Renungan

Kaya. Apa Pula Itu?

| dilihat 2118

AKARPADINEWS.Com-APA yang kita ketahui tentang kaya? Sudut pandang mana yang kita pergunakan: pemburu dunia atau perindu surga? Adakah yang kita maksudkan dengan kaya, adalah harta warisan turun temurun yang diperoleh dari merompak dan merampok harta negara?

Dari catatan Al Mas’udi, kita peroleh, di masa lalu –ada khalifah yang meninggalkan harta melimpah. Antara lain (dalam catatan Al Mas’udi) berupa 150 ribu dinar dan sejuta dirham di tangan bendahara. Ditambah perkebunan luas di Wadi I-Qura dan Hunain, dengan sejumlah unta dan kuda. Peruntungan hasil kongsi perkebunan az Zubair, senilai 50.000 dinar, yang sangat mahal pada masa itu. Termasuk income yang diperoleh Thalhah dari Irak, 1.000 dinar per hari, dan pendapatan dari As-Sarah yang jumlahnya lebih besar lagi.

Atau kaya laksana Abdurrahman bin ‘Auf yang kandangnya berisi 1.000 kuda, 1.000 unta, dan 1.000 kambing, dengan sisa uang sebesar 84.000 dinar dari seperempat bagian perkebunannya, saat ia wafat. Atau laksana Zaid bin Tsabit, yang ketika wafat mewariskan perak dan emas, yang dipecah-pecah dengan kapak, menjadi batangan, ditambah lagi harta benda dan perkebunan seharga 100.000 dinar. 

Atau, kaya seperti Az Zubair, yang membangun rumah megah untuk dirinya, masing-masing sebuah di Bashrah, Mesir, Kuffah, dan Iskandariyah. Tak jauh berbeda dengan Thalhah yang membangun rumah elok dan megah di Kuffah dan Medinah, dihias balustrade di puncaknya. Hal itu diikuti Al Miqdad, yang membangun rumah batu di Medinah, atau seperti kekayaan Ya’la bin Muhyah yang meninggalkan 50.000 dinar, perkebunan, dan harta lain seharga 200.000 dirham.

Atau, kita memandang kaya sebagaimana halnya dengan Fathimah Az Zahra yang mengikuti jejak Rasulullah Muhammad SAW, yang hidup dalam kesederhanaan. Bahkan, tanah warisan Rasulullah pun, dirampas dan dijadikan harta publik? Dan baru diperoleh kembali hak itu, ketika Ustman bin Affan menjadi Khalifah. Pada Fathimah, suaminya Ali bin Abi Thalib, dan putera-puteranya yang dikasihi Rasulullah (Hasan dan Husein), kaya bukanlah gelimang harta atau gemilang kuasa.

Islam tak melarang umatnya menjadi kaya, sepanjang kekayaan itu diperoleh dengan cara yang benar. Kemudian dibelanjakan di jalan Allah, karena disadari, bahwa di dalam harta kekayaan itu Allah menitipkan hak kaum mustadh’afiin, tersisihkan, miskin, yatim, dan tak berdaya. Harta yang diperoleh bukan sebagai bagian dari fasilitas  baitulmaal, alias inventaris.

Umat Islam harus kaya secara halal dan benar. Kaya yang diperoleh secara tidak benar akan mendorong manusia kehilangan harkat, martabat, dan harga dirinya, dan kemudian terjerembab jatuh ke kondisi paling buruk. Lebih rendah dari binatang. Harta dan tahta, seringkali menyebabkan manusia kehilangan dimensi kemanusiaannya, karena mereka memandang kaya sebagai sesuatu yang melampaui batas. Kemudian mereka disibukkan oleh kekuatiran yang tak alang kepalang atas harta mereka. Lalu, akhirnya, tenggelam di dalam kekayaannya secara hina. Itulah yang dialami Qarun. Demikian seterusnya, sebagaimana dapat dipelajari dari kisah Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan, Muawiyah, Jazid, dan seterusnya.

Ketika kaya yang kita maksudkan adalah dunia dengan meninggalkan urusan dan tanggungjawab akhirat kita, manusia saling berseteru mempertahankan kekayaan mereka.

Kekayaan artifisial, rontok oleh asumsi-asumsi kita tentang kaya dan kekayaan itu sendiri. Tapi, ketika kaya adalah amanah untuk membangun kemuliaan manusia, dan agama telah memfasilitasinya dengan zakat, infaq, shadaqah, dan amal jariah, hakekat kaya menjadi sesuatu yang indah. Laksana Fathimah az Zahra, yang kaya secara abadi, lantaran di tengah kondisi miskin pun masih memberi. | Haedar

Editor : Nur Baety Rofiq
 
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 226
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 225
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 427
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya
Energi & Tambang