Merawat Intelektualisma Menjawab Tantangan Bangsa

| dilihat 693

Catatan Bang Sém

Jalan menuju bangsa yang sungguh bermuru'ah masih sangat panjang. Kita tidak tahu, berapa lama lagi masa diperlukan untuk kembali ke garis azimuth, garis tujuan kebangsaan yang dirumuskan sekurang-kurangnya sejak 1905-an. Lalu, dirumuskan dengan apik oleh Bung Karno dengan Triçakti (17/8/1965) : berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Bung Karno. ketika itu, menggelorakan semangat kebangsaan baru paska kemerdekaan, ketika bangsa sedang oleng berada dalam tekanan baru negara-negara adikuasa yang menguasai politik, ekonomi, dan budaya. Khasnya, karena kaum kapitalis berusaha mendominasi politik dan ekonomi mondial, serta melakukan infiltrasi baru melalui kebudayaan, dengan menggunakan pintu kesenian. Terutama seni pertunjukan dan film yang membawa serta tren gaya hidup.

Dialektika kepribadian bangsa berkembang lewat Polemik Kebudayaan yang dipicu oleh Sutan Takdir Alisjahbana (Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru Indonesia - Prae Indonesia) dan melibatkan Sanusi Pane, Purbatjaraka, R. Sutomo, Tjindarbumi, dan Adinegoro.

Polemik Kebudayaan tersebut, lantas menjadi pergulatan pemikiran terbesar sepanjang sejarah kebangsaan Indonesia. Sempat menjadi model dalam dialektika dan percakapan intelektual antara Bung Karno dengan A. Hassan, juga Buya Hamka dan Mohammad Natsir yang sangat mencerdaskan khalayak.

Sebelum Polemik Kebudayaan, berbagai pemikiran kebangsaan sudah mengemuka dengan berbagai perspektif lewat Haji Samanhudi, Tirto Adisoerjo, HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Ki Hadjar Dewantoro, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Soetomo, Sosro Kardono, Abdul Muis, Mohammad Hoesni Thamrin, AR Baswedan, dan lain-lain.

Polemik Kebudayaan dan Rekomendasi AJ

Namun, setelahnya tak lagi berlanjut, kala dominasi kapitalisme -- dilanjutkan dengan kapitalisme global - globalisme kapitalistik -yang dimotori Roland Robertson dan George Soros. Kaum intelektual dan akademisi Indonesia, terkesan lebih banyak merujuk pada pemikiran-pemikiran Barat dan beberapa percik pemikiran Islam yang berkembang di Mesir, Iran, dan Timur Tengah.  

Konsepsi pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana dan para intelektual penyanggahnya, tak terpahami dengan baik, bahkan ketika pada dekade berikutnya. Sempitnya ruang terbuka bagi mengembangkan intelektualisma melalui polemik yang menghidupkan dialektika dan dialog intelektual, meluruhkan dinamika intelektualisma yang memperkaya minda khalayak.

Pasca reformasi berkembang harapan, akan terbuka ruang dialektika dan dialog pemikiran yang luas. Tapi, harapan itu pupus begitu saja, ketika intelektualisma berhadapan dengan arus besar pensée unique dominante - pemikiran tunggal yang dominan, bersamaan dengan perkembangan cepat teknologi informasi yang menetaskan media sosial. Arus reaksi emosional menghadang aksi intelektualisma. Khasnya, kala proses penghancuran nalar publik berlangsung dengan deras.

Akademi Jakarta - AJ (28/2/22) dalam pengantar rekomendasinya kepada khalayak ramai dan penguasa, antara lain menyebutkan, " Kecenderungan menolak perbedaan melemahkan sekaligus menghambat perkembangan nalar yang jernih dan kearifan budi yang penting bagi terbentuknya masyarakat Indonesia yang kritis, terbuka dan siap menghadapi arus silang budaya yang makin deras."

 AJ menegaskan, bila tidak terkendali secara cepat dan tepat, gejala penghancuran budaya yang terpercik di berbagai wilayah, dikhawatirkan tumbuh menjadi sumbu masalah yang akan mengoyak tenun hidup bersama. Krisis hidup bersama tersebut terlihat dari hasrat kuasa yang mewarnai interaksi sosial..

Karenanya, AJ merekomendasikan, perlunya mengembangkan pendidikan holistik yang menajamkan kesadaran kritis, kecerdasan inovatif dan pemanfaatan sumber budaya untuk memecahkan masalah lokal-global. Setarikan nafas, memajukan pendidikan seni dan humaniora sejak dini dengan mendayagunakan seniman dan budayawan setempat untuk menghidupkan dan mengembangkan seni budaya Nusantara.

Dalam hal interaksi sosial yang menghidupkan toleransi, AJ merekomendasikan perlunya negara memperbanyak ruang publik yang mendorong interaksi sosial lintas budaya dan kebersamaan. Sekaligus, memberikan pelatihan literasi media, literasi budaya dan literasi pengetahuan untuk mempertajam penalaran kritis.

Kecerdasan Budaya

Kesemua itu mesti berjalan paralel dengan upaya serius memulihkan fungsi partai, bukan sekadar untuk meraup kekuasaan, melainkan untuk sungguh menjadi saluran aspirasi rakyat dan wahana pendidikan politik yang beretika. Sekaligus mendorong negara dan partai politik melaksanakan pendidikan politik sejak dini untuk menanamkan sifat sportif, jujur dan bertanggungjawab, menghargai perbedaan pendapat, serta berkomitmen melindungi yang rentan dan lemah.

Terkait dengan ekonomi, menurut AJ, negara perlu menerapkan paradigma ekonomi yang ekologis berbasis partisipasi masyarakat dengan penekanan pada ekonomi sirkuler dan keadilan sosial. Selaras dengan hal tersebut, mengembalikan relasi kekuasaan ekonomi agar sesuai dengan UUD 1945 pasal 33.

Pandangan tersebut relevan dengan pandangan AJ terkait lingkungan hidup, bahwa setiap warga negara dan warga bangsa berkewajiban mendorong negara melahirkan dan melaksanakan kebijakan ekologis berbasis kearifan lokal yang didukung sains dan teknologi melalui kerja sama masyarakat dengan industri, baik swasta maupun pemerintah. Tak terkecuali, menggunakan kapabilitas warga dan keberlanjutan sumber daya alam sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan.

Beranjak dari pandangan demikian, negara memperkuat peran dan fungsi utamanya sebagai fasilitator dan katalisator bagi berkembang dan meningkatkan kualitas intelektualisma, menyemai sekaligus menyuburkan dialektika dan dialog kebangsaan yang sesungguhnya. Lantas menghidupkan kolaborasi dan sinergi dalam mengembangkan pemanfaatan media sosial untuk mempercepat pencapaian muru'h bangsa (nation dignity). Dalam konteks ini, kemampuan berpikir masyarakat mesti terus menerus dirawat dan ditingkatkan kualitasnya.

Institusi pendidikan mesti melakukan perubahan orientasi, tak hanya untuk melahirkan manusia dengan kecerdasan intelektual dan mempunyai ketrampilan teknis, teknik, dan teknologis semata. Melainkan juga kecerdasan budaya, yang memungkinkan insan Indonesia terdidik mempunyai keseimbangan antara keterampilan dan kearifan.

Di sisi lain, mempunyai daya yang kuat dalam menghidupkan prinsip keadilan dan kesetaraan sebagai warga negara dan warga bangsa. Sungguh menjadi subyek pembangunan, dengan menegaskan pembangunan sebagai gerakan kebudayaan yang mampu merawat kesadaran kebangsaan, dan secara entusias merawat serta menghidupkan empati, simpati, apresiasi, respek, dan cinta bangsa yang murni sebagai modal menjawab beragam tantangan abad ke 21. |

Editor : delanova
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 940
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1169
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1430
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1578
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 238
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 461
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 452
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 422
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya