Pada masa lain, sejarah mencatat bagaimana Fir’aun menguasai sumberdaya alam dan menjejakkan kekuasaannya melebihi batas kewajaran. Kemudian dengan cara itu menguasai bangsa-bangsa lain, hingga akhirnya lantak oleh ulahnya sendiri. Ketika penguasaan atas sumberdaya alam dilakukan semena-mena melulu hanya untuk kepentingan yang tidak memakmurkan rakyat, maka sumberdaya alam itu sendiri yang akan menghancurkan bangsa itu.
Tak bisa disangkal, kehidupan masyarakat tak bisa dilepaskan dengan sumberdaya alam. Di dalam Al Qur’an, Allah menunjukkan komitmen-Nya terhadap sumberdaya alam. Bahkan di dalam banyak ayat, Allah bersumpah demi sumberdaya alam, untuk memandu manusia menjalankan fungsi khilafah-nya: memelihara sumberdaya alam untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Bahkan Tuhan bertegas-tegas, siapa yang tak mampu memelihara sumberdaya alam, tergolong makhluk yang merendahkan dirinya sendiri.
Berbagai kitab suci, sabda Rasul, dan kemudian konsep filosofi manusia tentang hutan, dari sudut pandang imagineering, memandu kita untuk memahami hakekat dreams governance yang sangat asasi. Bahkan dapat dideskripsikan hasil akhirnya: rimba hijau dengan sungai - sungai yang jernih airnya, permukiman hidup manusia aman – damai – sejahtera, hidup harmoni dengan flora dan fauna yang akhirnya membentuk lingkungan alam fisik dan lingkungan hidup sosial yang layak bagi manusia.
Imajinasi kita tentang pengelolaan sumberdaya alam, tentu tak hanya bertumpu pada upaya konservasi sebagai sentra kepedulian utama. Melainkan mengelola dan memanfaatkannya secara harmonis dan berkelanjutan.
KEKARIBAN MANUSIA TERHADAP ALAM MESTI DIBINA SEJAK DINI MELIPUTI SEMUA INSAN
Bagi kita di Indonesia, yang diberikan sumberdaya alam indah, subur, dengan hutan hujan tropis disertai canopy yang memadai arealnya, tempat bercah sinar matahari menjadi asupan yang menghidupkan seluruh tetumbuhan dan manusia. Juga lapisan tanah yang mengandung fosil sumber minyak dan gas bumi, serta bebatuan yang mengandung mineral dan energi. Laut yang luas dan menyimpan sumber makanan yang meruah.
Karenanya, pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia semestinya berlangsung secara kreatif, inovatif, dan berakhlak. Apalagi kini, ketika teknologi yang kian canggih, menambah kemampuan mengelola sumberdaya alam yang lebih baik. Persoalannya tinggal, bagaimana menghidupkan kembali budaya kolektif untuk memperlakukan sumberdaya alam, sebagai bagian kehidupan manusia yang menyeluruh secara optimal, selaras dengan perkembangan peradaban manusia.
Sejak jauh masa, kebudayaan dan peradaban bangsa kita, telah memancarkan isyarat filosofis, bahwa sumberdaya alam yang tidak dikelola secara benar dan baik akan menjadi menimbulkan bencana yang luas dan menghancurkan peradaban. Ketika eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya alam dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar (Bad Mining, deforestasi, dan sejenisnya, terbukti telah menimbulkan bencana yang mengerikan: longsor, banjir, dan beragam petaka lainnya), maka manusia yang akan beroleh akibat buruk dari ‘kemarahan alam.’
Di tengah kegelisahan umat manusia tentang perubahan iklim global, komitmen kemanusiaan dan peradaban yang harus dilakukan secara strategis adalah menghadang berlangsungnya perusakan sumberdaya alam dan penurunan daya dukung lingkungan hidup yang terus merosot. Bila perusakan sumberdaya alam, seperti pertambangan yang buruk dan deforestasi tak terkendali, yang akan terjadi bukan hanya bencana fisik, melainkan juga bencana sosial.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM MESTINYA SEPERTI IBU DENGAN ANAKNYA
Bila bencana sosial yang terjadi, maka sudah dapat dibayangkan, peradaban kita akan dihancurkan oleh friksi dan konflik yang terus bergulir menjadi kehancuran kemanusiaan dan perang. Apa yang dialami Ruwanda, boleh jadi merupakan cermin besar yang perlu disimak dan dikaji secara mendalam untuk mengenali dampak buruk yang ditimbulkan oleh pengelolaan sumberdaya manusia secara tidak benar. Mengubah rahmat menjadi laknat. Akhirnya mesti mengalami perubahan revolusioner untuk mendapatkan kembali kehidupan yang normal.
Sejarah bangsa ini membuktikan, bagaimana rakyat bergerak mempertahankan sumberdaya alam, mempertaruhkan jiwa dan raganya, saat menghadapi penjajah dari Eropa (Inggris, Portugis, dan Belanda) dan Jepang. Terutama, karena mereka datang tidak untuk menjalin kerja sama mewujudkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan. Melainkan, karena mereka melakukan tindakan - tindakan keji dalam menguasai sumberdaya alam yang kita miliki.
Mereka merampas hak mengelola sumberdaya alam dari tangan kita. Meski harus dipahami, bahwa semua itu berlangsung, juga karena kualitas sumberdaya manusia dan teknologi yang mereka miliki sudah bergerak lebih maju.
Bagi kita di Indonesia, seharusnya politik sumberdaya alam yang relevan adalah yang berbasis tauhid, syari’at, akhlak, ilmu pengetahuan, dan teknologi, diperlukan untuk menjamin kemanfaatan alam bagi seluruh umat manusia dari masa ke masa. Karena pada galibnya, sumberdaya alam diciptakan Allah, untuk kepentingan manusia, dan “Untuk menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi, di antara manusia ada yang membantah (keesaan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (Q.S. Lukman: 20).
KEINDAHAN ALAM YANG DISYUKURI MEMBERI BERKAH KEPADA MANUSIA, TERMASUK NILAI EKONOMI SEPERTI PANTAI LEGIAN - BALI INI
Dimensi tauhid sangat mendasar dalam politik sumberdaya alam, untuk memahami dengan jelas, apa yang difirmankan-Nya: “Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Al Baqarah:29). Agar, manusia memahami secara arif, hakekat sumberdaya alam sebagai milik Allah secara absolut, sebagaimana ditegaskan-Nya: “Milik-Nya lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah” (Q.S. Taha: 6).
Dengan demikian, maka politik sumberdaya alam semacam ini akan memberikan naungan atas berlangsungnya transaksi ekonomi dalam mengelola sumberdaya alam yang kita miliki. Transaksi mengelola dan mengolah sumberdaya alam di jalan telah ditetapkan Allah. Transaksi yang terbebas dari riba, dan tidak semata-mata hanya memburu profit.
Ibnu Khaldun mengisyaratkan, dimensi manfaat berada di atas dimensi profit, dan karenanya sumberdaya alam harus sepenuhnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia, dengan memelihara kelestariannya. Relevan dengan pandangan Khaldun, Abu Ya’ala, Abu Yusuf, dan Mawardi menegaskan, agar manusia tidak boleh membiarkan sumberdaya alam tidak termanfaatkan (mubazir, idle) , dan karenanya pemerintah melalui Kepala Negara, tidak boleh membiarkan zona sumberdaya alam tak bertuan. Kepala Negara berhak menyerahkan hak pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat atau rakyatnya. |