "Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek", disebutkan bahwa persaingan tersebut merupakan usaha untuk mematikan perekonomian lokal Indonesia.

Kalangan komunitas kretek menganggap, konspirasi penghancuran rokok kretek Indonesia akan berdampak matinya perusahaan kretek yang mengakibatkan suramnya masa depan petani tembakau hingga buruh pabrik. Selain itu, pemasukan negara akan berkurang drastis mengingat pemasukan negara dari cukai rokok sangat besar.

"Terlalu naif jika kita membicarakan rokok atau kretek sebagai satu-satunya pemicu Kanker, banyak tuduhan buruk yang kita patahkan,” ucap Jibal Windiaz, pendiri Komunitas Kretek Jakarta saat ditemui di Komunitas Kretek.

Komunitas Kretek juga mencurigai motif industri-industri asing yang memproduksi rokok putih dan farmasi internasional, yang begitu intensif menggulirkan wacana yang menghantam eksistensi kretek Indonesia. Karenanya, wacana tandingan pun digulirkan. Komunitas Kretek memandang, tak bisa ditampik jika kretek merupakan komoditas menarik yang menjadi incaran kepentingan bisnis asing. Seperti rempah-rempah nusantara yang menjadikan negeri ini pernah terjajah. Secara interpretasi simbol, kretek tak bisa lepas dari relasi kekuasaan juga manipulasi medis.

Berbagai pihak yang peduli terhadap keberadaan kretek, sama sekali tidak mengajak orang-orang untuk merokok. Namun setidaknya, mereka juga menyadarkan pentingnya memperhatikan nasib ribuan pekerja jika industri kretek dimatikan.

Ratu Sevi Agnesia

 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 913
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1151
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1406
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1550
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1153
Rumput Tetangga
Selanjutnya