Puisi Puisi Gus Nas (Nasruddin Anshary)
ISTANA KURA-KURA
Di negeri amnesia
Asal-muasal kisah resah ini bermula
Kusebut kabut hitam ini dengan nama badai nestapa
Orang-orang penting dengan senyum sempurna bergaya di layar kaca
Berlindung di balik gedung tempurung
Dalam istana kura-kura
Hanya engkau dan aku yang tahu
Apa itu istana kura-kura
Ijinkan kisah ini kulanjutkan dengan bahasa paling jujur dan apa adanya
Di balik gedung berbentuk tempurung itu
Para Yang Mulia khusyuk menghitung angka-angka
Berpikir untung agar pundi-pundi melimpah di lumbung
Agar saham dan deposito terus melambung
Tapi di atas langit sana
Senja sedang menaburkan luka
Rembulan yang indah tengah meneteskan air mata
Saat menyimak dengan seksama di dalam istana kura-kura
Orang-orang amnesia itu tengah bersolek dengan gincu jelaga di bibirnya
Dengan bedak lumpur becek di wajahnya
Orkestra gugur bunga bergemuruh menerjang dada
Hari ini istana kura-kura sedang dirundung duka dan dusta
Saat etika dan moral ditenggelamkan di rawa-rawa
Ketika ketamakan dan hedonisme dirayakan dengan gelimang pesta
Dalam anomali cuaca ini
Seorang pujangga menyebutnya zaman edan
Dan aku menamakannya kalabendu
Dulu Bung Karno menyebut istana kura-kura ini dengan nama Conefo
Dan menjadikannya benteng tangguh melawan kapitalisme
Berdiri dengan gagah di atas tanah tumpah-darah
Berdikari di bumi gemah ripah Ibu Pertiwi
Lalu Orde Baru menyempurnakan tugasnya
Dan menjadikannya Kantor Parlemen bagi para Yang Mulia
Catat dengan bahasa malaikat:
Kantor Parlemen bagi para Yang Mulia
Dilengkapi air mancur di halamannya
Dipagari besi kokoh di sekelilingnya
Istana kura-kura itu menjadi saksi reformasi
Menjadi saksi segala protes dan demo para mahasiswa
Yang begitu cinta pada negeri Ibu Pertiwi
Orde Baru telah digorok dan tumbang di gedung megah ini
Lalu Orde Reformasi dinyalakan dengan bara api
Melawan korupsi
Melawan kolusi
Dan nepotisme yang tak terpuji
Tapi tapi tapi tapi
Banyak tikus dan tupai di gedung megah ini
Tapi tapi tapi tapi tapi
Semua diam tiada peduli
Ketika api reformasi telah mati diludahi para mucikari
Manakala pilar reformasi telah digergaji dengan nafsu kotor para politisi
Di istana kura-kura
Tikus-tikus bersarang dengan bebas merdeka
Tupai-tupai melompat dalam intrik dan lobi
Daging-daging rakyat dikerat
Tulang-tulang rakyat dikerat
Ketamakan dan kebebalan merajalela
Syahwat dan ambisi meremukkan akal-budi
Orang-orang kecil berdiri dengan satu kaki dan bergelantungan di bus kota
Sementara di halaman parkir istana kura-kura ini
Mobil mewah berjejer dengan megahnya
Apakah ini yang namanya cinta tanah air dan peduli bangsa?
Di negeri amnesia
Pancasila kian tersingkir ke pinggir
Rakyat miskin tak punya bibir untuk mencibir
Para fakir tak punya ruang untuk menyingkir
Dalam suara sunyi malaikat bertakbir
Dan negeri amnesia selalu menjawab lupa pada semua pertanyaanku
Apakah reformasi telah mati bunuh diri?
Ataukah reformasi telah dikubur dengan nisan korupsi dan kolusi kaum berdasi?
Istana kura-kura telah menjarah sejarah
Dan menjelma pasar transaksi
Ketika makelar legislasi sibuk merapikan dasi untuk lobi
Manakala calo undang-undang berebut uang haram tanpa harga diri
Negeri amnesia selalu menjawab lupa saat nurani dan hati bertanya
Sila ke empat dan sila ke lima apa maknanya?
Bertanya anak-anak TK itu kepada gurunya
Apakah tikus selalu bermental rakus?
Apakah tikus bermulut kakus?
Dari saham Freeport, cassie Bank Bali, penyelundupan 60.000 ton beras dari Vietnam
Hingga korupsi proyek PON Riau dan mega-skandal E-KTP
Tikus tua itu selalu fokus dalam mengendus
Bagaimana mungkin pendidikan akan mencerdaskan anak-anak bangsa
Bagaimana bisa kebudayaan sanggup memperkokoh budi pekerti dalam diri manusia
Jika tikus tua tuna etika itu masih dibiarkan berdiri telanjang dan berdansa tanpa busana?
(Renungan Malam 2017 - Gus Nas Jogja)
HABIS GELAP
Kartini, kapan engkau kembali?
Di kegelapan engkau menghilang
Menggendong rindu
Pada zaman benderang
Antara Jepara dan Rembang
Jejakmu terbang
Hanya menyisakan sebutir merica
Yang pecah di dalam dada
Kartini, kapan engkau kembali?
Agar padi yang kau tanam
Tak tumbuh jadi perdu
Ia butuh kehangatanmu
Meski di dadamu sendiri
Telah tumbuh belukar
Aku hanya bisa menelan ludahku sendiri
Gelap zaman telah merantai kedua kakimu
Tapi sayap jiwamu terbang
Mengangkasa menembus mega
Dan dengan tajam pena
Kau nyalakan api cinta
Sebab menjadi manusia harus menolak diperkuda
Kartini, kapan engkau kembali?
Gus Nas Jogja, 2017
TERBITLAH TERANG
Pulanglah, Kartini
Dengan obor menyala
Kegelapan hanyalah lorong waktu
Yang telah sampai pada ujungnya
Pulanglah Kartini
Bukan untuk mengabdi pada Bupati
Bukan pula agar kodratmu
Telah rebah dan mati
Sebagai perempuan Jawa
Engkau memang sangat jelita
Dengan kain kebaya
Tapi tajam penamu
Telah menebas segalanya
Kartini, pulanglah
Terbitkan terang di dalam jiwa
Jadilah engkau cahaya
Bagi perempuan sebangsa
Gus Nas Jogja, 2017
KARTINI
Kartini menyalakan sumbu bagi kaum Ibu
Atas nama Tuhan, mata hati dan cita-cita, ia menggenggam api pada ujung pena emasnya yang setajam rindu
Bukan karena ia Raden Ajeng dan bukan pula karena terlahir dengan Trah Kusuma dan Tetesan Madu, tapi karena Kartini muda sudah membaca indahnya Kitab Suci
Dalam asuhan kelembutan mBah Soleh Darat
Kartini muda menggali isi Kalam Ilahi dengan tafsir Jawa
Di tengah deburan ombak Pantai Jepara
Dengan jiwa bermekaran bunga mawar
Kartini muda belajar tentang kilau mata langit dan detak nafas jantung bumi
Hidup harus memilih: Berdiam di tepi pantai, berlayar menerjang batu karang, atau terus berpura-pura.
Kartini memilih membelah ombak dengan tarian pena dan kalam suci
Membela kaumnya yang selalu ditempatkan sebagai alas kaki memang membutuhkan hati seharum melati
Kartini tak pernah takut dicaci-maki
Ia tak gentar menatap tajam wajah para penindas dengan kelembutan puisi dan tajamnya pena yang cerdas bertinta budi pekerti
Bersama Tjut Nyak, Dewi Sartika serta para perempuan perkasa lainnya
Kartini hanya melunasi janjinya sendiri
Bahwa kegelapan harus lenyap dari Bumi Ibu Pertiwi
Gus Nas Jogja, 2017
MELIPAT GELAP, MEMBENTANG TERANG
Kartini membuka fajar pagi dengan mata berkaca-kaca
Saat di pelupuk matanya ia melihat tubuh-tubuh renta dan jiwa dahaga kaumnya sendiri
Perempuan petani yang dihempas badai para tentenir dan dihisap darahnya oleh lintah darat
Perempuan nelayan berwajah legam yang ditenggelamkan martabatnya oleh para predator dan cukong raksasa
Perempuan buruh yang dikremus dan dilumat harga dirinya oleh mesin keserakahan dan kaum kapitalis entah dimana
Kartini hanya sanggup mengemas cemas dengan kilau kata-kata
Sebab tiap-tiap jelaga akan melahirkan jelaga hingga kegelapan mengepung di seluruh negeri dan seantero dunia
Kartini lantas menyalakan obor seorang diri
Membelah berlapis-lapis kegelapan tanpa ingin dipuji
Dengan payung hitam memekar di atas kepalanya sebagai tanda berduka, Kartini menggelar tikar untuk tempat duduk kaumnya
Kemerdekaan adalah jembatan emas menggapai cita-cita, sementara itu penjajahan adalah tembok angkuh untuk memenjarakan cinta dan kemanusiaan semesta
Kartini hanya punya seuntai senyum walau dadanya terbakar oleh cita-cita harum bagi keindahan martabat kaumnya
(Gus Nas Jogja, 2017)
KIDUNG KARTINI
Kartini tak pernah ingkar janji
Dengan pena setajam sembilu
Putri Jepara berkebaya biru itu tak pernah berhenti menggambar matahari buat anak-cucu
Bukan surga yang ia cari, apalagi bedak dan gincu.
Dari pantai utara kota Rembang ia berenang hingga ke Negeri Belanda
Menggenggam surat yang lusuh dan basah oleh cita-cita agar dibaca oleh Dunia
Masih dengan kain kebaya berwarna biru ia menari di antara karang tanpa wajah murung
Mengibaskan sayap-sayap cinta untuk menaklukkan deru gelombang dan desing peluru
Kartini begitu indah membaca samudera
Lalu puisi demi puisi ditulisnya hingga menjelma mantra
Menggerakkan ribuan layar cahaya hingga berpendar di cakrawala
Dengan akal budi dan gelora zikir bertaburan doa
Kartini memanjat langit hingga menggapai puncaknya
Berbekal rindu untuk merdeka
Kartini muda begitu khusyuk belajar merenda cahaya
Ia memulai sejarah nafasnya dengan membaca Juz Amma
Berbekal itulah ia membangun jembatan emas bagi kaumnya.
Kartini tak pernah patah hati
Tak ada istilah itu dalam kamus hidupnya mengucap benci
Berkalung tasbih ia tegak berdiri dan pantang merintih
Bibirnya tetap menyala walau tanpa lipstick dan gincu.
Jika Kartini adalah diri kita sendiri
Lantas kenapa bangsa ini begitu sulitnya belajar sejarah atau melukiskan cinta dalam puisi?
Gus Nas Jogja, 2017 |