POLISI berkesenian memang bukan hal baru. Ekspresi seni telah lama mengalir dalam kehidupan kepolisian Republik Indonesia. Paling tidak, sejak masa Jendral Polisi Hoegeng menjabat sebagai Kapolri.
Di belakang hari saya kenal dengan beberapa perwira polisi yang juga karib dengan kesenian, seperti mantan Kapolda Metro Inspektur Jenderal Pol Putut Eko Bayuseno yang pandai ngidung.
1 Juli 2018 lalu, di Dusun Edukasi Watulumbung pimpinan Mbah Boy (Boy Achmad Rivai), saya menyaksikan Kapolda Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ), Brigjend Pol Ahmad Dofiri, membaca puisi yang menarik, bertajuk Di Tapal Batas Tugas.
Saya suka caranya membaca puisi. Tak kalah dengan para penyair yang menyertainya membaca puisi. Tak hanya itu, Kapolda Ahmad Dofiri tak alergi mendengar ekspresi para penyair yang sangat tajam mengkritisi realitas obyektif polisi hari ini.
Bahkan, ketika merespon refleksi puitik para seniman Jogja, itu Brigjend Pol Ahmad Dofiri menyatakan, kritik tajam dan pedas para seniman terhadap realitas polisi – secara obyektif – merupakan bagian dari cara untuk terus menerus meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab polisi. Khasnya dalam mewujudkan Tribrata dan Catur Prasetya polisi.
Di hadapan jajarannya, termasuk Kapolres se DI Jogjakarta, Kapolda Ahmad Dofiri menyatakan, polisi memerlukan kritik masyarakat, sebagai cermin untuk konsisten dan konsekuen melaksanakan nilai-nilai kebhayangkaraan.
Bersama Dusun Edukasi Watulumbung yang terletak di perbukitan kering Parangtritis – Jogjakarta, hari itu Polda DI Jogjakarta memperingati Hari Bhayangkara ke 72 tahun, dengan menggelar Bersastra di Hari Bhayangkara.
Tak kurang dari 72 polisi, termasuk Polwan (polisi wanita) membaca puisi bersama 72 seniman dan budayawan dari Jogjakarta dan berbagai kota lain, nyaris semalam suntuk. Sejumlah santri dengan seni hadrah, mengiringi pembacaan puisi itu.
Di awal acara, Korsik (Korps Musik) Polda DI Jogjakarta juga tampil. Sebelum acara dimulai, ketika kentrung dan seni lesung dimainkan para perempuan dusun Watulumbung, dua anggota Korsik spontan menggerakkan tangan dan lenggok tubuh mereka yang gemulai.
Pun, ketika sekelompok santri memainkan perangkat rebana mengumandangkan salawat dan hadarah, beberapa anggota polisi, termasuk jajaran petinggi dan Kapolres, ikut menggumamkan salawat.
Mbah Boy mengatakan, puisi-puisi itu tak hanya dibacakan pada kesempatan itu. Polda DI Jogjakarta dan Dusun Edukasi Watulumbung, juga menyiapkan penerbitan antologi puisi. “Kita rancang dan lakukan untuk menghidupkan terus literasi tekstual dan kontekstual sastra,” ujar Mbah Boy.
Mbah Boy, yang di masanya juga merupakan produser film serial televisi dan beberapa film layar lebar, ini juga mengemukakan, “Teman-teman polisi, termasuk polwan, tak hanya berpuisi, mereka juga tekun mempelajari puisi tradisional, seperti kidung dan pupuh.”
Ketika polisi berpuisi, kita rasakan dimensi lain dari kehidupan polisi yang merupakan bhayangkara negara. Yakni, dimensi insaniah. Dimensi kedalaman manusia yang akan memperkaya tugas utama polisi : melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Saya mengapresiasi kiprah polisi dalam sastra, sehingga dapat perkembangan kreativitas seniman dan budayawan bisa berkembang lebih luas dan punya makna. Seni dan sastra sebagai produk budaya, merupakan perangkat hidup yang memungkinkan kita melihat, seluruh aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan) sesungguhnya merupakan kebudayaan.
Polisi perlu berpuisi, bersastra dan berkesenian, sebagaimana polisi perlu mendalami beragam dimensi budaya yang menjadi ciri kebangsaan Indonesia. Dengan cara demikian, apresiasi seni sebagai bagian kecil dari aspresiasi budaya akan hidup subur.
Tabek Kapolda DI Jogjakarta, Ahmad Dofiri. Tabek Mbah Boy (Boy Ahmad Rivai). Dan Watulumbung menjadi titik temu yang memberi makna luas atas edukasi budaya. | Bang Sem