Sastra Taman, Ikhtiar Menciptakan Kultur Puisi

| dilihat 2688

AKARPADINEWS.COM | TAMAN tak sekadar menjadi ruang terbuka hijau yang menghiasi wajah Ibukota DKI Jakarta. Taman juga menjadi ruang bagi warga untuk relaksasi dan berinteraksi.

Taman Suropati misalnya, selalu digandrungi anak-anak muda. Di sana mereka berolahraga, bertemu, mengobrol, latihan musik, hingga bermesraan. Namun, pada Sabtu malam (12/3), terlihat pemandangan lain di sana.

Sekumpulan anak-anak muda yang menyebut dirinya Kelompok Sastra Taman, berkumpul di salah satu sudut Taman Suropati. Dimulai sejak pukul 20.00-23.00 WIB, di depan sebuah baliho, bertuliskan malam refleksi membaca puisi-puisi Hamid Jabbar, mereka membacakan puisi dengan berbagai gaya.

Beberapa penyair jalanan membacakan puisinya dengan gaya musikalisasi puisi hingga performance art. Para seniman teater membacakan puisi Hamid Jabbar dengan gaya teatrikal. Ada pula yang membacakan puisi dengan penampilan biasa saja, namun cukup menyentuh. Namun, malam itu tidak menjadi soal membacakan puisi dengan berbagai gaya.

Menurut Dodi Miller, salah satu penggagas sastra taman, tujuan utama gerakan ini adalah menjadikan taman sebagai ruang apresiasi, memperkenalkan sastra dan puisi kepada para pengunjung taman.

“Kami berharap sastra tidak berjarak dengan penonton, tidak hanya terkungkung oleh gedung, tapi dapat bebas di ruang taman ini,” ungkap Doddi.  

Sejak Januari 2016, sudah ketiga kalinya sastra taman ini diselenggarakan setiap minggu kedua di setiap bulannya. Selain memberdayakan puisi di ruang taman tersebut, sastra taman turut memperkenalkan dan mengenang para penyair Indonesia dengan mengangkat tema khusus di setiap penyelenggaraanya.

Pertama kali diadakan, Sastra Taman mengangkat tema malam mengenang penyair dan budayawan WS Rendra. Selanjutnya di Februari, mengenang Slamet Sukirnanto dan pada Maret 2016, menjadi malam refleksi penyair angkatan 70-an asal Sumatera Barat, Hamid Jabbar yang wafat pada tahun 2004 di usianya 54 tahun. Hamid Jabbar memiliki ciri khas puisi yang sarat dengan nafas-nafas religiusitas.

Beberapa puisi terkenal Hamid Jabbar yang dibacakan di sana antara lain: Di Taman Bunga Luka Bercinta, Aroma Maut, Banyak Orang Menangis Kekasih, Selamat Tinggal Budak Indonesia, Astaghfirullah, dan berbagai puisi lainnya.

Puisi-puisi yang dibawakan oleh para peserta tersebut merupakan adigium untuk menyuarakan puisi yang tidak hanya menjadi ranah penyair dan sastrawan saja. Namun, puisi milik bersama. Di April mendatang, rencananya sastra taman akan mengenang penyair Chairil Anwar, penyair angkatan 45 yang gaung puisinya tak lekang hingga saat ini.

Fenomena sastra taman yang bertujuan menciptakan kultur puisi di ruang publik, memang fenomena menarik. Namun, bukan hal baru di Indonesia. Gagasan untuk menjadikan seni dan sastra tidak lagi dibatasi oleh gedung pertunjukan, telah diperkenalkan penyair pendahulu. Generasi selanjutnya, terutama yang diusung para penyair jalanan, mulai membudayakan kultur puisi ini di bus-bus, pasar hingga di warung-warung makan.

Namun, yang perlu diapresiasi dari sastra taman ini adalah menciptakan ruang pembacaan puisi yang lebih tersistematis, serupa hajatan puisi, meski masih terdapat kelemahan. Misalnya, terlihat dari kemampuan peserta yang belum jeli melihat kemungkinan untuk mengisi dan memanfaatkan ruang yang lebih luas.

Taman Surapati yang awalnya bernama Burgemeester Bisschopplein menawarkan kemungkinan kepada seniman untuk melakukan eksplorasi lebih luas. Beberapa pengunjung yang melihat pertunjukan puisi juga hanya menikmati sesaat. Tidak terlihat daya pukau yang membacakan puisi sehingga mampu menarik para pengunjung untuk menikmati puisi dengan berlama-lama. Selain itu, sepertinya minat mereka terhadap puisi lebih rendah dibanding minat untuk bermesraan dengan kekasihnya.

Bila membandingkan gerakan seni untuk mengintrupsi taman sebagai ruang kesenian, di negara-negara maju, terlihat perbedaan signifikan. Taman menjadi ruang interaksi utama antara seniman, sastrawan, dan pengunjung taman.

Contohnya, bila melihat taman Yoyogi di Tokyo-Jepang, sekumpulan orang dapat mengelilingi seorang seniman yang melakukan atraksi performance art, membaca puisi dengan gaya yang unik, melukis, menyanyi, memainkan alat musik atau bermain sulap. Seniman di Jepang juga memiliki kreativitas tinggi untuk menarik pengunjung, menikmati karya seni dan sastra yang mereka tampilkan.

Meski demikian, gerakan Sastra Taman patut diapresiasi. Gerakan ini diharapkan lebih mampu menciptakan kultur puisi, dengan meningkatkan kreativitas untuk menarik daya apreasiasi pengunjung dan mampu mengeksplorasi ruang pembacaan puisi dengan lebih luas serta mengemas pembacaan puisi menjadi lebih menarik. Dengan demikian, tidak sekedar sebagai unjuk eksistensi para penyair. Namun, juga menciptakan kedekatan pengunjung taman dan meningkatkan pemahamannya tentang sastra lewat diskusi tentang puisi. 

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 734
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 892
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 843
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 225
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 320
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya