AKARPADINEWS.COM | PEMBATALAN Jakarta Anniversary Festival (JAF) secara sepihak oleh Imam Hadi Purnomo, Kepala Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (UP PKJ TIM), menyulut kekecewaan sejumlah seniman.
Mereka merugi lantaran telah jauh hari berlatih agar dapat tampil sempurna di ajang tahunan itu. Undangan pementasan pun telah disebar ke khalayak. Tapi, jelang penyelenggaraan JAF yang biasa digelar dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) Jakarta itu, mereka dapat kabar. JAF tak jadi digelar.
“Ketika tahu kabar JAF ini dibatalkan, saya sampai tidak tega memberi tahu anak-anak. Bahkan, kami masih terus latihan. Undangan juga sudah sold out (terjual). Rasanya, malu kemana-mana dan mengecewakan sekali,” sesal Andi Kalpin, Ketua Orkestra 73.
Musisi asal Minang, Cilay, yang juga pimpinan Cilay Ensemble juga mengungkapkan kekecewaan serupa. Dia menyayangkan tidak ada komunikasi dari pimpinan UP PKJ TIM. Cilay pun tidak terima pembatalan yang dilakukan secara sepihak tersebut. “Kami tidak terima pembatalan sepihak dengan cara lisan ataupun surat resmi. Pembatalan ini juga merugikan kami secara materi dan non material,” tegasnya.
Lantaran merasa diperlakukan sewenang-wenang, 27 Mei 2016 lalu, para seniman mendatangi kantor UP PKJ TIM untuk meminta konfirmasi langsung ke Imam. Sayang, setelah menunggu berjam-jam, Imam tak kunjung menemui mereka.
Persoalan itu diperkarakan para seniman ke Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. 6 Juni 2016 lalu, Andi dan Agung dari pihak Orkestra 73, mengajukan surat audiensi untuk bertemu gubernur, sekaligus mengadukan persoalan tersebut. Namun, surat audensi itu belum direspons gubernur. Andi pun mengungkap kekecewaanya melalui surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Imam. Surat itu mendapat dukungan dari berbagai kalangan, khususnya seniman. Tak hanya itu, mereka pun berencana menempuh jalur hukum untuk menuntut kerugian moril, material, dan nama baik.
Bagi seniman, pembatalan JAF secara sepihak, menunjukan Imam tidak memiliki kapasitas sebagai pejabat yang mengurusi soal seni dan kebudayaan. “Seharusnya diganti saja. Kalau dipertahankan Kepala UP seperti ini, bagaimana kesenian bisa maju?" tegas Andi.
Upaya para seniman itu perlu didukung. Karena, pembatalan JAF 2016 secara sepihak, dapat menjadi preseden buruk bagi pengembangkan kreasi para seniman. Pembatalan itu juga mengindikasikan kurangnya apresiasi kepada para pelaku seni.
Dari 12 kali penyelenggaraan, JAF digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Proses persiapannya melibatkan berbagai seniman dan kelompok yang berlatar belakang seni tradisi dan modern, baik dari dalam maupun luar negeri. Selain menyuguhkan berbagai seni pertunjukan seperti tari, teater, dan musik, JAF juga menjadi ajang promisi seni dan budaya Jakarta yang multikutural.
Tahun ini, rencananya, JAF diorganisir oleh UP PKJ-TIM. Perhelatannya berlangsung mulau tanggal 9-12 Juni 2016. Perhelatannya juga digelar di GKJ dengan mengundang empat grup musik dengan genre yang berbeda.
Mereka adalah Iwang Noorsaid & Friends dari genre jazz, Cilay Ensemble dengan musik sufi, Altajaru Ensemble untuk genre tradisional dan kontemporer, serta grup Orchestra 73 dari komunitas alumni jurusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Awalnya, para musisi yang dilibatkan dalam JAF itu sangat bersemangat. Mereka tekun berlatih agar dapat menyuguhkan karya terbaiknya. Cilay Ensemble mempersiapkan latihan sekitar satu bulan. Sementara Orkestra 73, berlatih selama lebih satu bulan dengan melibatkan sekitar 120 pemain, ditambah kru yang kebanyakan terdiri musisi muda dan mahasiswa dari beberapa kampus di Jakarta.
Mereka berlatih di salah satu ruang gedung musik IKJ, dengan semangat tinggi, bahkan sampai larut malam. Mereka juga begitu antusias, meski rencananya dana yang diberikan tidak terlalu besar, sekitar Rp20 juta per grup. Dana yang dijanjikan itu, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk latihan. Tak hanya itu, mereka pun turut mempublikasi rencana penyelengaraan JAF 2016, baik lisan maupun tertulis, hingga menebar tiket gratis dalam bentuk undangan yang diinformasikan di media sosial.
Namun, pada pertengahan Mei 2016 lalu, mereka mendapat kabar mengecewakan: JAF batal diselenggarakan. Semangat mereka luluh oleh keputusan UP PKJ TIM yang dengan sepihak menggagalkan perhelatan itu.
Saat konferensi pers yang digelar di Gedung Musik IKJ, 16 Juni 2016 lalu, Andi dan Cilay menjelaskan kronologi pembatalan sepihak JAF 2016. Dari pemaparannya, ada cerita yang mengundang tanya.
Pembatalan JAF diawali dengan pemberitahuan secara lisan pada tanggal 13 Mei oleh salah satu staf UP PKJ TIM kepada Iwang Noorsaid, Cilay, Anursiwan, dan Andi Kalpin sebagai ketua dari masing-masing grup. Kabar itu tentu tidak diterima. Mereka pun meminta UP PKJ TIM memberitahukan secara tertulis dengan alasan yang jelas.
Beberapa hari kemudian, bukan surat prihal pembatalan yang keluar. UP PKJ TIM justru mengeluarkan Surat Pemberitahuan No 1177/SP/2016 yang isinya himbauan agar mewaspadai oknum PNS dan Non PNS yang mengatasnamakan sebagai panitia kegiatan kesenian yang dilaksanakan UP PKJ TIM, tanpa dibekali surat tugas resmi dari Kepala UP PKJ TIM. Surat itu diterima 18 Mei 2016.
Surat itu dianggap absurd oleh para seniman. Karena, tidak ada hubungannya dengan kegiatan. Para seniman lebih mempersoalkan Kepala UP PKJ TIM yang pernah mengirimkan surat undangan yang ditandatangani sendiri, untuk meminta kesediaan mereka mengisi acara JAF 2016.
Baru kemudian tanggal 23 Mei 2016, Imam Hadi Purnomo mengeluarkan surat No 1211/-1853 yang isinya membatalkan JAF dan kegiatan apresiasi dan kompetisi kesenian Cikago bagi pelaku seni. Alasannya, efisiensi anggaran. Penyelenggaraan JAF dan kompetisi itu juga dianggap bukan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) UP PKJ TIM.
Lagi-lagi, alasan itu dianggap seniman, tidak masuk akal. Sebab, anggaran kegiatan telah dijelaskan secara rinci di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Untuk penyelenggaraan JAF, anggaran yang dialokasi sebesar Rp155 juta sehingga tidak ada alasan membatalkan JAF 2016.
Soal klaim tidak bertanggungawab dalam kegiatan JAF dan kompetisi seni lantaran bukan merupakan Tupoksi UP PKJ TIM, para seniman menganggap, Imam Hadi Purnomo telah melanggar Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 109 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta.
Di Bab III, Pasal 4.e di Pergub itu dijelaskan, fungsi UP PKJ TIM adalah menyelenggarakan acara pagelaran, pameran dan kegiatan budaya lainnya. Di Pasal 4.n juga dinyatakan, UP PKJ TIM bertugas sebagai penyelenggaraan kegiatan kesenian berupa pagelaran, pameran dan kegiatan budaya, baik program Dewan Kesenian Jakarta dan masyarakat.
Soal pembatalan yang dilakukan sepihak tersebut, Imam mengaitkan dengan anjuran Presiden Joko Widodo tentang efisiensi anggaran. Menurut dia, anggaran yang belum ada kontrak, dikembalikan uangnya ke kas negara. "Jadi ada di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Perubahan” kata Imam ketika dihubungi Akarpadinews, Jumat, 17 Juni 2016 lalu.
Dia juga menegaskan, untuk mencairkan uang tersebut, harus ada proses administrasi yang tidak sederhana, dan disertai kontrak yang jelas. Sementara terkait komplain para seniman yang diminta mengisi acara JAF 2016, Imam menjawab, "Sama sekali belum ada kontrak dan komitmen dengan seniman."
Dengan kata lain, surat undangan terkait kesediaan para seniman mengisi acara JAF 2016 yang ditandatanganinya, yang kemudian direspons para seniman dengan persiapan yang dilakukan, dianggap Imam, bukan merupakan kontrak. Imam pun menyalahkan seorang staf-nya yang dianggap mendahului kewenangannya sebagai Kepala UP PKJ TIM. “Jadi, ada staf kami yang belum dan tanpa kontrak, sudah jalan terus. Pembatalan ini juga agar jajaran bawahan saya juga jera,” katanya.
Imam juga mengaku terbuka untuk membahas persoalan itu kepada para seniman. “Kalau mereka mau bertemu saya, monggo. Ayo kita jelaskan, tapi dengan kepala dingin. Saya sudah di bully di medsos (media sosial) sampai bikin prescon (konferensi pers), kecewanya jangan segitu-gitu amat-lah,” tuturnya.
Sementara terkait komplain seniman yang sudah lama berlatih dan menghabiskan dana tidak sedikit, Imam menjawab sederhana, “Kewajiban teman-teman seniman itu yah berlatih. Jadi, kalau belum ada kontrak, yah susah. Kita juga sudah ngasih banyak untuk TIM,” jawabnya.
Apapun dalihnya, rasanya sangat tidak elok cara-cara pembatalan sepihak yang dilakukan UP PKJ TIM. Apalagi, tanpa memberi tahu sejak awal kepada para seniman. Pasalnya, para seniman telah berlatih jauh-jauh hari dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Semangat mereka untuk berkreasi pun luluh, berubah menjadi kekecewaan. Masalah itu juga menunjukan buruknya pengurusan administrasi dan pengelolaan kegiatan acara pagelaran, pameran dan kegiatan budaya lainnya oleh UP PKJ TIM.
Seorang staf yang tidak bersedia disebutkan namanya mengungkap, pimpinannya tentu telah mensepakati dan mengetahui berjalannya program. Namun, Imam bersikukuh menggunakan “hak veto” untuk membatalkan program tersebut. Dan, yang mengejutkan, tidak hanya dua program itu yang dibatalkan. Program pengembangan informasi dan kebudayaan tahun 2016 di antaranya Gebyar Taman Ismail Marzuki, Pergelaran Kolaborasi Musik Nusantara dan Pergelaran Kesenian Akhir Tahun, juga dibatalkan. Alasan utamanya efisiensi anggaran.
Namun, jika alasannya efisiensi, mengapa dua program yang anggarannya besar justru tidak dibatalkan yaitu Pergelaran Rutin Wayang Orang Bharata dan Pementasan Rutin Sandiwara Sunda Miss Tjitjih? Dalam APBD DKI Jakarta 2016, anggaran untuk Pergelaran Rutin Wayang Orang Bharata mencapai Rp2 miliar. Sementara anggaran Pementasan Rutin Sandiwara Sunda Miss Tjitjih mencapai Rp1,8 miliar.
Sementara terkait penyelenggaraan festival dan kompetisi bukan menjadi Tupoksi UP PKJ TIM, Imam menyatakan, lebih fokus pada perbaikan venue. Menurut dia, dukungan dari pemerintah sudah sangat besar untuk TIM. "Kami memberikan subsisi sangat besar pada gedung-gedung yang disewa murah,” katanya seraya mengklaim telah berupaya menyelamatkan uang negara.
Dalam APBD DKI 2016, dari Rp23,9 miliar dana untuk UP PKJ TIM, hampir sebagian besar rincian program, berhubungan dengan program peningkatan sarana dan prasarana kebudayaan. Namun, untuk pengecetan Pagar PKJ TIM, untuk belanja langsung, belanja barang dan jasa, dananya mencapai Rp134 juta. Lalu, penyediaan alat tulis kantor yang mencapai Rp147 juta. Sementara untuk JAF 2016 hanya sebesar Rp155 juta. Itu pun anggarannya dibagi ke empat grup kesenian.
Kebijakan UP PKJ TIM nampaknya lebih fokus pemanfaatan anggaran yang berorientasi pada pengadaan sarana dan prasarana daripada untuk membiayai program kegiatan seni yang dianggap “mubazir”.
Sebagai Kepala UP PKJ TIM, Imam tentunya diharapkan tidak hanya pengelolaan tempat pertunjukan di Jakarta, seperti TIM, GKJ, Wayang Orang Bharata, Gedung Kesenian Miss Tjitjih dan Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail. Namun, tanggungjawabnya holistik.
Imam seharusnya memahami, jika penyelenggaraan kegiatan seni yang menjadi tugas UP PKJ TIM merupakan bagian dari strategi kebudayaan. Kegiatan berkesenian sejatinya merupakan ruang interaksi antarseniman sehingga dapat melahirkan ide, gagasan, karya kreatif, dan transformasi nilai-nilai kebudayaan.
Ratu Selvi Agnesia