Menjenguk Balai Seni STA - Toyabungkah

Gagasan Masa Depan yang Terkuburkan

| dilihat 3392

Catatan N. Syamsuddin Ch. Haesy

BERKUNJUNG ke Balai Seni STA (Sutan Takdir Alisjahbana) di desa Toyabungkah – tepian danau Batur, Bangli - Bali, yang ada hanya pilu. Hampir seluruh bangunan di balai seni yang didirikan pujangga dan filosof besar Indonesia, hanya menyimpan sepi.

Pentas tempat biasa maestro tari Bali, Ni Ketut Reneng mengolah daya imaji dan menerjemahkan pemikiran futurologis STA ke dalam gerak tari, kusam dan merana. Hanya pohon flamboyan masih meranggaskan bunga di situ. Persis di depan balai, tempat dulu (paruh kedua dekade 70 – paruh pertama 80-an) berlangsung diskusi dan kajian tentang futurisma sosial.

Gong kecil masih nampak di tempatnya, persis di pintu masuk salah satu ruang tempat kami sering diskusi di kompleks itu. Tapi, tak terawat. Pohon beringin besar yang berada di depanruangan itu, persis di belakang aula yang juga merupakan beranda balai, masih kokoh berdiri. Beringin itu,  seolah berkesaksian tentang perjalanan balai seni yang sempat menjadi mercubudaya Indonesia di mancanegara itu.

Lebih dari setengah jam saya berada di kompleks itu, mencari-cari penunggu, tapi tak seorangpun petugas yang menghampiri. Balai Seni STA ini seolah meratapi keadaan. Bahkan seolah sedang melecehkan futurisme atau futurologi selalu tertambat di suatu waktu. Dulu, masih ada STA yang memberi energi kuat atas balai seni ini, sehingga dari tempat ini berbagai ide dan gagasan kreatif bergerak dan berkembang.

Pemikiran besar di hari lalu, seakan tertanam di bakai seni STA yang juga ditinggalkan di masa lalu, ketika berbagai dimensi nilai hidup bergerak meninggalkannya menuju ke zaman baru. Ketika industri parisiwata lebih mengutamakan membangun hotel, spa, dan berbagai produk budaya kitsch alias budaya kelontong.

Berbeda dengan cara negara dan bangsa lain menghormati dan memperlakukan para budayawan dan futurolog, menyaksikan balai seni STA yang kian kusam dan pilu ini terasa betapa dimensi budaya bukan sesuatu yang dianggap penting oleh bangsa ini. Pemerintah hanya sibuk dengan jargon pelestarian dan pengembangan budaya, lalu melopeh jargon-jargon itu menjadi sesuatu yang diabaikan begitu saja.

Almarhum Sutan Takdir Alisjahbana - Angkatan Pujangga Baru | Aula Balai Seni STA yang merana, padahal dulu di sini para ilmuwan dan budayawan mancanegara merumuskan masa depan - foto : sem haesy

Balai Seni STA yang sempat menjadi sentra kajian dan studi tentang dimensi kedalaman manusia, itu segera melintas, ketika saya ingin melihat lebih dalam effort konservasi budaya dalam konteks pariwisata Indonesia kini. Dan terbukti, apa yang pernah dibincangkan lebih dua dekade lalu menjadi kenyataan, balai seni STA justru menjadi salah satu contoh, bagaimana realitas sosio budaya masyarakat Indonesia yang ambivalen, mengabaikannya di tepian jaman.

Balai Seni STA di Toyabungkah, kian sempurna deritanya, ketika dihadapkan dengan realitas sosial kian brutal. Mulai dari merosotnya kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi; Melambatnya pertumbuhan ekonomi yang terus menggerogoti harapan terhadap masa depan; Melemahnya daya kreasi untuk mengatasi ekuitas dan ekualitas kebangsaan di dunia internasional; dan, Berkembang kuat budaya kitsch (selfie, misalnya) dan masih getun dengan inferiority, sehingga membuat petinggi negeri rela dilecehkan martabat kebangsaannya oleh Donald Trumph – yang belum tentu menjadi Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik.

Balai Seni STA di Toyabungkah – Bangli, kini saya rasakan sebagai masa depan yang terkuburkan. Ia salah satu contoh, bagaimana gagasan masa depan, terkubur di kehidupan masyarakat yang membiarkan telanjang, dilucuti kebudayaannya.

BERKUNJUNG ke Balai Seni Toyabungkah, kala situasi budaya seperti ini, saya pandang penting. Khasnya untuk melihat seberapa penting conservation culture effort dalam konteks industri pariwisata. Atau kebalikannya: seberapa jauh industri pariwisata memberi daya topang terhadap aksi konservasi budaya.

Ketika sedang tekun mendalami imagineering (dekade 80-an) dan melihat bagaimana Alvin Toffler dan John Naisbitt sibuk dengan teori futurismenya, melihat peradaban dari sisi perkembangan information wave, STA sudah bergerak jauh melontarkan gagasan-gagasan futurologi yang luar biasa, termasuk memberi masa depan ruh kebudayaan.

Kala itu, STA sudah mengisyaratkan agar Indonesia mengambil posisi sebagai praircursor : Kembangkan sayap / kekar dan lebar / Dan, terbanglah, terbanglah./ Terus lurus membumbung tinggi./ Melampaui gunung memecah mega.

PANGGUNG PELATARAN SENI BS STA - TOYABUNGKAH. DI SINI MAESTRO TARI NI KETUT RENENG MENGEKSPLORASI PUISI JADI KARYA TARI TENTANG FUTURISME | FOTO BANG SEM

Setiap kali berbincang dengan STA di sini, kami berdiskusi tentang berbagai pemikiran di masa lalu dan konektivitasnya dengan realitas sosial yang menghubungkan dengan masa depan. Kami berdiskusi tentang pemikiran Ibnu Rusdy, Ibnu Khaldun, temuan-temuan Magellen terkait dengan antropografi, proyeksi dan prediksi tentang perkembangan liguistik bahasa Indonesia sebagai lokomotif bahasa Melayu Nusantara, dan berbagai hal lainnya.

Kala itu, setiap kali disambangi oleh banyak temannya dari kalangan ilmuwan, budayawan, seniman, sastrawan, dan para futurolog, STA akan meminta Ni Ketut Reneng, menarikan tarian hasil kolaborasi kreatif STA dengan Ni Ketut Reneng. Kolaborasi sastra dengan tarian yang sangat menonjol. STA melakukan proses eksperimentasi luar biasa tentang hal ini, dan untuk itu di halaman depan Balai Seni ini, dibangun pelataran khas untuk tarian, dengan penonton duduk pada trap tempat duduk yang lebih tinggi.

Pada masa itulah, Balai Seni STA telah membuat Toyabungkah sempat menjadi salah satu point of enlighment Indonesia di mancanegara. Karena tempat inilah, sejumlah ilmuwan dan budayawan sekaligus futurolog dan imagineer, datang berkunjung ke tepian Danau Batur – Bangli ini. Rela melintasi jalan sempit Panelokan, yang dikepung bongkahan bebatuan yang pernah dilontarkan Gunung Batur ketika terbatuk-batuk.

Kini, Balai Seni STA di Toyabungkah tak tersambangi lagi. Balai Seni yang dibangun oleh STA dengan dana sendiri, dari uang asuransi kecelakaan pesawat terbang, bahkan terkesan tak hendak dipelahara oleh anak dan cucunya. Berbagai karya besar STA yang terkorelasi dengan Toyabungkah dan menjadi kenyataan kini, juga dilupakan orang. Misalnya, tesisnya tentang “Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta” (1982).

Bahkan, ketika kita berbusa-busa menegaskan diri sebagai emerging state di kancang internasional, kita lupa pada kegigihan takdir melontas inisiatif dan pemikirannya di berbagai forum internasional. Antara lain, “Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world.”

Spirit kebangkitan kultural yang disarikan dalam Drama Mitos Bangkitnya Dunia Baru, drama bersajak yang dipubliksikannya 1984, pun terabaikan begitu saja. Bahkan, ketika STA dan Ni Ketut Reneng tiada, serta balai seni ini kian sunyi dalam heningnya yang mencekam, karya kratif perkawinan puisi dan tari “Perempuan di Persimpangan Zaman” (1985), tak hanya berada di persimpangan, melainkan ditinggalkan zaman.

STA seolah membuktikan prediksi dan proyeksinya tentang nasib Seni dan Sastra di Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985), memang telah menjadi nasib buruk. Mati begitu saja. Bangsa ini sepertinya sedang bergerak lebih cepat ke garba budaya kelontong. Bergantung kepada angka-angka yang membuat bangsa ini kering.

Sejumlah sentra industri pariwisata Bali juga sudah kehilangan nilai, justru ketika mereka sibuk dengan angka-angka, seperti kedai kuliner pinggir pantai di Jimbaran. Ironisnya, hal itu terjadi, justru ketika para pemodal dari luar Bali, mengembalikan kuatnya korelasi citarasa dan pelayanan, yang ditinggalkan oleh kedai orang Bali sendiri.. |

 

Editor : sem haesy
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 242
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 412
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 260
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Energi & Tambang