Musuh Bebuyutan Berharap Rujuk

| dilihat 1906

AKARPADINEWS.COM | PRESIDEN Amerika Serikat (AS), Barack Obama dan Presiden Kuba, Raul Castro terus berupaya memulihkan hubungan diplomatik yang terputus sejak 54 tahun lalu. Meski ada sejumlah hambatan yang menghadang kedua negara menuju tahapan baru tersebut, Obama dan Raul Castro menyakini, hambatan itu mampu dituntaskan.  

Upaya rujuk yang selama ini dilakukan, mulai menunjukan arah positif. Itu terlihat dari kebijakan Pemerintah Kuba yang mengizinkan Pemerintah AS membuka kembali Kedutaan Besar di negaranya mulai tanggal 20 Juli nanti. Kebijakan diplomatik itu disampaikan Kementerian Luar Negeri Kuba lewat sebuah surat yang ditujukan kepada Obama, yang diterima diplomat senior AS di Havana, Kuba.

Obama dan Raul Castro, dalam beberapa bulan ini, terus membangun hubungan. 12 April lalu, setelah menggelar pertemuan, lewat pengumuman resmi, Obama dan Castro menyatakan akan memenuhi janjinya untuk memulihkan keretakan hubungan diplomatik kedua negara.

Obama menyebut momen itu sangat bersejarah. "Ini merupakan pertemuan bersejarah," katanya seraya mengklaim dekade ketegangan mulai berkurang dan memberikan keuntungan, baik warga Kuba maupun AS. "Ini adalah waktu bagi kita untuk mencoba sesuatu yang baru. Kami sekarang dalam posisi untuk bergerak pada jalan menuju masa depan," imbuh Obama.

Pertemuan Obama dan Raul Castro kali pertama terjadi saat menghadiri pemakaman tokoh anti apartheid di Afrika Selatan yang menginspirasi dunia, Nelson Mandela, di Stadiun First National Bank (FNB) di Johannesburg, 11 Desember 2013 silam. Saat menuju podium guna menyampaikan pidato, Obama menyalami Raul Castro. Jabat tangan kedua pemimpin itu disaksikan sejumlah pemimpin dunia lainnya yang hadir di acara pemakaman Mandela itu dan jutaan penghuni dunia. Pertemuan itu menebar sinyal persahabatan antara Obama dan Raul Castro.

Kesepakatan dengan Kuba menandai prestasi besar bagi Obama yang telah dikritik lemah dalam mengimplementasikan kebijakan luar negerinya, terutama di Timur Tengah, khususnya terkait perjanjian nuklir dengan Iran. Paus Fransiskus disebut-sebut berperan penting dalam mencairkan hubungan AS-Kuba.

10 Mei 2015 lalu, Raul Castro menyampaikan terima kasih kepada Paus Fransiskus yang telah menengahi keretakan hubungan antara Havana dan Washington. Dia merasa terkesan dan ingin kembali kembali ke Vatikan, meskipun negaranya berpaham komunis. Raul Castro menyempatkan diri berbincang dengan Paus kelahiran Argentina itu selama hampir satu jam. Meski demikian, Raul Castro mengatakan, kunjungannya ke Vatikan itu bersifat pribadi, bukan kunjungan kenegaraan. "Saya sangat senang. Saya datang ke sini untuk berterima kasih atas apa yang telah dilakukan (Paus Fransiskus) untuk memecahkan masalah AS dan Kuba," ucap Castro. 

Meski menunjukan ada upaya pemulihan hubungan, namun ada sandungan yang bakal menggajal. Kuba masih dianggap AS sebagai negara yang mensponsori terorisme. Belum lagi keputusan politik kubu Konservatif di Kongres AS yang menolak desakan Obama agar mencabut embargo terhadap Kuba yang telah berlangsung selama 53 tahun.

Namun, AS memiliki kepentingan menjaga keamanan, khususnya terkait pangkalan Angkatan Laut AS di Kuba, Guantanamo Bay, yang pernah digunakan sejak tahun 1903. Sedangkan Kuba menginginkan 45 mil persegi (116 km persegi) dari garis pantai menjadi wilayah kedaulatannya. Terkait hambatan itu, Raul Castro percaya Obama dapat mengatasinya.

Upaya Raul Castro memulihkan hubungan dengan AS nampaknya didukung kakaknya, Fidel Castro. Meski tidak mempercayaikan kebijakan AS, lewat sebuah surat, Fidel Castro menyatakan dukungannya atas kerjasama dan persahabatan dengan semua bangsa di dunia, termasuk dengan lawan politik Kuba. Fidel Castro dikenal sebagai pemimpin kharismatik yang memimpin revolusi Kuba dan selalu bertentangan dengan AS.

Setelah 18 bulan melakukan negosiasi rahasia di Vatikan yang difasilitasi Paus Fransiskus, Obama dan Castro akan mengumumkan secara terpisah jika pada Desember mendatang mereka berencana untuk membuka kembali kedutaan di ibukota masing-masing dan menormalkan hubungan diplomatik. Menteri Luar Negeri AS John Kerry dikabarkan akan hadir pada upacara pengibaran bendera di Havana akhir bulan ini guna memastikan AS akan membuka kedutaan penuh. Langkah serupa juga dilakukan Misi Kuba di Washington. 

Kesepakatan pada Desember nanti juga termasuk pertukaran tawanan. AS-Kuba juga akan menghapus sejarah kelam selama 56 tahun, di mana kedua negara saling melancarkan tuduhan sejak pemberontakan yang dipimpin Fidel Castro menggulingkan rezim pemerintahan yang didukung AS, Fulgencio Batista, pada 1 Januari 1959.

Tumbangnya kekuasaan Batista menjadi awal berakhirnya kemesraan hubungan AS-Kuba. Dua tahun kemudian, tepatnya 3 Januari 1961, Presiden AS, Dwight Eisenhower menutup Kedutaan Besar AS di Havana. Penutupan itu dilakukan kurang dari tiga minggu sebelum John F Kennedy terpilih menjadi Presiden AS.

Lalu, pada April tahun itu, Kennedy mengotorisasi invasi militer AS terhadap Kuba yang didukung oleh kekuatan orang-orang buangan Kuba. Namun, serangan di Teluk Babi itu digagalkan Fidel Castro yang ditopang penuh oleh kekuatan rakyat.

Bagi AS, Kuba adalah negara strategis, yang menjadi gerbang bagi negara-negara Eropa dalam menancapkan kepentingannya di Benua Amerika. Posisi strategis itu yang mendorong Pemerintah AS membangun kerjasama dengan Pemerintah Kuba. AS juga mengembangkan kerjasama ekonomi dengan Kuba dengan membuka impor produk pertanian dan perkebunan, khususnya gula.

Kerjasama AS-Kuba berlangsung dengan baik lantaran AS pernah membantu Kuba dalam perang menghadapi Spanyol. Dalam peperangan Cuban-American-Spain, AS membantu Kuba dalam mencapai kemerdekaan dari penjajahan Spanyol, dengan mengirim puluhan ribu tentara ke Kuba. Spanyol sebelumnya menentang intervensi AS di negara-negara koloninya.

Sampai-sampai, 25 April-12 Agustus 1898, AS-Spanyol terlibat peperangan. Namun, militer AS berhasil memukul mundur militer Spanyol dari kawasan Karibia dan Pasifik Selatan. Setelah itu, Pemerintah AS mendirikan pemerintahan sementara di Kuba. AS juga menancapkan kekuasaannya di negara-negara koloni Spanyol di Puerto Riko, Guam, dan Filipina melalui Traktat Paris, 10 Desember 1898. Saat itu, warga AS bebas keluar masuk ke Kuba. Jaminan dari Pemerintah AS memancing investor AS berbondong-bondong berinvestasi di Kuba dan beberapa negara di kawasan Amerika Latin.

Namun, hubungan AS-Kuba sempat bergolak tatkala AS mengingkari janjinya. Sebelum meletusnya peperangan dengan Spanyol di daratan Kuba, 19 April 1898, AS-Kuba menyepakati perjanjian Teller Amandment yang isinya antara lain, AS tidak akan mengontrol secara penuh Kuba dan akan menarik seluruh pasukannya setelah menaklukan Spanyol.

Namun, setelah Spanyol angkat kaki dari Kuba, AS justru menghapus Amandemen Teller dan menggantinya dengan Platt Amandment. Dengan mengacu pada Platt Amandement, AS makin mengukuhkan kepentingannya di Kuba, menguasai perekonomian dan memberi tanah kepada militer AS di beberapa pulau di Kuba, termasuk di Teluk Guantanamo yang dijadikan pangkalan Angkatan Laut AS dan tempat mengangkut batu bara.

Pengingkaran itu yang memancing kebencian rakyat Kuba terhadap AS. Apalagi, tak sedikit, tanah rakyat yang dirampas pemerintah AS untuk kepentingan investor. Hal ini yang kemudian membangkitkan perlawanan rakyat lewat Revolusi Kuba yang dipimpin Fidel Castro

Dalam perjalanannya, hubungan AS dengan Kuba makin berantakan tatkala Fidel Castro melancarkan pemberontakan hingga menumbangkan rezim Fulgencio Batista--yang bersekutu dengan AS. Kebencian AS terhadap Fidel Castro, kemudian menggiring Kuba berkiblat ke Uni Soviet, negara adidaya yang terlibat perang dingin dengan AS.

Hubungan diplomatik AS-Kuba kala itu tak lagi bisa dipulihkan, apalagi sejak Fidel Castro melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang dikuasai AS. Fidel Castro juga mengesahkan UU Reformasi Agraria pada tanggal 17 Mei 1959 yang memberikan hak-hak kepada rakyatnya untuk menguasai kembali tanah-tanah yang dikuasai perusahaan AS.

Kebijakan Fidel Castro yang mengusik kepentingan AS itu yang memicu Presiden AS Jhon F Kennedy melakukan invasi militer di Teluk Babi tahun 1961. Invasi itu dilakukan dengan memanfaatkan orang-orang Kuba yang terusir dari Kuba untuk menggulingkan Fidel Castro. Namun, kepemimpinan kharismatik Fidel Castro mampu menggalang kekuatan rakyat untuk menghadapi invasi tersebut.

Invasi itu justru memperkuat Revolusi Kuba. Setelah gagal melancarkan invasi militer, Kennedy yang dikecam internasional lantaran mengorganisir invasi di Teluk Babi, mengubah siasat untuk menghancurkan rezim Fidel Castro dengan cara menerapkan embargo ekonomi. Kebijakan yang merugikan Kuba itu masih diterapkan hingga saat ini.

Di era kepemimpinan Obama, Pemerintah AS terus berupaya menyakinkan Kuba agar memulihkan kembali hubungan diplomatik. Dan, sejalan dengan desakan warganya, Pemerintah AS seakan membuka pintu bagi Pemerintah Kuba untuk memulihkan hubungan diplomatik dengan mencabut kebijakan pembatasan larangan berpergian bagi warganya, termasuk pengiriman uang ke Kuba.

Rakyat Kuba pun menyambut positif kebijakan Obama tersebut. Rakyat Kuba maupun AS, dan masyarakat dunia, tentu berharap Obama dan Raul Castro dapat benar mengukir sejarah, dengan menggiring negaranya masing-masing untuk berdamai setelah bertahun-tahun bermusuhan.

M. Yamin Panca Setia/Reuters/CNN/BBC

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 246
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 469
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 463
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 434
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 527
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1620
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1400
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya