BIN, dalam Kendali Politisi

| dilihat 1963

AKARPADINEWS.COM | DISODORKANNYA nama Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sutiyoso sebagai calon tunggal Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) menuai polemik. Meski berlatarbelakang militer, Sutiyoso dinilai kurang kompeten dalam mengurusi bidang intelijen. Bang Yos, sapaan akrab Sutiyoso yang menjabat Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) juga dikhawatirkan akan menyeret BIN dalam kepentingan politik.

Beragam spekulasi pun bermunculan. Keputusan Presiden Jokowi mengusulkan Sutiyoso diduga tidak terlepas dari balas budi Jokowi. Sutiyoso termasuk pentolan partai yang berdiri di kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung Jokowi di ajang Pemilihan Presiden 2014 lalu. 

Penunjukan Sutiyoso semakin melengkapi anggapan Jokowi mulai menyeberang dari Nawacita yang dijanjikannya. Pada poin kedua Nawacita, disebutkan pemerintah berkomitmen membangun pemerintahan demokratis dan terpercaya sebagai upaya memulihkan kepercayaan publik. Pertanyaannya, bagaimana memulihkan kepercayaan itu ketika Jokowi justru menyodorkan calon Kepala BIN dari kalangan politisi? Apalagi, Sutiyoso disebut-sebut mempunyai sejarah kelam terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.

Sutiyoso disebut-sebut sebagai sosok yang bertanggung jawab atas kematian lima jurnalis di Balibo, Timor Leste. Lima jurnalis itu diduga tewas akibat dihabisi oknum TNI. Operasi intelijen itu terjadi pada 1975 ketika ia bersama 300 personel Kopassus ditugaskan untuk memecah ketegangan di Timor-Timur terkait tindak separatisme.

Sutiyoso juga disebut-sebut terkait kasus penyerangan kantor pusat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang diketuai Megawati Soekarnoputri pada 27 Juli 1996. Sebagai Pangdam Jaya, Sutiyoso dianggap turut bertanggungjawab atas jatuhnya korban jiwa terkait insiden yang dikenal dengan Kudatuli itu. Ia disebut-sebut sebagai pihak yang diutus Presiden Soeharto dalam upaya perebutan kekuasaan partai banteng versi Surjadi. Insiden itu berhasil mengenyahkan kepengurusan Megawati di PDI, yang kemudian menggantinya dengan pengurus boneka yang tunduk pada rezim Soeharto. Hal yang lazim ketika itu.

Aroma politisasi begitu terasa dalam proses penunjukan Sutiyoso. Nama Sutiyoso tiba-tiba meluncur begitu saja, menenggelamkan nama-nama lain yang dianggap khalayak lebih berkompeten menjadi Kepala BIN. Dalam pembicaraan politis di kalangan elite KIH, muncul dua nama beken selain Sutiyoso, yakni As’ad Said Ali dan Tyasno Sudarno yang digadang-gadangkan sebagai calon kuat kepala BIN.

Karir As’ad di dunia intelijen terbilang moncer. Ia berkarier di BIN sejak 1997, dan selama sembilan tahun menjabat Wakil Kepala BIN, sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. As’ad juga memiliki basis politik yang kuat karena saat ini ia menjabat Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Sedangkan Tyasno, pernah duduk sebagai Direktur C Badan Intelijen ABRI/BIA—kemudian beralih nama menjadi Badan Intelijen Strategis/BAIS—semasa berpangkat brigadir jenderal. Karir di dunia intelijennya berlanjut selepas menjabat Pangdam IV Diponegoro. Tyasno duduk sebagai Kepala BIN Strategis BAIS dengan pangkat letnan jenderal.

Keduanya didukung langsung oleh Megawati dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelum nama Sutiyoso terpilih menjadi calon tunggal Kepala BIN. As’ad justru mengaku sebagai calon terkuat yang didukung Mega. Sementara, pesaing utama As’ad hanya Tyasno yang didukung Luhut Panjaitan dan Jokowi. Namun, mengapa Sutiyoso justru muncul sebagai calon tunggal? Diyakini, manuver-manuver politik di internal KIH membuat bursa pencalonan Kepala BIN menjadi bergeser.

Sutiyoso diketahui berkali-kali bertemu dengan bos parpol di haluan KIH dan menemui Jokowi. Selain pertemuan di rumah Sutiyoso, pertemuan juga diadakan di rumah Megawati pada 16 Januari lalu, kemudian berlanjut pada pertemuan di Loji Gandrung, Solo, 14 Februari lalu. Di Kota kelahiran Jokowi itulah, Sutiyoso ditasbihkan menjadi menjadi calon tunggal Kepala BIN menyingkirkan As’ad dan Tyasno. Entah kesepakatan apa yang telah dibuat oleh kedua belah pihak sehingga Bang Yos kini hanya tinggal menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh Komisi I DPR untuk kemudian dilantik sebagai Kepala BIN selama lima tahun mendatang.

Setelah lebih dari dua minggu kabar pencalonan itu, protes dari berbagai kalangan, khususnya dari aktivis HAM semakin nyaring terdengar. Mereka khawatir bila Sutiyoso akan menggunakan cara-cara seperti di era Orde Baru yang menggunakan intelijen untuk kepentingan politik.  Kekhawatiran itu beralasan karena Sutiyoso adalah pimpinan partai politik. Sulit mengamputasi kepentingan politik, meski Sutiyoso mengklaim telah melepaskan jabatannya sebagai Ketum PKPI.

Karenanya, diperlukan pengawasan terhadap proses seleksi via jalur politik yang akan dieksekusi oleh Komisi I DPR pada 29-30 Juni nanti. DPR perlu membentuk tim klarifikasi ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) guna membuktikan keduanya tidak memiliki catatan pelanggaran HAM.

Komisi I DPR juga perlu menyoroti rekam jejak Sutiyoso yang diragukan dalam bidang intelijen. Jangan biarkan pula jika Sutiyoso ngotot menjadi Kepala BIN lantaran terkait kepentingannya menjadi presiden di pemilihan presiden mendatang. Sebelumnya, Sutiyoso kerap mengklaim sebagai calon presiden.

Jalan terjal Bang Yos menuju kekuasaan dimulai saat ia ditunjuk sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Soerjadi Soerdirdja. Kala itu, Sutiyoso masih menjadi Pangdam Jaya berpangkat mayor jenderal pada tahun 1997. Ia melenggang mulus menjadi gubernur tanpa proses pemilihan yang demokratis sesuai tradisi politik di era Orde Baru saat itu.

Setelah lengser sebagai orang nomor satu di Jakarta, ambisi politiknya makin membara. Dia paling awal mendeklarasikan diri sebagai kandidat presiden di Pemilihan Presiden tahun 2009. Deklarasi Sutiyoso itu digelar sebelum tampuk kekuasaan gubernur Jakarta beralih ke Fauzi Bowo. Saat itu, ia tidak mempunyai basis politik yang kuat karena minimnya sokongan dari partai politik yang berkuasa. Bang Yos, ketika itu sempat tergabung dalam Partai Indonesia Sejahtera (PIS) pada 2008. Partai itu memang mencalonkan dirinya menjadi capres. Namun, partai itu tidak bertahan lama karena terkendala dana operasional. Bang Yos akhirnya tenggelam pada Pemilu 2009.  

Dia kemudian mengubah strategi dengan merapat ke PKPI besutan Jenderal Purnawirawan Edi Sudrajat. Jalannya mulus di partai itu hingga pada 2013 Bang Yos terpilih menjadi ketua partai menggantikan putri mantan Presiden Mohamad Hatta, Meutia Hatta. Namun, di bawah kepemimpinannya, PKPI tidak mampu menembus ambang batas parlemen. Partai ini hanya meraup suara nasional di bawah satu persen. Nasib PKPI kala itu membuat Sutiyoso harus kembali mengubur impiannya menjadi capres. Namun, asa itu masih terjaga ketika Jokowi menunjuknya sebagai calon tunggal Kepala BIN. Jika ambisi itu masih kuat, bisa jadi BIN sulit terbebas dari intervensi politik.

Selain Sutiyoso, keputusan Jokowi menetapkan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) memancing polemik. Penunjukan Gatot Nurmantyo berpotensi memicu sentimen negatif di internal TNI karena mendobrak tradisi TNI selama ini. Sebelumnya, pergantian Panglima TNI dilakukan secara bergiliran dari masing-masing perwira tertinggi di setiap angkatan. Hal ini juga diatur di Pasal 13 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Isinya: pemilihan panglima membuka ruang untuk mengisi jabatan Panglima TNI secara bergiliran.

Dengan demikian, panglima TNI berikut semestinya diisi perwira tinggi Angkatan Udara. Karena, Moeldoko Panglima TNI saat ini merupakan perwira yang berasal dari Angkatan Darat. Sedangkan Panglima TNI sebelumnya, Laksamana Agus Suhartono, berasal dari Angkatan Laut.

Terkait kekhawatiran itu, Presiden menyatakan, penunjukan kedua nama itu telah mempertimbangkan segala aspek. Jokowi yakin mereka pantas menduduki jabatan krusial tersebut. Presiden juga merasa pilihannya tidak dapat diganggu gugat karena terkait hak prerogratifnya sebagai presiden. Namun, kekhawatiran publik juga sangat beralasan. Dua sosok yang dipilih Jokowi itu diharapkan menjadi garda terdepan dalam menjaga pertahanan keamanan Indonesia.

Adhimas Faisal

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 236
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 333
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 525
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1619
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1398
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya