Tsunami Dahsyat Menggempur Aceh 1394 dan 2004

| dilihat 925

SETIAP 26 Desember, sejak 2005 kita kudu menundukkan kepala, merenung, mempelajari hikmah, berlajar dan berfikir ulang, bagaimana merespon masa depan.

Peristiwa dahsyat gempa yang disusul tsunami Aceh, 26 Desember 2004 menggetarkan nurani kemanusiaan dunia. Gelombang laut dengan ketinggian di atas 30 meter, seperti dicatat Megan Gannon (National Geographic, 29/5/2019 - diperbarui 5/11/20), menghempas garis pantai Aceh, menewaskan 160.000 orang, dan ratusan ribu orang lainnya bergerak pontang panting meninggalkan bencana.

Dalam artikelnya bertajuk, "Indonésie : un tsunami oublié réécrit l’histoire," (Indonesia : tsunami yang lupa menulis ulang sejarah), Gannon menulis, tsunami kemudian melanda seluruh garis pantai di bibir Samudera Hindia, bahkan sampai Somalia.

Gannon juga menulis, tsunami serupa 6 abad sebelumnya, juga telah menyapu bersih desa-desa pesisir Aceh dari peta bumi, yang memberi kontribusi besar pada kebangkitan Kesultanan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat.

Gannon tak keliru menuliskan hal itu, karena sejarah perjalanan bangsa-bangsa yang meluruhkan eksistensinya, lalu bergabung dengan sukrela ke dalam negara Republik Indonesia (17/08/45). Padahal, Aceh salah satu bangsa yang tak pernah bisa ditaklukan oleh penjajah Belanda.

Di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh (dulu Kutaraja) -- salah satu masjid yang selamat saat Tsunami --, Mayor Jendral Köhler, tewas di ujung rencong pejuang di bawah pohon Kelumpang, pada Perang Aceh I (14/4/1873, ketika ingin merebut masjid itu dan menghabisi para ulama di dalamnya.

Gannon mengemukakan informasi terkini, bersumber dari arkeolog Patrick Daly (sejak 2006) yang melakukan penelitian bekerjasama dengan pemerintah Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Sejumlah bukti baru didapatinya dari hasil penelitian yang terpumpun dalam Prosiding National Academy of Sciences. kemarin, para peneliti dapat menarik kesimpulan ini.

Daly bekerja untuk untuk melestarikan situs budaya dan agama yang hancur akibat tsunami 2004, ketika dia melihat kuburan Muslim di sepanjang garis pantai dihiasi dengan ukiran artistik, terbalik dan dimakan oleh erosi.

Daly sedih melihat temuan benda-benda yang mempunyai nilai 'sejarah' itu roboh dan berantakan. Tapi, justru realitas faktual itu yang membuat Daly, sebagai ilmuwan terusik untuk bertanya, seberapa sering tsunami terjadi di masa lalu dan seberapa besar dampaknya terhadap masyarakat Aceh.

Bencana tsunami yang melumatkan Banda Aceh, Meulaboh dan beberapa situs lainnya, mengusik pertanyaan ulang sejarah peradaban masa lalu. Tentang Banda Aceh (dulu Kutaraja), misalnya, sebagai pelabuhan persinggahan pertama (atau terakhir) untuk kapal-kapal yang melintasi Teluk Benggala.

Terbayang juga, bagaimana tsunami menjadi daya luar biasa yang menggempur Kesultanan Aceh (berdiri sejak abad ke-16) sebagai salah satu dari sedikit kekuatan tangguh Asia melawan kolonialisme selama beberapa abad.

Akibatnya, para arkeolog, hanya memiliki sedikit atau tidak ada bukti material tentang permukiman apa pun di daerah tersebut sebelum abad ke-17.

Menurut Gannon, Daly, yang bekerja di Earth Observatory of Singapore, dan rekan-rekannya di Universitas Syiah Kuala -Aceh berangkat melakukan survey garis pantai secara sistematis dengan mengunjungi 40 desa pesisir, untuk mendapatkan informasi dari para tetua yang tersisa. Surveyor mendatangi para saksi sejarah, itu guna menyusun daftar peta jejak-jejak keberadaan manusia bersejarah, seperti makam, pecahan keramik, atau bahkan fondasi masjid tua.

Menurut Daly, seperti dikutip Gannon, data dan bukti pertama yang berhasil dikumpulkannya, sudah menceritakan banyak hal.

"Menakjubkan. Anda dapat melihat semua konkresi material ini di sepanjang pantai. Kami dengan cepat dapat dengan jelas membedakan sepuluh tempat," ungkap Daly kepada Gannon.

Berdasarkan usia pecahan keramik yang ditemukan di sejumlah pemukiman, para peneliti menemukan sesuatu yang lebih mencengangkan.

Semua desa pesisir, tampaknya telah didirikan sekitar abad ke-11 dan ke-12, tetapi 9 permukiman terendah di sepanjang hamparan pantai sepanjang 40 km, diyakini telah ditinggalkan sekitar tahun 1400.

Bukti geologis yang baru ditemukan menunjukkan bahwa daerah itu dilanda tsunami pada tahun 1394, tetapi "kami tidak mengetahui besar, ukuran, kekuatan, dan daya penghancurnya," jelas Daly.

Bukti arkeologi baru menunjukkan bahwa tsunami, yang pernah terjadi, kemungkinan besar serupa dengan tahun 2004, menghancurkan semua desa pesisir dataran rendah di wilayah tersebut.

Satu-satunya pemukiman bangsa Aceh yang tampaknya selamat dari tsunami 1934 terletak di ketinggian, di luar jangkauan gelombang dahsyat.

Daly dan rekan-rekannya mengidentifikasi permukiman ini sebagai Lamri, pusat perdagangan yang dikenal dari catatan Jalur Sutra Maritim Abad Pertengahan.

Di desa ini, peneliti menemukan keramik berkualitas tinggi dari berbagai penjuru China dan bahkan Suriah, yang semuanya tidak mereka temukan di desa-desa dekat permukaan laut.

Namun, di awal abad ke 16, penurunan Lamri datang dengan cepat. Beberapa dekade sebelumnya, kota-kota yang hancur akibat tsunami mulai dibangun kembali.

Jalur perdagangan sekali lagi disebut di desa-desa dataran rendah ini, terbukti dengan sedikit peningkatan kualitas keramik dan batu nisan yang diukir dengan nama-nama elit dari bagian lain Selat Malaka, yang memisahkan Sumatera dari Semenanjung Malaya.

Daly dan rekan-rekannya tidak percaya, bahwa daerah di dekat permukaan laut dihuni kembali oleh para penyintas yang kembali ke rumah mereka setelah bencana tersebut.

Mereka percaya, kehancuran yang disebabkan oleh tsunami adalah peluang membangun tempat permukiman bagi para pedagang Muslim yang terpaksa meninggalkan wilayah mereka, karena pengaruh orang Eropa yang hidup di sana.

Dalam catatan sejarah, Portugis memang telah menaklukkan negara tetangga Malaka pada tahun 1511. Karena itu, para pendatang baru ini menjadi dasar dari apa yang kemudian menjadi Kesultanan Aceh, sebuah kerajaan Muslim yang kuat.

Gannon mengutip pendapat Beverly Goodman, ahli geoarkeologi di Universitas Haifa di Israel, yang juga seorang ahli tsunami masa lalu, tetapi tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

"Ada kemungkinan bahwa tsunami dapat diikuti oleh periode kelahiran kembali dan pembangunan total," kata Goodman, seperti dikutip Gannon.

Ahli geologi dan arkeolog mengandalkan rekonstruksi tsunami masa lalu untuk lebih memahami risiko yang mereka hadapi saat ini.

“Hanya berdasarkan peristiwa yang kami saksikan, kami pada akhirnya masih secara dramatis meremehkan frekuensi dan dampak tsunami di seluruh dunia,” jelas Goodman.

Ia mencontohkan, karena peristiwa tsunami tahun 2004, kami menyadari bahwa Aceh sangat rentan. Tetapi metode yang mirip dengan studi baru ini dapat membantu menilai kerentanan tempat-tempat yang belum lama ini terpengaruh.

“Jenis penelitian ini sangat penting untuk menyatukan arsip ini dan lebih memahami apa saja faktor risikonya,” lanjut Goodman. “Penggunaan inti sedimen dan catatan arkeologi penting untuk mengisi celah ini. "

Mungkin tantangan terbesar kita adalah mencari tahu bagaimana menanggapi peristiwa yang jarang terjadi dengan tepat.

"Jika Anda mengumumkan bahwa suatu hari di abad-abad mendatang mungkin akan ada tsunami lagi, tanpa kami ketahui kapan, dan bahwa itu akan menghancurkan seluruh wilayah, beberapa akan siap untuk hidup dengan risiko itu," Daly menyimpulkan | NG / Haedar

Editor : Sem Haesy | Sumber : National Geographic
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 85
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 240
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 271
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 432
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 431
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 401
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya