N. Syamsuddin Ch. Haesy
Lorong Gelap Bangsaku
Lorong gelap ini masih sangat panjang, mungkin teramat panjang. Kita tidak tahu, entah sampai bila akan tiba di ujungnya dan mendapatkan cahaya.
Dalam gelap, terlalu banyak di antara kita yang lupa cara menyalakan suluh, agar lorong gelap ini bisa berubah remang dan kita bisa meniti jalan. Tanpa seorangpun yang terpijak.
Duh.. di lorong gelap ini, tak seluruh bahu bisa dipadukan, sehingga sulit bahu membahu. Kita tak duduk sama rendah, tak berdiri sama tinggi. Kita terlalu sering bekerja bersama-sama dan sulit bekerjasama. Karena terlalu sering disubsidi, kita lupa saling berkontribusi. Karena terlalu sering memanjakan emosi, kita lupa cara bersatu 'tuk menemukan solusi. Sebagian kita senang bergaduh menebar riuh. Menggunakan tangan dan lengan untuk sorong-sorongan, sehingga kita selalu abai memelihara simpati dan empati, abai menggetarkan dawai apresiasi dan respek. Di lorong gelap itu kita tak lagi paham memaknai cinta.
Ohoiii... Kita senang mengubah lidah jadi belati yang senantiasa terhunus. Sebagian kita selalu senang saling tikam dengan lidah. Lalu bingung kala terkepung sansai berkepanjang.
Lorong gelap ini masih sangat panjang dan kita belum mendekat ke ujungnya. Sebagian kita masih berdiri canggung, sibuk mengemas alasan dan tak mampu menyediakan cara keluar dari gelap. Sebagian lainnya terus saling bertikam dengan lidah.
Dalam gaduh, telinga dan mata kehilangan makna, hingga tak terdengar suara mengaduh orang-orang miskin yang kian bertambah bilangannya.
Lorong gelap bangsaku, lorong panjang tak berujung. Di situ akal sehat dan nurani terkapar. Menunggu ajalnya !
(Jakarta, 8 November 2020)
Ironi Senja
Senja singgah lagi. Gelombang laut mengirimkan buih ke sela-sela karang di pantai peradaban yang lusuh. Aku melihat mentari meninggalkan punggungnya di bawah hujan.
Lobster kehilangan benurnya. Dikemas orang-orang ke dalam kotak angka-angka bilangan kurensi. Bermain silap mata menjanjikan asa di senyum nelayan, hiburan senja. Karena kemiskinan masih sahabat setia yang menemani.
Lobster kehilangan benurnya. Migrasi jauh ke negeri entah. Lewat persekutuan dan persekongkolan. Politisi dan petinggi negeri suap-suapan, mengikuti syahwat kuasa dan perut-perut kenyang yang senantiasa lapar.
He he.. Senja terkekeh. Gelombang laut mengirimkan isyarat compang negeri yang camping, lewat kebijakan yang kehilangan kebajikan. Gerimis rasuah memercik di atas gelombang kelicikan !
(Jakarta, 27 November 2020)
Di Kaki Gunung Aseupan
hujan turun malas-malasan. ikan-ikan di kolam ini pun malas-malasan
enggan melahap umpan. di ujung kail pencitraan
aku goler-goleran di lantai papan gazebo
depan kamar penuh kenangan. tempat kusimpan embun gunung aseupan
selendang gadis desa. terlepas dari perangkap kemiskinan
terlepas dari jerat kaki tangan kemaksiatan
pencuri para gadis. pedagang kehormatan di bawah lapak kebiadaban
transaksi kemanusiaan bertukar dolar
seekor ikan melahap umpan di ujung kain tipuan. membungkus durjana dengan janji
pembebasan atas kemiskinan
gadis tetangga berlari. terjatuh di bibir beranda
bibi mengangkat tubuhnya. mendekapnya. membelainya
mengerjapkan matanya kepadaku
aku merapat. ikut nelisik kerikil di telapak kakinya
oo... cerita lara terurai. tergerai bersama pedih
kaki tangan kemaksiatan. teramat panjang hingga ke tepian desa
kaki gunung aseupan
kemiskinan adalah kabut. turun bersama malam
membekap gadis-gadis. tameng utang emak bapak mereka
tameng hadapi ketamakan dan riba. sebelum sawah puso
hujan turun malas-malasan. orang-orang miskin. menganga mulutnya. menjulurkan lidahnya
tak setetes pun rintik hujan. jatuh mengusir dahaga
dan para gadis mengalunkan ayat-ayat Qur'an.
melawan penindasan para para beruang.
( Jiput | Januari 15, 1999 )