Pementasan Phase

Menyuarakan Protes Alam dan Esensi Menjaga Tradisi

| dilihat 2431

AKARPADINEWS.COM | PENONTON dibuat bergeming. Mereka tetap fokus menyaksikan pertunjukan tari. Mereka tak ingin melewatkan pertunjukan tari, di antara riuh suara bambu dan di bawah tetesan hujan itu.

Pertunjukan itu seakan menjadi suguhan langka bagi mereka. Di antara kepungan polusi udara dan kebisingan Kota Jakarta, penonton tak hanya menikmati suguhan karya seni. Namun, mereka diarahkan untuk memangkas jarak dengan alam.

Para penonton mengelilingi panggung terbuka. Di tengah hutan kota Sangga Buana, Kali Pesanggrahan, Karang Tengah, Lebak Bulus, sebuah pertunjukan  berjuluk Phase dari Tabusai Dance Theatre itu, disuguhkan. Dari pertunjukan itu, Jefri Andi Usman, sang koreografer seakan ingin memberikan pesan tentang perubahan masa, berkaitan dengan kerusakan alam dan perempuan yang telah bergeser dari tradisinya.

Pertunjukan tari yang dipentaskan pada Sabtu, 23 April itu memiliki korelasi kuat dalam merespon peringatan hari bumi. “Phase adalah masa yang ditempuh. Hutan yang tidak dijaga dan ibu yang kembali ke bumi. Alam dan manusia memiliki kaitan erat,” ungkap Jefri. Pertunjukan tari Phase yang terbagi atas dua adegan: Bagian I, Tanah Merah dan Bagian II, Padusi.

Awal pembuka pertunjukan, menghadikan sosok perempuan tua yang diperankan Laksmi Notokusumo. Dia menjadi sosok ibu yang menyampaikan pesan kepada anak-anaknya melalui puisi berjudul Tanah Merah. Sembari melantunkan puisi dengan lirih, dia pun menari dengan gerak perlahan. Sesekali mengalami kesakitan untuk merepresentasikan larik-larik puisi yang getir dari penyair Damhuri Muhammad.

Teks-teks puisi ini menyiratkan tentang perubahan zaman yang menggambarkan kerusakan alam. Tanah yang awalnya subur dan menjadi sumber kehidupan mereka, berubah menjadi merah, berlumuran darah. Dan, ibu bumi yang selalu merasakan kepedihan.

Pada Bagian I, Tanah Merah ini, Jefri juga menunjukan kebolehan tarinya. Dia turun perlahan dari kontruksi bambu menuju panggung. Lalu, menari di antara tubuh-tubuh manusia yang tergeletak. Panggung itu diselimuti cahaya merah.

Melalui gerak yang menggelepar, Jefri seakan ingin merepresentasikan sakitnya alam lewat tubuhnya. Dengan gerakan tubuh yang dibalik, di mana kepala berada di bawah, Jefri terlihat ingin membumikan kembali tubuhnya dengan tanah.

“Saya ingin mengambil spirit alam,” tutur seniman kelahiran Padang, Sumatera Barat, berusia 44 tahun itu. Melalui tarinya, dia seolah ingin menggumuli tanah yang telah dinodai kerakusan manusia.

Usai Tanah Merah, lantunan senandung dari para pemusik menandakan perpindahan ke tari selanjutnya. Padusi dibawakan sepasang penari, Davit dan Maria Bernadeth (Eti). Mereka tampil berenergi, meski kondisi panggung yang licin dan basah.

Eti yang menggunakan kostum merah mewakili padusi. Di awal pertunjukan, dia membuang satu persatu tusuk suntiang sebagai hiasan kepala pengantin perempuan Minang yang menjadi simbol tradisi. Sebuah tradisi yang ingin ia bunuh, meski berat ia lakukan.

Padusi memperlihatkan gejolak identitasnya sebagai perempuan, yang menuntut perubahan diri sesuai perubahan zaman. Eti menari bersama Davit dengan tatapan yang saling mencurigai. Tubuh mereka bertarung dan ikatan keduanya yang saling tarik menarik. “Duet itu merepresentasikan konflik antara perempuan dan laki-laki di rumah tangga,” ungkap Jefri.   

Menjelang akhir pertunjukan, sosok bapak yang diperankan Teuku Rifnu Wikana melantunkan teks puisi berjudul Padusi. Dari atas kontruksi bambu, ia mengingatkan sang anak dengan ungkapan lirih hingga lantang, sembari menggoyang-goyangkan konstruksi bambunya dengan kencang sehingga menimbulkan suara gesekan bambu yang riuh hingga membuat penonton terhenyak.

Sedangkan Eti menari dengan gejolak emosi yang begitu dalam. Ia bersilat hingga kelelahan. Dan, akhirnya, lampu pun padam. Ia tetap tidak mampu melepas tradisi, meski berusaha keras mengikuti zaman. 

Sudah kelima kalinya pasangan penari handal yang kerap tampil di berbagai event internasional ini menarikan Phase. Namun, bagi mereka, pertunjukan kali ini sangat berkesan. Menurut Davit, ada energi alam yang luar biasa, meski kehilangan momen pada gerakan di bagian akhir. Mereka harus menghilangkan momen tersebut untuk menjaga intensitas tarian dan timbulnya kecelakaan karena lantai yang licin oleh air dan tanah.

Tidak mudah memang menari di alam terbuka, dengan berbagai kendala. Namun, Jefri memuji profesionalitas para penari. “Emosi di pertunjukan ini lebih meledak karena basah dan ada energi semesta yang tidak ada duanya. Saya puas dengan pertunjukan ini. Selanjutnya, harus terus progres dan matang,” tuturnya. 

Dalam pertunjukan ini, Jefri ingin menyampaikan persoalan Padusi yang dalam bahasa Minang berarti perempuan sebagai simbol bumi yang melahirkan kehidupan. Dia pun mencoba menyikapi perempuan dalam makna gender sesungguhnya dalam konstruksi kebudayaan. “Pada padusi, nilai-nilai kutural mulai bergeser akibat globalisasi, kapitalisme dan modernisasi,” tegas Jefri.

Phase mengingatkan bahwa perubahan telah mengubah alam tak lagi alami di era industrialisasi dewasa ini. Masa saat ini adalah zaman yang disebut Anthropocene. Manusia sudah mengubah alam sedemikian rupa. Intervensi manusia terhadap alam, menyebabkan alam tidak akan bisa kembali ke bentuk semula. Manusia dituntut bertanggung jawab  memperbaiki kondisi alam agar terus berkelanjutan.

Tradisi Minang menjadi pijakan

Phase merefleksikan kecenderungan Jefri sebagai sosok berdarah Minang yang kosmopolitan. Dia berbicara tentang persoalan tanah, alam, dan lingkungan secara global. Namun, tetap menarik kebudayaan Minang lewat sosok Padusi, termasuk memasukan gerak-gerak silat (silek), musik, dan teks puisi. Sementara Tabusai Dance Theatre yang dia dirikan tahun 2001 bersama saudaranya, M Aidil Usman, menjadi ruang penjelajahan kreativitas antara narasi lokal dan global.

Pada tema Padusi, Jefri menyadari betul posisi perempuan Minang dengan sistem budaya matrilineal. Padusi, tidak hanya sebagai sebuah foklor. Namun, dalam realitasnya ,perempuan menjadi sosok utama. “Di Minang, tidak perlu disejajarkan, perempuan naik ke rumah, laki-laki ke luar rumah,” ungkapnya.

Di masyarakat Minang, ada pepatah yang bermakna tentang kehebatan perempuan Minang, “Alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati” (Alu tersandung patah tiga, semut terinjak tidak mati). Pepatah itu mengandung makna kekuatan dan kelembutan perempuan Minang.

Pun halnya dengan kreatifitas tari yang disuguhkan. Jefri menempatkan silek sebagai pijakan kreasi. Sajian tari tidak terlepas dari Silat (silek) Kumango, Silat Ulu Ambek dan Silat Harimau. Silat Kumango, memperlihatkan keindahan bentuk geraknya. Sedangkan Ulu Ambek memperlihatkan ketenangan batin. Melalui seni bela diri Minang itu, Jefri mengembangkan koreografinya, bekerjasama dengan para penari yang piawai mengeksplorasi geraknya.

Corak musik yang mengiringi pementasan itu pun identik dengan musik Minang. Arasemen musik yang digawangi Syahrial dan Piterman, begitu kental dengan musik Minang melalui alat musik tiup saluang bersama dendang, yang disatukan dengan beberapa instrumen lain seperti didgeridoo, kecapi, dan kano.

Lewat karyanya, Jefri mencoba meleburkan antara teks puisi Tanah Merah dan Padusi karya Damhuri Muhammad, penyair asal Minang. Dia ingin mempertegas pesan pertunjukannya agar lebih dipahami penonton. Sejak tahun 2008, dia mulai menggabungkan antara teks dan tari.

Jefri, meski pernah menimba ilmu tari kontemporer di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan mementaskan tari di berbagai negara serta berkolaborasi dengan berbagai seniman tari, rupanya tak mampu melepaskan identitas dan keterikatannya dengan tanah kelahirannya. Baginya, seni dan tradisi warisan leluhur menjadi inspirasi dalam berkarya.  

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 523
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1615
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1395
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 738
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 896
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 847
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya