Akhlak Kepada Alam [3]

Air Tak Terkalahkan Tak Mengalahkan

| dilihat 1981

N. Syamsuddin Ch. Haesy

KETIKA gempa di dasar laut terjadi, tsunami ber­kali-kali menerjang, baik di pantai Selatan Jawa maupun tsunami yang melanda Nangroe Aceh Darus­salam dan Nias pada tahun 2004, seolah tak pernah menyadarkan kita untuk mengubah peri­laku dengan akhlak yang lebih terhadap alam. Pun demikian halnya dengan apa yang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat, seolah tak pernah membangunkan kesadaran kita untuk selalu ber­sikap ramah terhadap alam. Lantas mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya.

Padahal, berbagai kearifan lokal, telah mengajar­kan kita bagaimana mesti memperlakukan alam dengan cerdas dan santun. Kesantunan mem­perlakukan alam, menjadi bagian penting dan utama bagi masyarakat Kajang di Bulukumba, dan Baduy di Banten, serta masyarakat adat di berbagai daerah lainnya. 

Kahar Muslim, Tetua Adat Kajang bercerita pada saya, “Sekarang orang Kajang tak lagi punya tanah air, hanya mempunyai air, karena tanah sudah dibagi-bagikan dalam berbagai konsesi kepada orang-orang kota. Bila terjadi bencana, yang bersalah adalah pemimpin. Bukan alam, karena mereka tidak memberikan sumber daya alam kepada mereka yang mempunyai akhlak terhadap alam.”

Orang Baduy sering mengamsalkan, air berseru: “Kami moal ngelehan, kami moal ngelehkeun, tapi pasti nepi ka tujuan. Ngan hampura, bisi aya nu kalabrak, kasered kabawa palid, kabanjiran, jeung kakeueum, da bongan ngahalangan jeung aya dina jajalaneun kami.” Air tak terkalahkan dan tidak mengalahkan, tapi pasti bergerak ke tujuan (muara). Tapi maaf, kalau (pergerakan kami menuju ke muara akibat volume yang lebih) ada yang tertabrak, terseret terbawa hanyut, kebanjiran, dan tenggelam. Sebab, kalian menghalangi dan berada di jalan kami mencapai tujuan.

Setiap bencana terjadi, mereka segera me­lakukan evaluasi dan introspeksi diri. Mencari dan menemukan pangkal sebab terjadinya bencana. Dan umumnya, ke­simpulan yang diperoleh selalu saja: penyebab utama bencana alam adalah buruk­nya akhlak kita terhadap alam. Termasuk ketidak-jujuran kita melakukan eks­plorasi dan eksploitasi kelewat batas kewajaran.

Meski dari aspek ilmu pengetahuan, penye­bab bencana itu, bisa terjadi karena berlangsung pergeseran komposisi lapisan tanah dan bebatuan. Namun, ketika hendak ditelusuri lebih jauh, lagi-lagi ditemukan, pangkal sebabnya adalah ulah manusia. Antara lain, melakukan proses penam­bangan secara serampangan.

Kini, ketika bencana alam yang ditimbulkan oleh buruknya akhlak manusia memperlakukan sumber daya alam, muncul kesadaran baru untuk memberi perhatian ekstra terhadap eko sistem. Pemerintah untuk dan atas nama negara, berusaha  memulih­kan keadaan lingkung­an dan mencegah terjadinya ke­rusakan lingkungan yang lebih parah.

Salah satu langkah strategis yang telah ditempuh adalah pemulihan lahan melalui gerakan reha­bili­tasi lahan kritis, yang disinergikan dengan program gerakan nasional re­habilitasi hutan, melalui re­boisasi. Termasuk program one man one tree.  Setiap orang menanam satu pohon.

Pemerintah secara serentak mendistribusi­kan berjuta-juta bibit pohon, yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Berlanja Daerah (APBD), sementara sebelumnya kita ketahui dana reboisasi hutan, di­selewengkan dan dikorupsi.

Dengan pemulihan lahan jutaan hektar, itu di­harapkan kesadaran terhadap pemulihan kondisi hutan tumbuh dan berkembang. Namun, belum nampak ke­bijakan moratorium yang terpadu, se­bagai bagian dari pemulihan hutan.

Meskipun kita menyadari bersama, bahwa kebijakan itu amat mendasar. Pencurian kayu di hutan-hutan Kali­mantan tetap berlangsung, bahkan dalam bilangan yang besar. Belum lagi penebangan di kawasan hutan industri dengan berbagai taktik dan trik, yang tetap saja merugi­kan.

Berbagai upaya mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti pemeliharaan sungai - sungai juga sudah dan akan terus dilakukan. Antara lain, melalui program pelestarian sungai dan kali bersih, meski pe­negakan hukum lingkung­an terhadap seluruh pihak yang mencemarinya – terutama industri – belum berlangsung merata.

Dalam mengatasi hal itu, sinergitas yang me­nyeluruh dan mengikat seluruh pemangku ke­pentingan, sangat penting maknanya. Semua pe­mangku kepenting­an, mestinya memahami, ke­nyataan: pernah bergotong-royong mencemari sungai - sungai. Kon­sekuensi logisnya, tentu adalah harus bergotong royong lagi membersih­kan sungai.

Kuncinya adalah mewujudkan kebersamaan dalam mengembangkan kearifan memper­lakukan air. Tidak menghambur-hamburkan, tidak men­cemari, dan tidak menyia-siakannya. Kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap kualitas air, karena kemanfaatannya yang luar biasa, dapat dilakukan dengan konsisten memelihara ‘persemaian air,’ terutama hutan, danau, waduk, setu, embung dan sejenisnya..| 

Editor : Web Administrator | Sumber : Cawandatu - N. Syamsuddin Ch. Haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1186
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 240
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 464
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 456
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 427
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya