Gus Nas (Nasrudin Anshary) pemimpin PesantRend Ilmu Giri – Yogyakarta, menulis beberapa puisi khas tentang Ramadan. Lewat laman ini, kita sajikan 10 puisi ramadan yang perlu dibaca menjadi pelengkap tafakkur diri. Silakan..
SYAIR PUASA
Tuhanku
Engkaukah sejatinya Sang Maha Puasa
Ajari kami memetik cahaya
Untuk santap sahur dan berbuka puasa
Jauhkan mulut dan perut kami dari sampah
Dari rasa rakus dan muntah amarah
Dari sikap tamak dan siasat fitnah
Puasa ini hanya untukMu
Lapar dan dahaga itu cuma fatamorgana
Sebab hidup sejati bukanlah pencitraan diri
Hidup sejati adalah memberi dan berbagi
(Gus Nas Jogja, awal puasa 2018)
EMBUN RAMADLAN
Embun Ramadlan menetes di dada beku
Mengucap salam kesejukan dalam jiwa dahaga
Mengirim surat cinta di kedalaman kalbu
Ramadlan kali ini hanya ada lumpur di sekujur tubuhku
Kehampaan jiwa mendedah raga
Kelumpuhan sukma menyergap kata
Aku terkurung dalam tempurung
Pagi ini kupetik embun Ramadlan
Kupungut bulan sabit di langit
Doa-doaku meronta di cakrawala
Tuhanku
Pagi ini kukemas luka dalam tempayan cinta
Merawat rasa lapar dan dahaga dengan sekuntum bunga
Sebab apalah makna kemewahan dan kemegahan
Jika membebaskan seorang budak saja tak kuasa
Gus Nas Jogja, menjelang Ramadlan 2018
HUJAN BULAN RAMADLAN
Sesekali hinggaplah di pelupuk mataku
Pada bulan puasa yang terus meronta ini
Hujan mengalir deras dalam derai tadarusku
Kuhitung satu persatu helai demi helai rambut dan pori-poriku
Semua telah basah oleh doa yang indah
Rasa syukur akan segala rindu yang kian menggebu
Hujan bulan Ramadlan mengguyur deras dalam tadarus kalbu
Lalu kemarau dan kering kerontang di jiwa ini
Menjelma kelam yang terkubur di dasar kolam
Dengan dada yang terdedah oleh gelora rindu
Terus kugali akar istighfar dalam takbir dan salam di segala penjuru
Aku berburu indahnya suara langit di semesta sujudku
Maafkan aku, Tuhanku
Jika hujan di bulan Ramadlan ini
Telah membakar dan menghanguskan seluruh perih dan luka-luka kasihku
(Gus Nas Jogja, embun Ramadlan #5 2018)
MAWAR RAMADLAN
Mawar Ramadlan kupetik dengan jemari rindu
Bersama dengung doa jutaan lebah
Kutemukan puasa ini pada kelembutan kalbu
Setangkai mawar istighfar
Sekuntum rindu yang memekar dalam tadarus merdu
Tuhanku
Pada taman kesabaran yang indah ini
Kusiram desir cinta ini dengan anggur makrifatMu
Laparkan aku dengan kemesraan azali
Sebab kekenyangan adalah fatamorgana
Dan kemenangan sejati adalah mengalahkan diri sendiri
Di gua pertapaan para Nabi
Ramadlan ini kuziarahi
Kepada siapa nikmat dan rahmat Ramadlan ini akan kusunting di kedalaman hati?
(Gus Nas Jogja, embun ramadlan #4 2018)
SAJAK PUASA UNTUK INDONESIA
Dengan mengucap senyap
Puasa ini kuhaturkan pada Sang Maha Rindu
Lapar siapakah ini
Saat kata-kata menjelma luka dan amuk prahara
Ketika ujaran kebencian menjadi jutaan peluru
Dan puisi ini merelakan dirinya memeluk sunyi seorang diri
Lapar siapakah semua ini wahai negeri permai bernama Indonesia?
Ketika partai-partai saling sibuk membantai
Saat para politisi saling menceraikan dan bukan mencerahkan
Lapar kekuasaan macam apakah ini?
Hari ini aku merasakan rindu yang menggelora
Tanda imsak sudah lama bergema
Tapi para politisi sibuknya luar biasa menyantap darah daging saudara sendiri sesama bangsa
Dari ulat bulu menjadi kupu-kupu memang membutuhkan puasa hingga di kedalaman kalbu
Adzan maghrib masih jauh berkumandang
Tapi para kampret dan kelelawar sudah keluar dan bertindak onar
Adzan maghrib belum berkumandang
Tapi para yang mulia sudah sibuk menabuh gendang dan saling menendang
Apakah agama sudah tak sanggup membuahkan makna?
Apakah puasa tak juga mengajarkan etika?
Lapar ini kuserahkan padamu wahai Indonesia
Dahaga ini kupasrahkan untukmu wahai Indonesia
Dalam rintih tasbih di zaman perih ini
Aku rindu nasehat Ibu
Perempuan lembut yang mengajarkan ilmu merajut
Agar robek di kalbu dan di negeri ini kembali bertaut
Laparku dan laparmu wahai Indonesia
Dahagaku dan dahagamu wahai Ibu Pertiwi yang lama terluka
Hari ini akan hijrah ke cakrawala
(Gus Nas Jogja, embun ramadlan #12 2018)
POTRET DIRI
Di haribaan waktu aku hanyalah debu
Serpihan cermin yang telah lama kehilangan makna
Sebait puisi yang kehabisan arti
Kepada siapa kurayakan senja
Jika keruh dan rapuh rupaku hanya sakit semata?
Hari ini kupetik sepi dalam pisau puisiku
Cinta yang tak henti-henti menyala
Adalah sujud syukurku menjelajahi semesta
Kekasih,
Beri aku tanya
Tentang biru langit dan harum bunga
Tunjukkan padaku kedalaman palung segala luka
Saat banjir rindu menghempaskan sisa-sisa usia
Petiklah kilau matahari di ketajaman biru hatimu
Lalu sematkan dalam cincin cinta di jari manisku
Sebab takdir dan takbir akan mengucap segala kata
Di haribaan senjakala ini yang masih kumiliki hanya secawan air mata
Sebab anggur rindu dan apel cinta yang telah kukunyah di masa lalu
Adalah saksi abadi dalam kisah resahku yang fana
Kekasihku
Sisakan sepatah doa dari getar bibirmu
Jadikan anak panah
Atau lukisan tanpa kanfas
Agar sisa-sisa nafas ini tak juga kandas
Agar bait terakhir puisi ini tak hanya ampas
(Gus Nas Jogja, embun ramadlan #13 2018)
ORKESTRA KAUM DZUAFA
Di atas tikar istighfar pada bulan purnama ini
Kusujudkan renta jiwaku agar kening memancar cahaya
Inikah bulan kilau purnama kaum dzuafa itu?
Kusimak dengan seksama kesaksian Kalam Suci
Firman Ilahi yang bertutur kata tentang cinta
Purnama di langit ramadlan memancarkan gemerlap cahaya
Menjadi orkestra kaum dzuafa
Para peziarah semesta yang bersabuk lapar pada perutnya
Dan berkalung dahaga pada lehernya
Bukankah bermakna dusta jika agama hanya berpihak pada kaum kenyang yang sibuk berpesta?
Bukankah jihad sejati itu memerdekakan budak dan bukan menaburkan kebencian pada sesama?
Malam ini aku menyelam di dasar samudera
Mencari mutiara di kedalaman imanku
Iman yang menjamin rasa aman bagi sesama
Orkestra kaum dzuafa semakin mendedah di dada beku
Meremukkan batu takabur dalam tengkorak kepalaku
Bukankah agama akan menjadi indah jika tak dilumuri comberan dusta?
(Gus Nas Jogja, embun ramadlan #15 2018)
SELAMAT PAGI, ILMU GIRI
Entah sudah berapa resah yang berkisah di bukit ini
Tapi waktu senantiasa menyisakan rindu
Selamat pagi Ilmu Giri
Pada jutaan daun jati kusematkan doaku
Walau ranting ada yang kering
Ronta rinduku semakin bening
Beratap terik di rimba ini
Suara kalbu mengucapkan salam padamu
Di Desa Kebangsaan ini
Yang dimuliakan adalah kemanusiaan
Agar sembah semakin megah
Agar alam tak hanya disemayamkan
Selamat pagi Ilmu Giri
Datang dan pergi sudah pasti silih berganti
Tapi iman-ilmu-amal tak akan beranjak pergi dari tempat ini
Pagi ini hanya ada embun dan daun jatuh
Dan doa-doa bening yang terus mengalir jauh
Mengukir subuh
Agar hati tak jadi rapuh
Agar kasih kembali menyeluruh
(Gus Nas Jogja, 20 Mei 2018)
PENGANTIN RAMADLAN
Tuhanku
Jika cinta memekar dengan sempurna
Untuk apa bicara luka
Tuhanku
Jika rindu terus menderu di kedalaman kalbu
Seluruh waktu hanya milikMu
Sunting aku menjadi pengantinMu
Tuhanku
Aku tenggelam dalam lautan madu
Aku tercebur dalam samudera susu
Sembah sujudku
Sajadah sembahyangku
Hanyalah Cahaya
Sunting aku menjadi pengantinMu
Tepat di Malam Lailatul Qadar yang menggetarkan itu
(Gus Nas Jogja, embun ramadlan #6 2018)
MAKRIFAT KEPOMPONG
Apa yang akan kugoreskan pada kanfas putih di kefanaan hidup ini
Ketika nafas tinggal seutas
Dan lukisan keabadian harus dibingkai dalam figura kebajikan
Jika takdirku hanyalah ulat bulu
Bukankah darah daging doa dalam diriku akan selalu bertanya
Bukankah bulu-bulu tajam dalam tubuhku hanya gatal adanya?
Dalam seuntai puasa ini kukisahkan segalanya padamu
Tentang darah daging yang akan membusuk itu
Ketika kain kafan yang menjadi busana terakhir menuju ke alam keabadian
Karena itulah hari ini aku berguru pada ulat bulu
Menjadi kepompong
Agar amal kesalehan bukan sekadar omong kosong
Agar hikmah puasa tak cuma arang yang gosong
Ramadlan ini menjadi gua pertapaanku
Melepaskan segala busana dunia
Telanjang setelanjang-telanjangnya dari segala syahwat dan nafsu
Puasaku adalah lapar langit dan dahaga bumi
Santap sahurku hanyalah cahaya
Hidangan buka puasaku adalah sinar terang di alam baka
(Gus Nas Jogja, embun ramadlan #8 2018)
TADARUS EMBUN
Apa yang ingin kusapa di fajar yang indah ini?
Tadarus embun mengucap salam padamu
Inikah bulan sesejuk telaga?
Ketika jendela surga dibuka
Dan sebutir embun meleleh menjadi kilau cahaya?
Pagi ini kusimak dengan seksama
Sayup-sayup suara embun bertadarus
Dan sinar terang bertaburan di dalam dada
Inikah surat-surat kemesraan yang diturunkan dari langit itu?
Agar bumi dan penghuninya diberkati
Ketika jelaga dosa diampuni
Ramadlan kali ini
Hanya tadarus embun yang menemani
(Gus Nas Jogja, embun ramadlan #9 2018)