Konflik Golkar

Sia-sia Islah Terpaksa

| dilihat 1376

AKARPADINEWS.COM | DUA kubu yang berseteru di internal Partai Golkar: Aburizal Bakrie versus Agung Laksono sepakat islah. Namun, islahnya terkesan terpaksa. Demi mempertaruhkan nasib kader Partai Golkar di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar serentak tahun ini, kedua kubu untuk sementara sepakat berdamai. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), yang juga tokoh senior Partai Golkar menjadi mediator. JK turun gunung lantaran dua kubu sulit bersatu. Masing-masing mengklaim paling sah berada di pucuk Beringin.

Jika islah  gagal, maka kader Golkar terancam hanya akan jadi pengembira di ajang suksesi. Mereka tak bisa berlaga lantaran dualisme kepemimpinan tak berhasil dituntaskan hingga batas waktu pendaftaran calon kepala daerah, 26-28 Juli 2015. Sebelum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht)  dari pengadilan terkait sengketa kepengurusan partai, Komisi Pemilihan Umum akan menolak kader Golkar yang menjadi kandidat di Pilkada. Pilkada serentak rencananya digelar di Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, dan Bengkulu, serta 181 kabupaten atau kota.

Dalam proses mediasi, JK menawarkan saran yang perlu disepakati dua kubu. Saran itu antara lain: mengutamakan kepentingan partai dan kader, bekerja sama dalam menjaring kader-kader sebagai calon kepala daerah, membahas dan menyetujui kriteria calon kepala daerah, dan yang mengajukan calon adalah kepengurusan pusat yang diakui oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Agung setuju dengan saran JK tersebut. Alasannya, kandidat yang diusung Golkar di Pilkada, tidak mengatasnamakan satu kubu saja. "Tidak ada kubu ARB (Aburizal Bakrie), kubu Agung. Satu kubu Golkar," katanya. Nama-nama kandidat itu, harus digodok bersama-sama.

Karena islah sifatnya sementara, Agung menambahkan, proses hukum terkait legalitas kepengurusan Partai Golkar yang diajukannya tetap berjalan. Pihaknya mengajukan banding terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan kepengurusan Partai Golkar pimpinan Aburizal. Senin, 18 Mei 2015, Majelis Hakim PTUN Jakarta mengabulkan gugatan kubu Aburizal, yang menuntut pembatalan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung. Dalam putusannya, Majelis Hakim PTUN memerintahkan Menkumham membatalkan SK yang memihak kepada kubu Agung.

Sebelumnya, Sabtu (23/5), Ical, sapaan Aburizal, menyambangi JK. Dia juga menekankan pentingnya islah agar kader Golkar dapat didaftarkan sebagai calon kepala daerah. Tapi, kata Ical, islah itu sifatnya sementara. "Setelah itu, proses hukum jalan terus," ujarnya. Karena terpaksa, islah yang dimediasi JK, sekadar obat penawar kegundahan kader Golkar di daerah semata, bukan solusi jangka panjang memecahkan kemelut di Golkar. Islah tak ubahnya siasat elit Golkar untuk tidak membuyarkan keinginan kader Golkar yang berambisi memenangkan Pilkada. Masalahnya, apakah dengan islah itu mampu menyatukan kekuatan kader beringin? Pucuk Beringin yang tak hentinya bergoyang, tentu berdampak pada kekokohan akarnya. Jika tak berhenti bergoyang, bisa jadi akarnya tercerabut. Lalu, beringin pun tumbang.

Agung maupun Ical boleh saja mengklaim jika islah adalah solusi tepat mengatasi kemelut yang tengah melanda. Keduanya juga bisa menunjukan komitmen untuk bersama-sama membawa kader Golkar menjadi jawara di ajang Pilkada. Namun, belum tentu kesepakatan itu diamini kader Golkar di daerah. Kader Golkar yang berpatron ke Aburizal, tentu akan mati-matian mengusung jagonya. Begitu juga dengan kader Golkar yang berada di gerbong Agung. Mereka akan menolak kader yang berkiblat ke Ical. Konflik berkepanjangan di di internal level pusat, tentu mempengarui persepsi dan sikap kader Golkar di daerah.

Singkatnya, jika tidak ada resep mujarab menyembuhkan persoalan kisruh di internal Golkar, percuma saja Golkar berlaga di Pilkada. Pasalnya, suksesi bukan ajang coba-coba. Namun, membutuhkan soliditas seluruh pengurus untuk memobilisasi dukungan pemilih.

Dan, sebagaimana diketahui sebagian masyarakat, dalam menentukan kandidat, elit partai, baik pusat maupun daerah, lebih menempuh jalur pragmatis, kadangkala berseberangan dengan ekspektasi rakyat, yang lebih menekankan pentingnya partai politik mengusung kandidat dengan mempertimbangkan rekam jejak, integritas, profesionalitas, kompetensi, kapabelitas, dan kriteria pemimpin ideal lainnya sehingga dipercaya dapat menjalankan mandat kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Masyarakat yang menjadi basis Golkar yang kecewa dengan keputusan partai, bisa jadi mengalihkan hak pilihnya ke kandidat yang diusung partai lain.

Sulit rasanya memenangkan pertarungan jika di internal Golkar saja tidak solid. Sementara konsolidasi membutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam kondisi demikian, mesin Partai Golkar tidak dapat bergerak optimal lantaran tidak ditopang secara total oleh pengurusnya. Padahal, peran mereka sangat penting untuk memobilisasi pemilih, melakukan penetrasi ke konstituen.

Sengkarut di internal Golkar menunjukan jika elitnya tidak mampu mengelola konflik (conflict management) dengan baik. Ical dan Agung gagal mengakomodasi beragam kepentingan yang disatukan lewat konsensus lantaran terbius oleh syahwat politiknya masing-masing.

Ketidakmampuan Ical-Agung dalam melaksanakan fungsi agregasi kepentingan itu yang mengakibatkan konflik internal makin meluas, pada akhirnya memicu perpecahan partai yang kemudian berimbas merosotnya dukungan konstituen. Apalagi, tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik mengalami distorsi yang salah satunya karena fenomena konflik elit yang hanya berorientasi merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Konflik pada dasarnya diawali dari kerisauan yang disuarakan salah satu pihak ke pihak lain. Mereka risau lantaran merasa kepentingannya tidak diakomodasi, haknya diabaikan, dan sebagainya. Jika tidak direspons akan mengarah ke konfrontasi, yang memompa suhu politik, yang rawan menggiring dua kubu untuk pecah kongsi. 

Dalam kondisi demikian, perlu upaya mengelola konflik (managed), pengendalian (controlled), dan penyelesaian (settled) konflik secara bijak. Nyatanya, hal itu tidak dilakukan masing-masing kubu. Mereka justru saling serang dan mengklaim paling sah dalam mengendalikan Golkar. Padahal, jika konflik mampu dikelola dengan baik, maka dapat mengukuhkan soliditas.

Jika mencermati dinamika di internal Golkar, konflik sebenarnya bersumber dari ambisi elit untuk mempertahankan dan berebut kekuasaan. Konflik yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat.

Jalur dialog yang buntu mengakibatkan munculnya kubu-kubu-an yang masing-masing merasa paling benar.. Konflik pun makin rumit, tatkala ada pihak eksternal yang berupaya menyusup. Pihak luar itu dapat dengan mudah masuk karena ada simbiosis mutualisme. Kubu Agung misalnya, main mata dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dengan tujuan mendapatkan legalitas dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Sementara kubu Ical, lebih merapat ke Koalisi Merah Putih (KMP). Ketidaksukaan Ical merapat ke kubu Pemerintah mungkin tidak terlepas dari kekecewaannya saat Pemilihan Presiden 2014 lalu. Ical pernah menemui Megawati di kediamannya, Tengku Umar, Jakarta, 18 mei 2014 lalu untuk menawarkan koalisi di ajang Pilpres. Namun, pertemuan itu tak membuahkan kesepakatan. Ical pun langsung merapat ke Prabowo Subianto, calon presiden yang berpasangan dengan calon wakil presiden Hatta Rajasa.

Suksesi Golkar pun dijadikan momentum bagi pemerintah untuk menggusur Ical. Caranya, pemerintah lewat Yasonna, melakukan manuver dengan cara main mata dengan Agung yang ingin Golkar merapat ke pemerintah. Manuver itu menuai perlawanan kubu Ical yang didukung pentolan partai yang tergabung dalam KMP. Pemerintah dituding melakukan cara-cara seperti rezim Orde Baru yang gemar mengintervensi partai politik. Yasonna dianggap menyalahgunakan kekuasaannya, dengan mengobok-obok partai Golkar lantaran berseberangan dengan pemerintah.

Dengan merangkul Golkar, pemerintah memandulkan KMP sebagai kekuatan penyeimbang. Cara itu ditempuh lantaran sebelumnya KMP berhasil mempecundangi Koalisi Indonesia Hebat (KIH), pendukung pemerintahan Jokowi-JK di parlemen. KMP sama sekali tidak memberikan jatah kepada KIH untuk menduduki jabatan strategis di DPR.  

Kekhawatiran pun muncul. Dominasi (Gerindra, PAN, Golkar, PKS, PPP), di tambah dengan Demokrat di parlemen, dapat menjegal pemerintah. KMP dapat menjadi hambatan pemerintah dengan memanfaatkan kewenangannya di parlemen.  Sampai-sampai, muncul pula kekhawatiran jika KMP bakal menjatuhkan Jokowi dari kursi presiden (impeachment). Karenanya, pemerintah berupaya merangkul Golkar untuk meninggalkan KMP. Dengan begitu, kekuatan KIH lebih dominan di parlemen.

Konflik di internal Golkar sebenarnya dapat dicegah jika pentolannya mengikis distorsi akibat perbedaan kepentingan dalam proses suksesi. Distorsi itu meluas lantaran ketidakmampuan Mahkamah Partai dalam mengadili perkara perebutan kekuasaan secara objektif dan independen. Netralitas mahkamah diragukan.

Pasalnya, Muladi, Ketua Mahkamah Partai Golkar, lebih cenderung berada di gerbong Ical. Sementara Andi Mattalata, anggota mahkamah yang merupakan pengurus Partai Golkar pimpinan Agung. Hanya HAS Natabaya yang dianggap netral karena berasal dari unsur independen.

Disfungsi Mahkamah Partai itu yang kemudian mengakibatkan sengketa kepengurusan diselesaikan di pengadilan. Sementara proses rekonsiliasi tidak berjalan dengan baik, bahkan sampai aduk fisik, lantaran kedua pihak sama-sama merasa benar.

Saat ini, jalur yang ditempuh adalah mediasi yang dilakoni JK. Pertanyaannya, apakah JK bisa bersikap netral, melepaskan kepentingan politiknya? Bisa saja, JK memanfaatkan peran mediasi untuk menjinakan Golkar. Cukup beralasan jika netralitas JK diragukan. Pasalnya, dia tentu akan memilih kubu yang mudah dijinakan agar tidak merongrong pemerintah.

Di sinilah kenegarawanan JK dipertaruhkan. JK harus menjadi pihak yang mendorong inisiatif, bukan justru melakukan intervensi demi memenangkan salah satu kubu. Islah akan gagal jika JK tidak berada pada posisi yang netral. Sebelumnya, Akbar Tanjung, tokoh senior di Partai Golkar sempat mengusulkan untuk memediasi. Namun, Akbar ditolak lantaran dianggap merapat ke kubu Ical.

Sebagai mediator, JK tak cukup hanya mendorong Ical dan Agung menyepakati pembahasan islah. Namun, harus dapat memastikan Ical-Agung agar memerintahkan semua pengikutnya, patuh atas kesepakatan islah. Kesepakatan dapat dilaksanakan jika kesepakatan mengakomodasi semua kepentingan. Jika kesepakatan menimbulkan kecurigaan--lebih menguntungkan salah satu kubu, maka islah hanya menyisahkan api dalam sekam.

Konflik dipastikan akan makin keruh dan dapat menganggu konsolidasi di internal Golkar guna menghadapi Pilkada. Demi kepentingan jangka panjang, islah harusnya dipahami sebagai proses penyelesaian masalah secara berkelanjutan, tidak sekadar saat menghadapi Pilkada saja. Meski proses yang dilalui agak kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama, namun kesepakatan yang ditetapkan melalui proses yang akomodatif dan representatif, akan menghasilkan konsensus yang kuat sehingga mengukuhkan soliditas Golkar. Para pihak yang bertikai harus konsisten melaksanakan dan mengawasi kesepakatan.

Islah juga jangan dimanfaatkan untuk tujuan kooptasi dengan memanfaatkan salah satu pihak saja. Cara-cara tersebut hanya menyisahkan api dalam sekam. Cepat atau lambat akan menjadi bara yang sulit dipadamkan. Islah, sejatinya bertujuan untuk menyatukan atau merangkul, bukan justru menyingkirkan mereka yang berseberangan atau yang tak bisa diajak damai.

M. Yamin Panca Setia

 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 240
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 338
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 246
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 469
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 461
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 433
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya