Puisi Puisi N. Syamsuddin Ch. HAESY

Kabar Kematian

| dilihat 723

KABAR KEMATIAN

( kepada mendiang isteriku: YAH )

 

kukabarkan kepadamu tentang kematian, setiap detik menghampiri orang-orang tercinta.

sepuluh purnama sudah berlalu. kami terjebak dalam gelap. tak hanya kala rembulan bersinar di malam hari. bahkan ketika mentari memancarkan cahaya sejak fajar hingga senja tenggelam di kaki langit.

satu satu orang tercinta menemui kematiannya di detik tetiba.

aku berdiri dan berdiam diri di sudut makammu, yang kian rimbun dengan rumput hijau. gerimis merawatnya. hujan menyuburkannya. jemariku mencabuti rumput-rumput liar. rumput-rumput hijau itu bagai aksara. menyusun kata. jelma jadi puisi. tapi hanya bercerita tentang hari-hari kemarin.

aku ingin rumput di makammu tersusun jadi narasi tentang kematian, seperti kalimat-kalimat di lembaran buku harian yang selalu kau tuliskan dengan suasana batin yang berirama.

gambar-gambar sketsa dan vignet menghiasi setiap lembarannya. kubaca dalam sunyi.

aku ingin rumput di makammu tersusun jadi diksi tentang hakikat kematian yang berbeda dengan kematian yang pernah kau bincangkan tentang wabah.

owh.. aku hanya mendengar sisa suaramu jelang ajalmu tiba. kala kau bercerita tentang pembuluh darah yang terkontaminasi. tentang organ-organ tubuh yang hilang fungsi. tentang perlawanan panjangmu. 180 purnama bertarung dengan cancer. tapi prediksimu kini menjadi realita.

virus yang tak pernah kau sebutkan namanya, sudah menghadang, menerjang, menikam, dan menyerahkan ribuan ajal insan kepada malaikat el maut. sejuta orang lebih di tanah air yang teramat kau cintai terpapar dan terkapar.

kukabarkan kepadamu tentang kematian. setiap tarikan nafas berhenti di ujung sesak.

kematian yang berbeda dengan kematian yang kau dan orang-orang tercinta alami. kematian tanpa narasi. tanpa diksi. tak ada risalah diceritakan, bagaimana ajal tiba dan ruh terlepas pergi dari raga mereka.

owh.. adakah kematian hanyalah langkah melompat melintas garba yang terkuak tirainya pada dinihari. meninggalkan fana nuju baqa.

kukabarkan kepadamu tentang kematian tak biasa. satu-satu atau serempak. jenazah-jenazah terbungkus dalam plastik rapat. terbujur kaku dalam peti mati alakadar berbungkus plastik. dan orang-orang berpakaian khas menghantarkan dari ruang perawatan ke ruang gawat darurat rumah sakit ke kamar jenazah, ke dalam ambulance yang meraung letih, ke tangan para petugas pemakaman, ke lubang yang digali siang malam dengan keringat dan lelah.

kukabarkan kepadamu tentang kematian. sunyi di rimbun senyap. sendiri didekap sepi. hening tanpa detik. derap kaki entah para petugas pemakaman.

kukabarkan kepadamu tentang kematian. hakikat entah kehabisan cara bagaimana.

lirih di kejauhan pada jarak suasana pemakaman, kudengar sayup orang-orang berdebat tentang vaksin diikuti bilangan angka-angka kalkulasi para pedagang nyawa.

ah.. orang-orang biadab merampas hak rakyat untuk bertahan hidup menunda tiba masa kematian singgah.

kukabarkan kepadamu tentang kematian. misteri yang aku tak pernah pandai memahaminya..

 

N. Syamsuddin Ch, Haesy | Jakarta, 29  Januari 2021

 

SYAHWAT KUASA

kala nalar tak seirama dengan nurani dan rasa, hasad dan hasut terus membara membakar adab dan cinta.

mimpi-mimpi ideal berubah realita pahit getir.

lihatlah murka di mana-mana. tak pandang bangsa dan negara. terhuyung dihempas gelombang syahwat kuasa.

rasisme bagai kelewang menebas kemanusiaan. sebagian orang melawannya. sebagian lainnya terkapar tanpa daya. tunduk pada kehendak perut.

 

N. Syamsuddin Ch, Haesy |  Jakarta, 7 Januari 2021

 

AKU MURKA, KEKASIHKU

kau tak kan pernah mendengar dan mengerti bagaimana aku murka, kekasihku. aku murka pada Tom Cat yang sesuka hati menyengat ujung matamu. hingga lebam menghias sebelah matamu dan dan nyeri menyengatmu.

kusimpan murkaku dalam diam. aku tak pandai memilih kata penghiburan. kutekuk atensiku dalam do'a. kulipat rasa khawatirku pada rasa, bukan kata.

Selalu kubayangkan orang-orang yang gemar merangkai presumsi dengan aneka tanya, bertanya dan mempertanyakan bagaimana reaksiku.

Ahh.. aku murka, kekasihku. Kurutuk Tom Cat dengan pesona warna sosoknya menyengat ekor matamu seketika. Tak bisa kau duga. Tak bisa kau tahu. Pada pagi. Ketika kau alirkan cinta lewat air memandikan tanaman hias dan bunga-bunga.

Aku murka dalam diamku, kekasihku. Aku tak pandai mengekspresikannya dengan cara orang-orang berekspesi. Boleh jadi hanya ekspresi basa-basi.

Kubelai lebam matamu dengan doa di lepas separuh malam.

Kuambil nyeri dalam rasa ketika sujud terakhir salat malamku.

Aku murka, kekasihku !

 

N. Syamsuddin Ch, Haesy |  Jakarta, 10 Januari 2021

MEMBACA DIAM DI SALONSA

(Kepada Sawedi Muhammad)

 

Riak danau. Angin sunyi mencumbu dedaunan dengen.  Buah ranumnya berjatuhan di hampar rerumputan. 

Ingin kutuliskan rindu di setiap kelopak dengen yang tersisa. Lalu memberi makna atas sujud di hadapan Tuhan.

Kudengar celoteh bocah mungil buah cintamu.  Berlarian di tepian danau. Hup!  Kutemukan makna sukacita,  saat perlahan ia berenang,  mengenali kejernihan.

Di sini hidup berpilin damai.  Salonsa sekeping hening.

Disediakan Tuhan untuk tak henti menggelar sajadah.  Lalu sujud sepenuh sukma.

Kau coba pahami kegelisahanku  tentang kerja dan karya, seperti kupahami kegelisahanmu  tentang para pemburu asa tanpa kesungguhan kerja.

Kubaca di tatap pandang matamu:  hakikat tanggungjawab atas alam, keluarga,  dan orang-orang yang tak henti bekerja dan berkarya  dengan kesungguhan.

Dan ketika kau kabarkan kehamilan istrimu dengan sukacita, kutangkap harap menyembul dari danau kembara risau.

Hidup terus bergerak dengan iramanya.  Angin danau mengusik  riak airnya jelma jadi puisi seluas pandang.

Kau tuliskan bagian sejarah hidupmu di sela riak air Matano, saat perahu melintas mengangkut rotan.

Kita tak boleh berhenti memberi makna atas dinamika. Karena hidup menghadirkan kita  di setiap sela gelegak dan gejolaknya.  Asa senantiasa membuka ruang rasa.

Di sana segala fikir jelma  jadi amal yang tak ‘kan habis dihitung anak cucu.

Meski seringkali mesti ditebus  dengan kesal dan marah terkemas di balik senyuman.

Tak ada ruang dan waktu untuk berkeluh kesah.  Tak ada.

Tuhan memberikan ruang dan waktu  untuk bekerja dan berkarya.

Mengolah daya  yang diberi sejak kita ada di garba ibu.

Mengolah asa sejak dititipkan anak-anak kita  ketika dia dilahirkan.

Jangan pernah berhenti menuliskan sejarahmu di sela riak air danau.

Meski petir menyambar.  Mentari menyengat.  Dan hujan memeluk kita dengan basah dan dingin.

Lihatlah kelopak dengen. Membuka rahasia warna dan rasa Di putiknya tersimpan rahasia . Kecerdasan dan kearifan. Misteri tak teraba empirisma. Lihatlah kupasan pertama tanah merah. Tempat Tuhan bercerita tentang humus. Dan kehidupan makhluk tak terlihat pandang.

Lihatlah rerumputan hijau. Tempat kita belajar tentang proses kehidupan. Baca semua misteri. Tersimpan di dalam Matano. Terentang di luas Towuti. Terurai di elok Mahalona

Bukankah diam di Salonsa. Bukan sunyi dikepung hening

Irama indah nyanyian bocah. Memaknakan kata ceria di wajah cerah

Jangan pernah berhenti berfikir. Jangan pernah berhenti berkarya

Meski hanya sejengkal kita melangkah. Semua terekam dalam sejarah

 

N. Syamsuddin Ch, Haesy | Salonsa, 2007-2008

Editor : delanova
 
Energi & Tambang
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 242
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 421
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 316
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 271
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya