Catatan dari Balik Layar (1)

Terusik Wawan Wanisar, Jadilah Rindu Satpam Kita

| dilihat 5603

SEM HAESY

WAWAN Wanisar tak hanya sebuah nama. Lelaki kelahiran Jakarta yang selalu nampak kalem, ini salah satu aktor yang mempunyai ciri tersendiri. Adalah almarhum sutradara dan dramawan Arifin C. Noer yang juga pemimpin teater kecil, yang pertama kali menariknya ke dunia film. Wawan yang sebelumnya seorang pengusaha, itu bermain dalam film Pengkhianatan G30S – PKI (1982), produksi PPFN (Perusahaan Film Negara). Dia berperan sebagai Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal AH Nasution. 

Tiga tahun kemudian, Wawan berperan dalam film Matahari-Matahari garapan Arifin C. Noer juga. Dari pemeran tentara ajudan panglima angkatan bersenjata, di film keduanya wawan menjadi petani yang juga penjudi. Untuk memerankan tokohnya, Wawan tak segan-segan mencoba menjadi ‘kuli galian’ tanah.

Lima tahun kemudian, Wawan kembali mendapat peran monumental untuk tokoh Hanafi dalam sinetron terbaik TVRI garapan almarhum Irwinsyah, Sayekti dan Hanafi. Di sinetron ini, Wawan bermain sangat baik bersama Neno Warisman dan Renny Djajusman. Wawan juga melakukan observasi interns, karena Sayekti & Hanafi bercerita tentang realitas hidup kaum marginal, kuli panggul pasar dan tukang becak.

Aktor yang hidupnya mengalir saja di antara konsistensi dan persistensi, itu tumbuh menjadi satu dari sedikit aktor senior yang masih “diburu” para desainer kreatif untuk memberi ruh atas sinetron atau filem seri televisi. Baik karena perangai Wawan yang mau berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada para aktor muda. Juga karena dia menjalani profesi keaktorannya secara total.

Deddy Mizwar, teman mainnya dalam Naga Bonar garapan MT Risyaf menyebut, Wawan sebagai aktor yang siap eksplor. Wakil Gubernur Jawa Barat itu mengatakan, setiap sutradara yang getun mengeksplorasi Wawan akan mendapat karakter yang dikehendaki.

Di Naga Bonar, Wawan berperan sebagai Letnan Lukman. Di film ini, ia bereksplorasi akting dengan Deddy Mizwar (Nagabonar), Afrizal Anoda (Bujang), serta menganggit Nurul Arifin (Kirana).  Kepiawaiannya berakting terasah melalui berbagai film yang menantang, seperti Misteri Kebun Tebu (1997). Sebelumnya dia memainkan peran yang beragam di  Ayahku, Suamiku Sayang, Opera Tiga Jaman, Melompati Angin, Enam Langkah dan lainnya.

Sinetron serinya bertajuk Pesantren dan Rock’n Roll menjadikan sosoknya sebagai Kyai Abdullah yang bijak dan kala sedang syuting sinetron inilah saya mengunjunginya ke lokasi syuting di Puncak.  Kami berbincang tentang film seri televisi yang berwajah lain. 

Kami juga berdiskusi tentang mosaik karakternya yang punya warna khas di Cintailah Daku (SCTV,1998),  Cinta Dara Kembar (RCTI,1998) Menjemput Impian (SCTV,2001), PadaMu Aku Bersimpuh (RCTI,2001), Melati Putih (Trans TV,2001/2002), Alung (RCTI,2002), Mahligai Diatas Pasir (Indosiar,2002), Kemilau Kemuning Senja (Indosiar,2003), Disini Cinta Pertama Kali Bersemi (Indosiar,2004) dan lainnya.

Wawan Wanisar yang mengusik saya kembali menerjuni dunia audio visual. “Di dunia satu ini kan kita gak pernah tua, Syam,”ujar Wawan di sela syuting Pesantren & Rock’n Roll. Beberapa kali kami berkomunikasi, dan lagi, Wawan mengusik saya untuk memproduksi. “Terserah mau mulai dari mana, bikin sinetron kek, FTV kek, yang penting balik lagi ke dunia ini,”ujarnya.

Selama beberapa waktu saya berusaha mencari dan menemukan jalan. Terutama, karena Wawan Wanisar mengingatkan perlunya memperkaya produksi drama televisi yang memungkinkan anak-anak muda kreatif saling berinteraksi dalam mengelola kreativitas. Wawan juga mengingatkan, perlunya mewadahi pikiran-pikiran saya.

“Jangan pengetahuan dikasih ke negara lain melulu,”ujarnya. Kalimat itu sangat memengaruhi saya, karena saya dengar justru ketika saya sedang harus mengeja kembali dunia industri film televisi.  Apalagi, seorang teman dekat mengatakan, “Mau nyari apa lagi? Ngapain sih harus terjun ke dunia sinetron yang memerlukan perhitungan ekstra, karena berbeda dengan jiran, di sini sinetron atau sejenisnya belum menjanjikan harapan. Beda dengan masa ketika kau dulu di televisi.”

Saya hampir terpengaruh, sampai Wawan dalam suatu kesempatan komunikasi meyakinkan saya, “Bikin aja dulu. Nanti akan ada jalannya sendiri. Allah gak tidur, Syam..”  Saya pun mengalir saja mengisi masa ‘pensiun.’ Suatu hari saya ketemu teman lain dan berdiskusi tentang dunia yang cukup lama saya tinggalkan ini. Berkat dukungannya itulah, lahir gagasan memproduksi film seri televisi Rindu Satpam Kita (RSK), yang kini ditayangkan TVRI setiap Minggu malam (20.00 – 21.00 wib).

Saya coba berikan kesempatan sejumlah anak muda untuk mengeksekusi produksi dan kreatifnya. Antara lain, Guntoro Sulung dan Tito Kurnianto. Juga, manajer Akarpadi Selaras Media yang juga orang teater: Lisa Syahtiani, yang sempat meraih predikat Artis Terbaik Festival Film Independen. Sesudah terformat saya minta Wawan memerankan sosok Letnan Jendral Gendon, yang cerdas dan bijak itu. Saya juga mengundang Wawan Sugriawan untuk mengeksekusi produksinya, bersama Riana Dewi pemimpin operasional Akarpadi Selaras Media.

Sambil RSK berjalan, saya menyiapkan produk lain yang sungguh berorientasi komersial, tentu tanpa harus mengorbankan akal sehat dan naluri kebangsaan.., menyajikan hiburan yang berdimensi edukasi. |

Editor : N Syamsuddin Ch. Haesy
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 744
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 899
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 855
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 241
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 339
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya