Sém Haèsy
Bukan lantaran bayangmu tak tersentuh / tapi jarak merindu memakan waktu. / Barisan pendemo menabur gendang damai, / tapi kau tak kujumpai di sepanjang langkah / dan nyanyian pendemo.// Engkau adalah masa laluku, / yang mengambil ruang dalam rinduku
(amran razak, nyanyian sunyi sang demonstran - 25/09/19)
Tamalanrea (dulu) berada di wilayah kecamatan Biringkanaya, Makassar, Sulawesi Selatan. Kini menjadi kecamatan tersendiri sejak 7 Januari 1998. Di kawasan seluas 31,84 km2 itu, berdiri kampus Universitas Hasanuddin, yang berjuluk 'kampus merah.'
Adalah Prof. Ahmad Amiruddin, Rektor Universitas Hasanuddin yang pertama kali menggagas Tamalanrea, menjadi kampus berpagar alam, sesuai gambarannya tentang kampus Amerika Serikat (1974-1975). Gagasan itu mencuat dan jelma jadi rancangan, lantaran kampus Bara Baraya sering dilanda banjir. Ketika itu, aksi demonstrasi mahasiswa memprotes dominasi investasi Jepang sedang membuncah. Tapi pembangunan kampus itu baru selesai, ketika Prof. Ahmad Amiruddin menjabat Gubernur Sulawesi Selatan yang terkenal dengan konsep pembangunan spasial, komoditas unggulan, one regency one product. Saya pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini, sekira tahun 1994, bersama Sjahrir Makkurade, selepas meninjau pembangunan menara TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) di Bili-Bili.
Menjadi kompleks pendidikan tinggi yang luas, di Tamalanrea, selain kampus Unhas, juga berdiri Politeknik Negeri Makassar. Di kampus yang rampung 1989, inilah ekspresi kritis mahasiswa terhadap beragam keadaan tanah air, membuncah dan menggelegak. Kini, ekspresi itu jelma dalam antologi puisi berisi 'puisi cinta dari kampus merah, puisi merindu, dan puisi perjalanan aktivis UNHAS angkatan 1980-1990.' Antologi itu digagas (Prof.) Amran Razak dan Kamaruddin Azis, diselaraskan oleh Yudhistira Sukatanya.
Antologi puisi ini berisi sekira 50-an puisi, termasuk beberapa puisi dalam format haiku (Ana Mustamin). Amran Razak, penggagas penerbitan buku ini, menulis beberapa puisi. Satu di antaranya, saya kutip di awal tulisan ini. Penyair-penyair di kampus ini -- pada masanya, berkontribusi dengan beberapa karya mereka.
Lazimnya antologi puisi, Tamalanrea, menghimpun ungkapan diri terkini penulisnya, seperti tulis Yudhistira dalam pengantarnya. Mereka tak lagi mahasiswa, tak lagi aktivis dan penyair kampus. Mereka sudah bergerak di berbagai lapangan kehidupan. Namun, tetap menegaskan kekhasan 'penyair kampus.'
Antologi ini tak hanya menyimpan rindu-rinduan. Karena puisi-puisi di dalamnya pun mengungkap sikap, sekumpulan ungkapan perasaan, pengalaman hidup, pergolakan pemikiran yang sudah diproses dalam tungku kontemplasi yang khusyuk. Tentu, kehadiran antologi ini, seperti tulis Yudistira, membuka cakrawala pandang yang luas. Mengapa Tamalanrea? Karena Tamalanrea, tulis Yudhistira, mempunyai dimensi dalam sejumlah layer. Tak hanya penanda setting lokasi, namun bisa dimaknai sebagai tak pernah bosan, tak pernah punya putus asa, tak pernah lelah."
Nah, puisi Amran Razak yang saya kutip di awal tulisan ini, memberi jawaban. Ekspresi kerinduan dalam sunyi, menyikapi sikap sejumlah mantan aktivis kampus yang berjarak dengan realitas pertama kehidupan nyata. Rindu yang terhalang aneka formalitas, mungkin.
Seperti 'haiku' Ana Mustamin, "mencari pintu / semua terkatup rapat / rindu terlunta." Karena, "rindu pun purba / menjelma kubur waktu / fosil kenangan." Kendati, ungkap Chairul Anam, "rindu itu / menggenang / membuncah / dalam dada // rindu itu / membelah rasa / berkeping / memintal benang benang / hati yang berserakan / di bilik cinta / mengintai waktu / yang terus mendera / ingin menjumpai / sang kekasih / kapanpun // rindu itu membalut luka / yang darahnya / mulai membeku / di penghujung / penantian // rindu itu / tetap bersemayam / sekalipun / besok dunia / akan runtuh // (Rindu Itu).
Rindukah yang membuat (Prof) Arsunan Arsin kembali kampus Tamalanrea? Boleh jadi begitu. Bermula dari rindu kepada Sumarni Hamid Aly, seperti puisinya: Aku berdiri memandangmu / Kau kian nampak menjauh / Kita sama saling merindu / Dan mendekar untuk keabadian // (Pantun Berbalas). Merindu, dan yang dirindukan, berjarak dimensi. Meski tetap ada jawaban: Dinda / Bukan menjauh / Kadang berpapasan / Saling senyum / Dan / Menjauh / Pergi / Untuk saling menyapa (Sumarni Hamid Aly, Hmmm). Ternyata 'jarak' itu memang penting untuk memelihara rindu.
Entah bagaimana jarak dan rindu boleh dipahami, ketika persepsi tentang sosok yang dirindu dan jaraknya sendiri bergantung perspektif kekinian. Malaikat Bertopeng, puisi Acram Mappaona Azis, memang tak terbabit. Tapi, simaklah: Siang tadi aku bermimpi,/ Wanita cantik bersayap / Datang menghampiri // Tubuhnya indah bersih, / Gairah mengusik aliran darah / Inikah bidadari surga itu? // Menatapnya memaksa gundah jadi senyum, / Ada rasa ingin mengusap jemarinya / Dia tersenyum dengan mata biru, // Tuhan, bantu aku, / Dia menarikku, / Dia menatapku dalam, / Aku tidak boleh selingkuh, // Tapi, hasrat mengalahkan imanku, / Mulai lupa dengan doa dan ayat suci / Kugenggam tangannya, / Bibirku merasakan lembut lidahnya, // Helai kain ditubuhnya terlepas, / Betapa hangat tubuhnya, / Dengan desahan kecil,/ Aku mulai lupa kelanjutannya.. // Sampai aku terbangun, / Dan disampingku hanyalah kesepian, / Bidadari itu hanya imajinasi, / Yang akan bertukar di mimpi yang lain / Atau berubah jadi iblis,/ Yang datang mencekik, / Memaksaku membayar iuran / Memaksaku menerima harga-harga, / Dan akan membunuhku saat berbicara / Atau sekadar memenjarakan saat aku berdiskusi //
Acram membuka nalar - naluri - rasa dan dria dengan puisi yang menyediakan beragam tafsir luas ini. Ruang untuk menyimpan 'suara batin' mantan aktivis ketika melihat realitas pertama kehidupan sehari-hari dan memindahkannya ke realitas kedua. Akankah hari-hari realitas kehidupan kita, mungkin juga di Tamalanrea atau di manapun di negeri ini, masih siang yang panjang. Di dalamnya terjadi pergulatan seperti ini: Terik lintasan / Kita melenguh lirih / Lupa pin kata / Setiba stasiun / Paha merah tembaga. Tujuan samar / Matahari tegak / Rencana berloncatan / Pikiran kosong / Kupulang saja / Membilang kemungkinan. Janji tertagih // (Siang, Kamaruddin Azis).
Mungkinkah pulang ke dalam gagasan yang membuncah kala rindu terkunjungi, merupakan pilihan lebih baik? Terutama, ketika tujuan samar, dan seperti puisi Husni Djamaluddin, Masih Adakah Guna : Masih adakah guna membaca mantera / Ketika matahari petah di dalam kepala // Masih adakah guna menuliskan sajak / Ketika matahari robek di dalam dada // Masih adakah guna mengucapkan doa / Ketika matahari meleleh di dalam jantung // Aku tahu bagaimana kau,/Ketika matahari pecah di dalam kepalamu / Ketika matahari meleleh di dalam jantungmu / Ketika matahari robek di dalam dadaku / Kutulis sajak ini : /Sebuah mantera tanpa suara / Sebuah doa tanpa kata.//
Rindu memang memungkinkan segala kemungkinan naluri dan rasa bersekutu, mendesak nalar dan dria, mengabaikan jarak (termasuk jarak sosial, ekonomi, politik, dan budaya). Lantas kenangan kekariban masa mahasiswa masih tersimpan, seperti tergambar dalam sebait puisi Sudirman Numba : Walau angin kadang malas berembus / Angan ku tetap menatap wajahmu / Walau mata kadamng merasa berat / Namun batinku selalu dekat denganmu //
Antologi Puisi Tamalanrea ini menarik dibaca sebagai puisi kamar, selebihnya terasa enak dibaca di depan khalayak.
Namun begitu, rindu tetap pilihan siapa saja yang pernah punya kenangan. Seperti tulis Yundini Husni Djamaluddin, Rindu adalah.../ kenangan / yang ingin kita ulangi lagi //|