Memperingati Hari Pers Nasional 2014

Bukan Jurnalisme Tabrak Lari

| dilihat 2165

N. Syamsuddin Ch. Haesy

PERKEMBANGAN Pers Indonesia sungguh luar biasa. Mulai dari perjuangan seirama dengan perjuangan kemerdekaan, sampai jaman represi di era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Kemudian memasuki era kebebasan luar biasa di jaman Presiden Habibie sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini. Entah esok, apakah kebebasan pers masih berkutat dengan kebebasan itu sendiri dan tak menyentuh dimensi kemerdekaan pers yang sesungguhnya.

Kita memang seringkali sulit memahami dan mendefinisikan idiom yang paling pas: freedom of the pers atau independent of the pers, seperti banyak kalangan insan pers sediri yang mumet memahami hakekat bebas dengan liar. Apalagi kini, ketika rakyat nyaris hilang kepercayaan kepada pengemban tiga pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan hanya mengandalkan pers sebagai tumpuan kepercayaan.

Indonesia sedang menemukan momentum emas untuk mempertanyakan pada dirinya sendiri pilihan-pilihan terbaik dalam membawa pers Indonesia ke jalan yang benar di tengah begitu banyak pembenaran sebagai cara. Ada yang getun dengan keyakinan: jalan pers adalah jalan pedang bukan jalan pena, sehingga lahirlah jurnalisme mutilasi dan jurnalisme tabrak lari. Ada juga yang getun dengan prophetic track dan keukeuh dengan enlightment journalisme, karena seperti yang diyakini wartawan cerdas Ann Curry, “journalism is an act of faith in the future.”

Para jurnalis selengekan pernah mengolok-olok pernyataan Ann dengan mengatakan, Ann Curry menganut mazhab ‘pure journalisme.’ Padahal, kapitalisme yang menyeret pers menjadi industri, telah menyebabkan pers selalu berada di grey area, dan selalu, momentum refleksi insan pers hanya menjadi ruang ‘bercermin dalam gelap.’ Apalagi ketika kaum beruang (pemilik modal besar) dan politisi pemburu kekuasaan, masuk ke dalam dunia pers dan berusaha mengangkangi media sekadar sebagai medium politik praktis.

Belajar dari pengalaman para insan pers Indonesia yang luar biasa pamornya -- Adam Malik, Adinegoro, BM Diah, Mochtar Lubis, dan Rosihan Anwar, dan kawan-kawan – kita melihat hubungan pers dengan politisi adalah hubungan yang rumit. Serba salah: terlalu dekat, kemudian bahaya mengancam. Terlalu jauh, demokrasi tak bisa dijaga, karena tak terjadi transfer informasi secara benar.

Persis yang dikatakan jurnalis Howard Brenton,"The press and politicians. A delicate relationship. Too close, and danger ensues. Too far apart and democracy itself cannot function without the essential exchange of information."  Ujung-ujungnya rakyat terjebak dalam fantasi demokrasi dan berkutat dalam noise society.

Para politisi, apalagi yang kadung dielu-elukan pers atau siapa saja yang sedang berkuasa secara politik dan ekonomi dan berusaha membujuk pers, bahwa hal itu sangat sulit memberikan apa yang mereka inginkan. Adalah Maureen Dowd, yang mengatakan, membujuk pers adalah latihan yang mirip ‘piknik dengan harimau.’

Anda mungkin menikmati santapan (lebih awal), tapi harimau selalu menyantap terakhir. Kecuali, harimau jinak yang terbiarkan mati di Kebon Binatang Surabaya (KBS).  “Wooing the press is an exercise roughly akin picknicking with a tiger. You might enjoy the meal, but the tiger always eats last,” kata Maureen. Apalagi membujuk insan pers, lalu melukainya.  Dan, insan pers sejati tak akan pernah bisa dibujuk, bahkan tak bisa dilarang menulis, karena jurnalis sejati selalu punya cara menjalankan profesinya secara benar.

Jurnalis bukanlah pengarang yang bebas mengarang atau mengarang bebas. Jurnalis juga bukan notulen dan asesor, sebagaimana mereka bukan interogator atau aligator. Jurnalis adalah penyampai kabar keadilan dan kebenaran yang harus konsisten kepada code of conduct, kategori dan kriterium standar kelayakan informasi yang kudu memverifikasi kelayakan dan kepatutan sumber berita, dan mengonfirmasi informasi yang dia terima.

Artinya, bagi insan pers sejati, tidak berlaku jurnalisme mutilasi dan jurnalisme tabrak lari berselindap di balik kode etik jurnalistik yang bisa dikelit dan dipelintir. Dirgahayu Pers Indonesia |

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 518
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1606
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1391
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 223
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 317
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya