Pidato Kebudayaan Garin Nugroho

HOS Tjokroaminoto Pembuat Strategi Kebudayaan Progressif

| dilihat 1172

Sutradara film, akademisi, dan pemikir kebudayaan Garin Nugroho secara eksplisit mengemukakan, Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto merupakan pembuat strategi kebudayaan yang sangat progresif di masanya.

Ia mengemukakan pandangannya tersebut saat menyampaikan Pidato Kebudayaan (#Suara Jernih dari Cikini) bertajuk Balas Budi untuk Rakyat di Graha Bhakti Budaya - Taman Ismail Marzuki, Jakarta (Ahad, 10.11.24). Menurut Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Bambang Prihadi, pidato tersebut merupakan puncak peringatan hari ulang tahun Pusat Kesenian Jakarta (PKJ)-TIM ke 56 tahun.

Dalam Pidato Kebudayaan yang disertai dengan cuplikan berbagai film karyanya, Garin bicara ihwal pergerakan perubahan era dari Industri 1.0 sampai 5.0 kini.

Ia kemukakan, pada era revolusi 1.0 yang ditandai penemuan mesin uap, sejarah mencatat kapal-kapal laut tak hanya membawa perjalanan para ilmuwan ataupun pengelana, tetapi juga industriawan dan kolonialisme yang disertai barisan militer ke Nusantara untuk menemukan bahan mentah bagi kebutuhan industri, sekaligus menemukan daerah baru dan pelabuhan baru yang strategis.

Oleh karena itu, katanya, penjajahan di Indonesia sesungguhnya sebagian besar adalah penjajahan oleh korporasi yang disebut sebagai VOC. Korporasi ini merupakan korporasi terbesar abad itu yang melebihi pengaruh Pan Arab dan Tionghoa pada abad modern.

Sejarah mencatat, beberapa raja di Nusantara bahkan takluk dalam penguasaan korporasi bersenjata VOC. Raja dan para pejabatnya sesungguhnya hanya menjadi mandor VOC, alias pelaksana seluruh kerja korporasi dalam mengeruk kekayaan Nusantara dan menjadikan warga Nusantara seperti yang disebut Tjokroaminoto “setengah manusia” alias “sapi perahan.”

Pada bagian lain pidato kebudayaannya, itu Garin mengemukakan, "Sejarah juga mencatat, di sisi kelam sejarah, di tengah para raja populer yang hanya menjaga kekuasaan dan citra, kita menemukan kisah guru bangsa bernama Tjokroaminoto (16 Agustus 1882–17 Desember 1934)?yang mengimajinasikan negara bangsa. Menarik untuk membaca langkah-langkah politiknya, sebuah strategi budaya mewujudkan imajinasi negara bangsa."

Lima Strategi Kebudayaan Tjokro dan Sarekat Islam

Garin yang menyebut dirinya petani berladang berpindah, lantas mengemukakan, strategi budaya HOS Tjokroaminoto melalui Sarekat Islam yang dipimpinnya, Tjokroaminoto kemudian menggabungkan gerak politik, ekonomi sekaligus budaya.

Garin menyebut lima langkah strategi kebudayaan HOS Tjokroaminoto melalui Sarekat Islam, yaitu:

Pertama, strategi budaya organisasi politik berbadan hukum. Tjokroaminoto menjadikan Sarekat Islam sebagai organisasi politik pertama yang terdaftar secara sah melalui prosedur perizinan hukum. Sebuah strategi sebagai syarat pemenuhan institusi modern.

Kedua, strategi budaya lewat politik koperasi lokal. Tjokro dengan cerdik meminta setiap cabang Sarekat Islam memiliki koperasi berbasis produk unggulan lokal, misalnya Cirebon memiliki koperasi batik.

Ketiga, strategi budaya lewat busana dan seni. Tjokro memberi kebebasan warga untuk menggunakan berbagai motif batik, yang sebelumnya?hanya diperbolehkan untuk kalangan bangsawan. Demikian juga, Tjokro mengelola kelompok kesenian.

Keempat, strategi budaya komunikasi dengan memberi kewajiban cabang- cabang Sarekat Islam untuk memiliki surat kabar sendiri.

Kelima, strategi budaya bahasa. Tjokro memberi kebebasan pada warga untuk berbicara menggunakan bahasa sehari-hari (kasar) kepada pejabat. Pada era itu, rakyat harus menggunakan bahasa Jawa halus untuk berbicara kepada bangsawan dan pejabat.

Tjokroaminoto "Raja Jawa tanpa Mahkota"

Lima strategi budaya yang dilakukan Tjokro, menurut Garin, menjadikan ia begitu populer dan disebut sebagai “raja Jawa tanpa mahkota.” Tjokro menjadi bukti kepemimpinan yang mampu membingkai bangsanya untuk bertumbuh dalam situasi dan kondisi terjajah sekalipun.

(Ketika) Sarekat Islam menjadi organisasi politik terbesar dengan jumlah anggota 2 juta orang dari 30 juta penduduk Jawa kala itu. Anggotanya pun tersebar di seluruh Indonesia.

"Seluruh strategi budayanya bukanlah sekadar kemasan dan citra, serta untuk kekuasaan semata. Langkah politik dan budaya ini menjadi penggerak bangsa, perlawanan, nasionalisme, dan daya hidup ekonomi, sosial, politik, serta budaya. Tentu saja, langkah Tjokro juga melalui pengorbanan-pengorbanan yang tidak mudah, seperti dipenjarakan oleh pihak kolonial.

Sejarah selalu mencatat bahwa di setiap era revolusi industri, selalu lahir dua wajah paradoks. Di satu sisi, pemimpin mengelola ekosistem media baru semata-mata untuk ambisi kekuasaan pribadi, keluarga, dan oligarki. Namun, di sisi lain, terdapat pula strategi budaya oleh para tokoh bangsa yang bertujuan untuk mengelola nilai-nilai keutamaan bangsa dan menumbuhkan warga negara yang berkualitas.

Sebut saja era Soeharto yang mengelola era 2.0-3.0, ditandai dengan era televisi dan budaya pop. Era ini lebih dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan dan stabilitas politik serta ekonomi. Namun, ketika komputer hadir, pemerintahan Soeharto tidak cukup mampu mengontrol berbagai gerakan, terlebih ketika terjadi krisis ekonomi.

"Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang bersifat banal tidak serta-merta mampu mengelola revolusi teknologi untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perlawanan. Bahkan, teknologi baru membawa cara perlawanan tersendiri terhadap ketidakadilan di setiap periode zaman," ungkap Garin.

Mandor Korporasi

Pada bagian awal pidato kebudayaannya, Garin mengemukakan, para ahli meramalkan bahwa para pemimpin Nusantara yang tidak mumpuni dalam menghadapi perubahan zaman apa pun hanyalah akan menjadi mandor dari korporasi besar yang mengincar sumber daya?alam Indonesia dan sumber daya tenaga kerja warga Indonesia.

"Untuk menjaga pamor agar tidak terlihat sebagai mandor, para pemimpin tersebut seringkali mengulang pencitraan gaya raja Jawa, meski kejam dan mengeksploitasi rakyat untuk kepentingan diri, keluarga, dan oligarki, tetapi tetap terlihat populer. Padahal, sesungguhnya kapasitas mereka hanya mampu menjadi mandor bagi korporasi," ungkap Garin.

Fenomena pemimpin sebagai “mandor korporasi” dalam sejarah Nusantara terus terulang dan menjadi sebutan seloroh, seperti ungkapan “bangsa?kuli dengan mental penjajah dan politikus mandor.

"Fenomena ini juga ditujukan pada 10 tahun pemerintahan Joko Widodo dan oligarkinya. Contoh kecilnya adalah proses mewujudkan berbagai undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti Undang-Undang Tenaga Kerja," ujar Garin, tegas.

"Meski menyangkut kepentingan bangsa yang sangat luas, undang- undang tersebut dikerjakan dengan cepat tanpa sosialisasi memadai yang merupakan syarat demokrasi," tambahnya.

Formula Penciptaan "raja"

Selain itu, kata Garin, kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah, bukan semata-mata daerah miskin, lebih sering terlihat sebagai kunjungan “mandor” daerah yang berhubungan dengan investasi besar.  

Namun demikian, kata Garin, indeks popularitas Joko Widodo tetaplah tinggi. Kepopuleran tersebut dijaga dengan mengelola formula pencitraan “raja.”  Segala sesuatu seolah-olah wajib berasal dari “titah” dan “tangan raja” sebagai berkah untuk rakyat.

"Sebutlah kartu pendidikan dan kesehatan yang seolah-olah merupakan pemberian langsung dari presiden, bukan dari kerja para menteri terkait. Penunjukan seorang mahapatih yang berlatar belakang militer untuk mengkoordinasi seluruh aspek penyelenggaraan dan pelaksanaan hal-hal strategis, serta membangun berbagai simbolisme untuk menjaga popularitas, seperti aksi bercukur atau minum kopi di pasar, kerja bakti membersihkan got, dan pencitraan sebagai sosok yang dekat dengan adat dan agama. Semua ini dilakukan untuk menciptakan kesan bahwa presiden adalah sosok yang sangat dekat dengan rakyat," cetusnya

Dalam pidatonya, Garin mengungkap pula, berbagai ihwal politik kebangsaan. Salah satu momentum berbangsa yang terpenting adalah perumusan Pancasila. Tokoh-tokoh perumus Pancasila bukanlah hanya semata tokoh politik, melainkan gabungan dari tokoh politik, ahli tata negara, hukum, dan budayawan, ungkapnya.

Ia lantas menyebut beberapa nama, Sukarno, Soepomo, dan Muhammad Yamin. "Catatan tentang Soepomo dan Sukarno telah banyak ditulis. Walaupun mereka adalah politikus dan ahli tata negara, tetapi mereka juga merupakan pencinta dan pelaku seni serta budaya. Saya ingin menggarisbawahi peran Muhammad Yamin yang lahir di Sawahlunto tahun 1903," ulasnya.

"Yamin adalah penyair, sastrawan, dan budayawan sekaligus ahli hukum yang menjadi arsitek Sumpah Pemuda dan yang mengajukan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Karya terkenalnya adalah “Tanah Air” (1922), sebuah himpunan puisi berbahasa Melayu. Dengan kata lain, peran tokoh humaniora sangat penting dalam perumusan dasar negara kita," ulas Garin.

"Dalam berbagai diskusi, saya sering berseloroh, sekiranya Pancasila belum lahir dan perumusannya dilakukan oleh elite politik saat ini, maka pastilah Pancasila tidak akan lahir seutuhnya seperti sekarang. Elite politik era Joko Widodo tidak cukup memberi ruang bagi tokoh humaniora alias pemimpin budaya yang berfokus pada kualitas manusia untuk menjadi lebih baik," ujarnya.

Kekacauan Informasi di Media Sosial

Dikemukakan oleh Garin, "Kisah-kisah kecil revolusi industri 1.0-4.0 di atas merujuk pada adanya?dua model kepemimpinan yang bertolak belakang. Pertama, model kepemimpinan yang mengelola ekosistem industri teknologi semata-mata untuk citra dan ambisi kekuasaan diri, keluarga, serta oligarki. Model ini ditandai dengan politik citra, otoriter, manipulasi, dan propaganda, baik fisik maupun simbolik. Di sisi lain, ada kepemimpinan yang unggul dengan kekuatan imajinasi untuk menuju masa depan yang lebih baik bagi bangsa. Pemimpin seperti ini memiliki visi, keberanian, dan pengorbanan, serta mampu berkoalisi dengan rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa."

Bagi saya, ungkap Garin, di tengah dinamika perubahan era 1.0-5.0, hal terpenting bagi sebuah bangsa adalah adanya strategi kebudayaan untuk menangkap?aspek produktif dan nilai-nilai unggul dari setiap fase revolusi industri, sekaligus mengurangi aspek kontraproduktif yang dapat menurunkan nilai kemanusiaan. Mengingat hukum klasik yang menyatakan bahwa manusia mampu menciptakan teknologi yang terus berkembang, seringkali justru tidak dapat memprediksi secara detail dampaknya terhadap manusia dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, ungkap Garin, tugas pemimpin dan penyelenggara negara?di era Presiden Prabowo adalah melakukan kerja bakti dengan mengelola aspek produktif serta nilai-nilai kemanusiaan unggul di era revolusi industri teknologi 4.0-5.0, sekaligus mengurangi dampak negatif dan kontraproduktif dari era media baru.

Sesungguhnya di era serba-net ini, tidak ada lagi bangsa di dunia yang mampu mengelak dari dampak serba-net, yakni interconnected network, sebagai jaringan komunikasi global yang menghubungkan komputer dengan komputer seluruh dunia, sering disebut era komputasi.

"Bahkan sejarah mencatat, negara seperti Amerika Serikat terjerat dalam kekacauan informasi di media sosial dalam perang komputasi di era Presiden Donald Trump (2017-2021). Peristiwa ini menjadikan Amerika Serikat menganalisis kembali dan membangkitkan kembali peran media baru bagi negara tersebut," terang Garin.

Menurut Garin, peristiwa yang perlu digarisbawahi adalah ketika pendiri Facebook (juga pemimpin jaringan bisnis Meta dalam bentuknya sebagai Instagram, Threads, dan WhatsApp) di depan Kongres Amerika Serikat, meminta maaf kepada seluruh orang tua di dunia atas dampak negatif Facebook pada anak-anak.

Era serba-net hadir bersamaan dengan pemilu langsung yang memerlukan propaganda, pencitraan, dan dukungan suara, ungkap Garin. Hal ini melahirkan budaya massa yang mendukung tokoh-tokoh tertentu secara masif, cenderung banal, manipulatif, dan penuh propaganda. Lebih jauh lagi, bahkan pasukan buzzer hingga influencer ditempatkan sebagai garda depan pemerintahan. Contohnya, kehadiran mereka terlihat jelas dalam upacara negara hingga Ibu Kota Nusantara.

Ambisi Politik Kekuasaan dan Ekonomi Banal

Di bagian penutup pidato kebudayaan itu, Garin mengemukakan, mengemukakan peta-peta masalah dan tantangan yang harus dipecahkan sebagai bentuk balas budi pemerintahan Presiden Prabowo kepada rakyat, meliputi Strategi Budaya Media Baru, Strategi Budaya Kepemimpinan berbasis Kepakaran Budaya, Strategi Budaya Baru Politik dengan Nilai Keutamaan Bangsa, Strategi Budaya Ruang Publik Peradaban, Strategi Budaya Manajemen Berbangsa untuk Membangun Ekosistem Budaya, Strategi Budaya terhadap Kualitas Pendidikan, dan Strategi Budaya menjadikan Seni dan Budaya sebagai Hak Asasi Warga.

Dalam Strategi Budaya Media Baru, menurut Garin, "Pemerintahan Joko Widodo di era serba digital gagal menjadikan revolusi teknologi sebagai pendorong peningkatan kualitas warga dan penyelenggaraan negara. Negara tidak dikelola sebagai pemerintahan, tetapi selayaknya organisasi hiburan berbasis digital yang disertai ambisi kekuasaan politik dan ekonomi yang banal."

Bahkan, lanjutnya, ruang publik media baru menjadi ajang pameran yang membosankan proses politik dan hukum serta kehadiran politisi yang tidak beretika. Akibatnya, bangsa kehilangan arah dalam mencari kebaikan dan kebenaran, sehingga esensi daya hidup warga negara sebagai individu yang memiliki hak-haknya untuk mewujudkan masyarakat sipil yang berkualitas menjadi luntur.

Untuk itu, ungkapnya, sebagai bentuk balas budi kepada rakyat, Pemerintahan Presiden Prabowo perlu membentuk strategi budaya untuk mengelola revolusi industri 4.0 dan 5.0 guna mengembalikan hak-hak warga negara sebagai landasan kebangkitan bangsa.

Dalam Strategi Budaya Kepemimpinan berbasis Kepakaran Budaya, menurut Garin, "Pada era Presiden Joko Widodo, tokoh-tokoh budaya atau humaniora?dalam penyelenggaraan negara, khususnya kabinet, tidak diberi ruang yang tepat. Kabinet menjadi sarana bagi oligarki bisnis-politik-hukum untuk memperkuat kekuasaan dan ekonomi serta politik dinasti, yang justru mengakibatkan penurunan kualitas manusia dan bangsa di kawasan Asia Tenggara."

Padahal, ujarnya, kepemimpinan humaniora atau berbasis budaya merujuk pada kemampuan memajukan warga negara untuk meningkatkan kualitas hidupnya, mencakup perspektif negara dalam filsafat, seni, sejarah, dan bahasa.

"Rakyat telah banyak berkorban untuk memilih dan menaruh kepercayaan pada wakil-wakilnya di pemerintahan. Kini, saatnya bagi pemerintahan Presiden Prabowo dan kabinetnya untuk membalas kepercayaan tersebut dengan berbagai strategi kebudayaan yang berpihak kepada rakyat," ungkap Garin.

Ia melanjutkan, nilai kebudayaan yang paling penting adalah rasa keadilan. Sepanjang sejarah, keadilan selalu menjadi kekuatan yang tak terbendung. Kekuasaan, manipulasi, dan propaganda mungkin dapat menundukkan keadilan untuk ementara waktu, tetapi pada akhirnya, keadilan akan selalu menemukan jalannya. Keadilan akan hidup di hati rakyat dan melawan segala bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh kekuasaan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.  "Sudah saatnya kita membalas budi kepada rakyat !" seru Garin memungkas pidato kebudayaannya | s. ma'arif

Editor : delanova
 
Budaya
02 Feb 25, 05:34 WIB | Dilihat : 465
Kuku Macan Betawi untuk Bang Anung
15 Nov 24, 20:48 WIB | Dilihat : 873
Perkabungan
12 Nov 24, 08:29 WIB | Dilihat : 1173
HOS Tjokroaminoto Pembuat Strategi Kebudayaan Progressif
07 Nov 24, 22:10 WIB | Dilihat : 848
Membaca Ulang Puisi Pamplet dan Mengingat Isyarat Rendra
Selanjutnya
Humaniora
31 Jan 25, 05:17 WIB | Dilihat : 449
Keserakahan
31 Des 24, 09:17 WIB | Dilihat : 547
Berjarak dengan Bimbit
25 Des 24, 02:45 WIB | Dilihat : 348
Christmas Carol di Jakarta
22 Des 24, 11:13 WIB | Dilihat : 825
FORHATI Peduli Pengembangan Generasi Emas
Selanjutnya