N. Syamsuddin Ch. Haesy
KETIKA gempa di dasar laut terjadi, tsunami berkali-kali menerjang, baik di pantai Selatan Jawa maupun tsunami yang melanda Nangroe Aceh Darussalam dan Nias pada tahun 2004, seolah tak pernah menyadarkan kita untuk mengubah perilaku dengan akhlak yang lebih terhadap alam. Pun demikian halnya dengan apa yang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat, seolah tak pernah membangunkan kesadaran kita untuk selalu bersikap ramah terhadap alam. Lantas mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya.
Padahal, berbagai kearifan lokal, telah mengajarkan kita bagaimana mesti memperlakukan alam dengan cerdas dan santun. Kesantunan memperlakukan alam, menjadi bagian penting dan utama bagi masyarakat Kajang di Bulukumba, dan Baduy di Banten, serta masyarakat adat di berbagai daerah lainnya.
Kahar Muslim, Tetua Adat Kajang bercerita pada saya, “Sekarang orang Kajang tak lagi punya tanah air, hanya mempunyai air, karena tanah sudah dibagi-bagikan dalam berbagai konsesi kepada orang-orang kota. Bila terjadi bencana, yang bersalah adalah pemimpin. Bukan alam, karena mereka tidak memberikan sumber daya alam kepada mereka yang mempunyai akhlak terhadap alam.”
Orang Baduy sering mengamsalkan, air berseru: “Kami moal ngelehan, kami moal ngelehkeun, tapi pasti nepi ka tujuan. Ngan hampura, bisi aya nu kalabrak, kasered kabawa palid, kabanjiran, jeung kakeueum, da bongan ngahalangan jeung aya dina jajalaneun kami.” Air tak terkalahkan dan tidak mengalahkan, tapi pasti bergerak ke tujuan (muara). Tapi maaf, kalau (pergerakan kami menuju ke muara akibat volume yang lebih) ada yang tertabrak, terseret terbawa hanyut, kebanjiran, dan tenggelam. Sebab, kalian menghalangi dan berada di jalan kami mencapai tujuan.
Setiap bencana terjadi, mereka segera melakukan evaluasi dan introspeksi diri. Mencari dan menemukan pangkal sebab terjadinya bencana. Dan umumnya, kesimpulan yang diperoleh selalu saja: penyebab utama bencana alam adalah buruknya akhlak kita terhadap alam. Termasuk ketidak-jujuran kita melakukan eksplorasi dan eksploitasi kelewat batas kewajaran.
Meski dari aspek ilmu pengetahuan, penyebab bencana itu, bisa terjadi karena berlangsung pergeseran komposisi lapisan tanah dan bebatuan. Namun, ketika hendak ditelusuri lebih jauh, lagi-lagi ditemukan, pangkal sebabnya adalah ulah manusia. Antara lain, melakukan proses penambangan secara serampangan.
Kini, ketika bencana alam yang ditimbulkan oleh buruknya akhlak manusia memperlakukan sumber daya alam, muncul kesadaran baru untuk memberi perhatian ekstra terhadap eko sistem. Pemerintah untuk dan atas nama negara, berusaha memulihkan keadaan lingkungan dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Salah satu langkah strategis yang telah ditempuh adalah pemulihan lahan melalui gerakan rehabilitasi lahan kritis, yang disinergikan dengan program gerakan nasional rehabilitasi hutan, melalui reboisasi. Termasuk program one man one tree. Setiap orang menanam satu pohon.
Pemerintah secara serentak mendistribusikan berjuta-juta bibit pohon, yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Berlanja Daerah (APBD), sementara sebelumnya kita ketahui dana reboisasi hutan, diselewengkan dan dikorupsi.
Dengan pemulihan lahan jutaan hektar, itu diharapkan kesadaran terhadap pemulihan kondisi hutan tumbuh dan berkembang. Namun, belum nampak kebijakan moratorium yang terpadu, sebagai bagian dari pemulihan hutan.
Meskipun kita menyadari bersama, bahwa kebijakan itu amat mendasar. Pencurian kayu di hutan-hutan Kalimantan tetap berlangsung, bahkan dalam bilangan yang besar. Belum lagi penebangan di kawasan hutan industri dengan berbagai taktik dan trik, yang tetap saja merugikan.
Berbagai upaya mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti pemeliharaan sungai - sungai juga sudah dan akan terus dilakukan. Antara lain, melalui program pelestarian sungai dan kali bersih, meski penegakan hukum lingkungan terhadap seluruh pihak yang mencemarinya – terutama industri – belum berlangsung merata.
Dalam mengatasi hal itu, sinergitas yang menyeluruh dan mengikat seluruh pemangku kepentingan, sangat penting maknanya. Semua pemangku kepentingan, mestinya memahami, kenyataan: pernah bergotong-royong mencemari sungai - sungai. Konsekuensi logisnya, tentu adalah harus bergotong royong lagi membersihkan sungai.
Kuncinya adalah mewujudkan kebersamaan dalam mengembangkan kearifan memperlakukan air. Tidak menghambur-hamburkan, tidak mencemari, dan tidak menyia-siakannya. Kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap kualitas air, karena kemanfaatannya yang luar biasa, dapat dilakukan dengan konsisten memelihara ‘persemaian air,’ terutama hutan, danau, waduk, setu, embung dan sejenisnya..|