Berkunjung ke Bandar Seri Begawan - Brunei Darussalam

Hidup Sejahtera di Permukiman Terapung Kampong Ayer

| dilihat 3619

Catatan Bang Sem

SEKALI sekala kunjungilah Bandar Seri Begawan, ibukota negara Brunei Darussalam. Lantas, tengoklah Kampong Ayer, yang diyakini sebagai kampung air mandiri terbesar (dan mengekspresikan kesejahteraan warganya) di dunia.

Kampong Ayer adalah jenis rumah apung di Sungai Brunei yang dekat dengan muara, terdiri dari beberapa kampung, yang masing-masingnya terdiri dari serta puluhan rumah yang tersebar di  sungai sampai muara Brunei, sampai ke belakang Masjid Raya Sultan Omar Ali Saifuddien berkubah emas yang indah itu.

Tak kurang dari 40 ribu orang penduduk bermukim di kampung dijuluki Venesia dari Timur oleh Antonio Pigafetta seorang penulis (yang kemudian menjadi pemimpin) armada ekspedisi Magelhaenz. Pigafetta singgah di sini tahun 1521, sebelum armada pimpinan Magelhaenz atau Magelen, itu dihadang rakyat Sulu di perairan Filipina, kemudian singgah sesaat di Ternate, dan akhirnya berhenti beberapa lama di Pulau Alor – Nusa Tenggara Timur.

Pigafetta menggambarkan Kampong Ayer sebagai kampung dengan rumah panggung di atas sungai dengan ekspresi budaya air para nelayan yang gigih sekaligus ramah. Merujuk pada catatan Pigafetta, itu banyak orang meyakini, perkampungan terapung di atas sungai dengan konstruksi kayu tahan air, sudah ada sejak sepuluh abad yang lampau, alias seribu tahun lalu.

Seabad lampau, diyakini juga, selain Sultan dan para keluarga dan kerabatnya, separuh penduduk Brunei Darussalam, tinggal di sini.

Kini Kampong Ayer menjadi salah satu destinasi wisata utama di Brunei Darussalam yang ditetapkan sebagai warisan budaya. Di kampung ini nampak kehidupan masyarakat berbasis budaya air (sungai dan laut) hidup, tumbuh dan berkembang  dengan kesejahteraan hidup yang memadai. Meski masih banyak rumah panggung yang sudah nampak tua dan belum mengalami renovasi.

Dulu seluruh rumah menggunakan konstruksi kayu. Kini  sebagian rumah di Kampong Ayer sudah menggunakan konstruksi tiang pancang beton dan mengikuti perkembangan era global. Dengan konstruksi baru yang lebih modern, rumah-rumah di Kampong Ayer ini bisa bertahan puluhan tahun.

Budaya air yang melatari kehidupan mereka, memungkinkan pemerintah melakukan pembangunan kota Bandar Seri Begawan dengan tata ruang yang lebih terkendali. Terutama, karena secara kultural, mereka tidak memerlukan lahan.

Di sisi lain, masyarakat Kampong Ayer mempunyai tanggungjawab personal dan sosial mengelola permukiman mereka, tanpa harus merusak sungai. Karena Kampong Ayer dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan standar permukiman kota yang memperhatikan aspek sanitasi yang baik. Terutama dalam mengelola sampah rumah tangga dengan sistem pemusnahan berbasis teknologi sanitasi.

Kampong Ayer juga dilengkapi dengan fasilitas pos bomba (pemadam kebakaran), stasiun pengisian bahan bakar dan gas, pasar, kantor pos, dan pos pelayanan listrik. 

“Hanya pekuburan masih di darat,” jelas Mat Khairuddin, warga Kampong Ayer.

Menurut Mat Khairuddin, mereka tinggal di perkampungan itu secara turun temurun dan engan pindah ke darat, meskipun tak sedikit sanak familinya yang tinggal di permukiman darat, yang dibangun pemerintah.

“Supaya dekat dengan tempat kerja dan niaga,”jelasnya. “Tetapi sekali sebulan mereka datang.”

Ekspresi kemakmuran penduduk yang tinggal di Kampong Ayer, tertampak dari fasilitas modern abad 21 yang melengkapi rumah mereka menjadi smart house. Selain itu kemakmuran mereka juga tampak pada frekuensi penduduk yang menjalankan ibadah umrah.

Kemakmuran penduduk juga terlihat pada kepemilikan harta benda lainnya, seperti mobil tahun mutakhir, termasuk mobil-mobil mewah, yang di parkir di tempat khas, di zona dermaga Sultan Hassanal Bolkiah, di seberang.

Ragam profesi penduduk juga tak lagi hanya nelayan. Ada yang menjadi pegawai negeri, pekerja di perusahaan minyak bumi dan gas milik pemerintah Brunei Darussalam dan swasta asing, perhotelan, juga sebagai pengusaha, dokter, enginer, entrepreneur, guru dan dosen, bahkan artis musik, wartawan dan aneka profesi lainnya.

Kampung ini dilengkapi masjid yang indah, sekolah, pasar, kantor polisi, dan gedung serbaguna tempat penduduk bersosialisasi. Termasuk fasilitas sosial untuk pengembangan kreatif industri rumah tangga, mulai dari olahan hasil laut dan sungai, juga kriya. Juga fasilitas kesehatan rakyat.

Dari dermaga, Kampong Ayer tampak menyolok, dengan rumah beraneka warna, khas warna cerah masyarakat Melayu. Untuk mencapai perkampungan ini, wisatawan bisa menggunakan jeti atau taksi air dengan tarif B$ 1 atau sekira Rp9.300,-  perorang sekali jalan.

Selain menggunakan taksi air, di Kampong Ayer di belakang Masjid Raya Sultan Omar Ali Saifuddien juga tersedia fasilitas jembatan jalan orang, yang menghubungkan permukiman di atas sungai ini dengan daratan.

Akan halnya rumah ke rumah dihubungkan oleh titian setapak terdiri dari rangkaian papan yang disangga tiang pancang beton yang kokoh. Pemerintah Brunei memandang konsep rumah apung atau permukiman di atas sungai, muara, dan pantai sebagai alternatif tata kelola permukiman penduduk yang terus berkembang. Bila hendak dihitung keseluruhan, panjang titian di kampung-kampung permukiman Kampong Ayer bisa mencapai panjang 36 kilometer.

Pemerintah Brunei memberikan layanan kepada rakyatnya yang tinggal di Kampong Ayer atas dasar pertimbangan kenyamanan dan keamanan yang sama dan adil dengan rakyat yang tinggal di darat.

Kalinga Seneviratne, jurnalis Asia Times tertarik dengan Kampong Ayer ini. Dia menulis, Kampong Ayer sangat menarik dan unik denganh sejarah panjang yang melatarinya. Kampong Ayer adalah bagian dari sejarah Kesultanan Brunei Darussalam dan keberadaannya menjadi penting sebagai salah satu ikon dari Bandar Seri Begawan, ibukota Brunei.

Secara historis, Kampong Ayer merupakan simbol Brunei sebagai negara maritim. Kampong Ayer, seperti ungkap Qurrata A’yuni salah seorang penulis Brunei Darussalam, menjadi pertanda hubungan Kesultana brunei dengan Sulu, Sriwijaya, Temasek, Johor dan Melaka, 1500 tahun yang silam. Kampong Ayer, boleh dikata merupakan salah satu sentra niaga masa itu, yang berada di Kalimantan, berbagi wilayah dengan Serawak dan Sabah. Dua wilayah itu, kini menjadi bagian dari negara Malaysia.

Permukiman Kampong Ayer meliputi 42  zona (semacam Kecamatan). Yaitu: mukim sungai Suku Kedayan, termasuk Bukit Salat, Sumbiling Lama, Sungai Ujong Tanjong, Kuala Peminyak, Tamoi (termasuk Tamoi Ujong, Tamoi Tengah), Pengiran Kerma Indera Lama, Pengiran Tajuddin Hitam, Ujong Bukit / Limbongan, Pengiran Bendahara Lama, Mukim Burong Pingai Ayer, Lurong Dalam, Pandai Besi, Sungai Pandan, dan Pengiran Setia Negara, Pekan Lama, Mukim Peramu, Pekilong Muara, Bakut Pengiran Siraja Muda, Bakut Berumput, Lurong Sikuna, Mukim Saba (termasuk Saba Tengah, Saba Ujong, Saba Laut, Saba Darat), Mukim Sungai Kebun termasuk Setia, Sungai Siamas / Ujong Klinik,  dan Bolkiah. Beberapa zona mempunya nama sama dan ditandai dengan A dan B, seperti mukim Bolkiah.

Banyak alasan penduduk tak mau pindah ke darat, salah satunya adalah kenyamanan, karena mendapat perlakuan dan pelayanan yang adil dan setara dengan  penduduk di darat dari pemerintah Kerajaan Brunei Darussalam.

Kampong Ayer terus dilestarikan sebagai warisan budaya dan heritage, dan tentu harus terus dikontrol oleh pemerintah distrik, karena kini sudah mulai banyak bermukim migran dari Banglades, Thailand, Filipina, dan India.

Pemerintah Kerajaan Brunei Darussalam memberlakukan undang-undang kriminal (termasuk kejahatan narkoba dan human trafficking) dengan hukuman berat sesuai dengan kanun syariah yang diberlakukan sejak 2013.

“Jangan coba-coba melanggar kanun syariah, sangat berat hukumannya,” ujar A’yuni.

Sejak kanun diberlakukan, terjadi penurunan jenayah, tidak seperti masa sebelumnya, ketika di wilayah darat terjadi perampokan di sudut jalan. Bagi masyarakat permukiman Kampong Ayer, yang kadang membuat hati berdebar adalah kondisi perubahan musim, yang kini nyaris tak bisa diprediksi. Kadang ketika di laut pasang naik denga gelombang tinggi, air permukaan sungai di bawah mereka tinggal juga terpengaruh.

Untuk mereka yang tinggal di rumah bertiang kayu, agak was-was juga. Karenanya, renovasi permukiman Kampong Ayer kini dilakukan dengan menggunakan tiang pancang beton, sehingga konstruksi bangunan rumah lebih kokoh, lebih aman, dan lebih nyaman. Termasuk dengan standar konstruksi bangunan rumah. Dulu, sempat pemerintah menawarkan kepada penduduk permukiman Kampong Ayer untuk tinggal di desa, dengan bantuan penuh dari pemerintah. Tapi, kebanyakan mereka menolak karena sudah terbiasa dengan budayanya.

Lalu pemerintah menetapkan perkampungan itu sebagai warisan (budaya) negara, ditandai dengan pembangunan Mercu Dirgahayu, monumen Kampong Ayer sekaligus ebagai peringatan ulang tahun Yang Dipertuan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah yang ke 60.

Monumen itu sangat simbolis. Bersisi lima yang melambangkan rukun Islam, jaring ikan yang menandai asal budaya mereka yang bermula sebagai nelayan. Monumen ini juga menegaskan permukiman Kampong Ayer sebagai bagian dari konsep waterfront city bagi Bandar Seri Begawan sebagai ibukota Brunei Darussalam. | 

Editor : sem haesy
 
Energi & Tambang
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya