Sisi Lain Mochtar Lubis

| dilihat 2762

AKARPADINEWS.COM | ADA sisi lain yang belum banyak diketahui khalayak dari sosok Mochtar Lubis. Tokoh pers Indonesia dan sastrawan yang dikenal memegang teguh prinsip dan idealis itu, ternyata pandai melukis dan menyukai bunga anggrek. Mochtar Lubis juga sosok yang humoris, bersahabat, dan lembut hatinya.

20 Mei 2016 lalu, dalam pembukaan pameran berjuluk Mochtar Lubis Bapak Jurnalis Indonesia, sebanyak 20 lukisannya dipajang apik di Cemara 6 Galeri Museum, Jakarta. Bunga dan pemandangan alam menjadi objek utama dalam lukisannya.

Sebuah lukisan berjuluk Bunga Matahari (1983) menjadi lukisan yang diletakan paling depan sebelum memasuki galeri utama. Lukisan tersebut dipajang bersama sebuah foto kecil sang pelukis yang tersenyum manis, beserta buku-buku jurnalisme dan sastra yang ditulis semasa hidupnya.

Menyimak karya-karya Mochtar Lubis, kebanyakan lukisannya menggunakan sapuan cat air dan aklirik yang terwujud pada berbagai lukisan bunga yang indah di antaranya: Bunga Teratai (1990), Bunga Pisang-Pisang (1988), hingga Bunga Kebebasan (1988).    

Mochtar Lubis juga menjadikan keindahan alam Indonesia sebagai objek karya seninya dari keindahan di Sumatera hingga Indonesia Timur. Itu terlihat dari lukisan pemandangan Danau Toba (1991), Sawah Di Sumatera (1990), Senja di Bukit (1990), Danau Kelimutu #1 (1997), Danau Kelimutu #2 (1997), dan berbagai lukisan pemandangan alam lainnya. 

Mengamati setiap lukisannya, para pengunjung yang menghadiri pameran ini dapat menemukan sisi lain seorang Mochtar Lubis. Budayawan dan penulis Toeti Heraty, rekan kerja Mochtar Lubis selama di Yayasan Obor dan Akademi Jakarta mengatakan, sosok Bung Mochtar, begitu Mochtar Lubis akrab disapa, adalah manusia yang begitu hangat dengan hati yang lembut.

Hal itu terlihat dari kecintaannya terhadap bunga, alam, selain sang istri, Halimah. “Saya yakin banyak yang merasakan kenangan. Bung Mochtar begitu tampan, tegar, lembut hatinya,” tutur Toeti yang berteman baik, tapi juga terkadang berseberangan pendapat dengan Mochtar Lubis.

Pameran itu, selain menjadi ajang untuk mengenang Mochtar Lubis, juga menjadi reuni keluarga dan sahabat. Selain Toeti, hadir pula rohaniawan Frans Magnis Susesno dan para sahabat Mochtar Lubis dari kalangan pers, di antaranya Atmakusumah Astraatmadja, mantan Ketua Dewan Pers, yang pernah berkerja bersama Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya.

Dalam memori Atmakusumah, Mochtar Lubis, pendiri Harian Indonesia Raya adalah sosok yang serius dan humoris. Atmakusumah juga mengenang Mochtar Lubis sebagai perantau yang tidak melupakah tanah kelahirannya.

“Ibu saya melahirkan saya di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922,” kata Atmakusumah menirukan ucapan Mochtar Lubis. Kalimat itu sering diucapkan Mochtar Lubis, ketika diwawancarai oleh media sebagai penanda identitas Mochtar Lubis yang juga berdarah Batak, Sumatera Utara.

Mochtar Lubis wafat di Jakarta pada 2 Juli 2004, di usia 82 tahun setelah menderita kanker prostat dan alzheimer. Lelaki bertubuh jangkung, dengan tinggi mencapai 1,82 meter itu dikenang selain sebagai tokoh pers nasional, juga sastrawan, pelukis, pemerhati lingkungan hidup, pencinta bunga anggrek, dan keramik (tembikar).

Semasa hidupnya, Bung Mochtar dikenal sebagai sosok yang memiliki prinsip, sikap dan keberanian dalam menegakan kebenaran. Idealismenya itu yang kadang membuat marah penguasa. Tulisan-tulisannya yang kelewat kritis terhadap kekuasaan, membuat penguasa bertindak. Bung Mochtar pun sering diganjar penjara.

Davit T Hill, penulis biografi Mochtar Lubis asal Australia menyebutnya sebagai “aktor politik” serupa sebuah prisma dengan kehidupan sosial, intelektual, artistik, jurnalistik, dan politik. Mochtar Lubis pun disebut-sebut sebagai wartawan jihad (crusading journalist).

Atmakusumah mengisahkan, Harian Indonesia Raya yang didirkan Mochtar Lubis pada 29 Desember 1949 pernah dibredel Rezim Orde Lama sebanyak enam kali. Terakhir, pemberendelan dilakukan pada September 1958. 10 tahun kemudian, Indonesia Raya kembali mendapatkan izin terbit.

Namun, lagi-lagi, rezim penguasa kebakaran jenggot lantaran artikel-artikel kritis yang ditulis Mochtar Lubis. 22 Januari 1974, rezim Orde Baru membrendel harian itu. Salah satu artikel yang membuat berang penguasa Orde Baru adalah pemberitaan tentang skandal korupsi Lie Hok Tay, investigasi mengenai korupsi di Pertamina yang kala itu dipimpin Ibnu Sutowo, dan peristiwa 1965 di Purwodadi.

Mochtar Lubis, sang penulis novel bertajuk Harimau! Harimau! (1975), selama masa pemerintahan Presiden Soekarno, sering ditahan, bahkan sampai lebih dari sembilan tahun.

Sikap dan watak keras Mochtar Lubis juga diakui oleh puteranya Iwan Lubis. Menurutnya, sang bapak sangat keras dalam  bersikap. Ia tegas, keras, dan disiplin. Ketika Mochtar Lubis menjadi tahanan, Iwan turut serta memberikan saran agar sikap bapaknya melunak. “Saya sempat mengatakan jangan telalu keras mengkritisi, tapi dia bergeming," ungkap Iwan. 

Novelnya, Senja di Jakarta dan Kampddagboek tidak dapat diterbitkan di tanah air selama bertahun-tahun karena dilarang pemerintah. Pada masa Orde Baru, Februari-April 1975, Mochtar Lubis kembali ditahan. Dia ditempatkan bersama para tahanan politik pendukung Presiden Soekarno di Nirbaya, dekat Taman Mini Indonesia Indah. Selama di penjara, Mochtar Lubis menulis catatan harian yang kemudian dibukukan menjadi Catatan Harian di Nirbaya.

Sosok jurnalis, sastrawan, dan budayawan ini juga seringkali dikaitkan dengan sosok Pramoedya Ananta Toer. Ketika meraih penghargaan Magsasay dari Pemerintah Filipina, Mochtar Lubis tak hanya sekedar menggertak untuk mengembalikan penghargaannya ketika berpolemik dengan Pram. Di tahun 1958, ia mengembalikan penghargaan yang disimpannya sekitar 37 tahun dengan senyum yang ramah.

Humoris dan Bersahabat

Di balik wataknya yang keras, Mochtar Lubis ternyata memiliki hati yang lembut yang diwujudkan dengan kecintaannya terhadap anak-anak. Mochtar Lubis pun mengarang cerita anak di antaranya Harta Karun (1964), Judar Bersaudara (1971), Penyamun dalam Rimba (1972), dan Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980).

Menurut Atmakusumah, Mochtar Lubis sangat humoris. Sifatnya humoris itu dikenang saat Mochtar Lubis berkawan sekaligus berseteru dengan Rosihan Anwar, pemimpin redaksi Harian Pedoman dan Burhanuddin Muhammad Diah yang akrab disapa BM Diah, pemimpin redaksi Harian Merdeka.

Dikisahkan Atmakusumah, sebagai kedua tokoh pers, BM Diah dan Mochtar Lubis adalah sahabat yang senang bergurau. Dalam sebuah diskusi tentang pers dan hak asasi manusia di Student Centre Universitas Indonesia (UI), Mochtar Lubis awalnya hanya tersenyum ketika BM Diah menyindir dengan menyebutnya berada di luar lingkungan pers Indonesia.

Namun, ketika mendapatkan kesempatan berbicara, Mochtar Lubis membalas sindiran tersebut. Menurut Atmakusumah, Bung Mochtar menjelaskan, “Saya adalah ketua Press Foundation of Asia dan redaktur World Paper yang terbit di Boston, Amerika Serikat. Saya juga sibuk untuk UNESCO. Di Indonesia, mungkin saya tidak lagi diakui sebagai orang pers. Tetapi, saya masih diakui sebagai orang pers di dunia.”  

Ignatius Haryanto, salah satu pendiri penghargaan jurnalistik Mochtar Lubis Award mengungkapkan kesannya ketika ia menjadi mahasiswa angkatan pertama di jurusan Ilmu Komunikasi UI dan mengundang Mochtar Lubis menjadi pembicara di sebuah seminar pers. “Mochtar Lubis selalu hangat, selalu tersenyum dan ketika disapa. Dia akan selalu menyapa balik siapa pun, termasuk kami yang masih mahasiswa,” tutur Ignatius.

Ketika Ignatius memutuskan menulis skripsi tentang harian Indonesia Raya, ia menemukan sisi Mochtar Lubis yang tidak kalah humoris, namun mencengangkan. Ia berkisah, tentang dua edisi Harian Indonesia Raya yang memberi kejutan April Mop.

Salah satunya headline pada 31 Maret 1969 yang berjudul Sari Dewi Kembali Ke Indonesia  dengan sub judul: Isteri Sukarno ke-3 Sari Dewi Kembali ke Indonesia. Tobat Atas Dosa2-nja–Akan Kembalikan Semua Harta Tjurian Untuk Dana Pendidikan.

Artikel itu tentu sangat menghebohkan. Namun, keesokannya, tanggal 1 April 1969, Indonesia Raya menulis berita kecil satu kolom dengan judul Suatu April Mop berisi berita Sari Dewi kembali ke Indonesia yang dimuat di halaman depan.  Artikel itu dianggap lelucon 1 April dan tidak dianggap serius.

Menurut Ignatius, bisa dibayangkan efek dari keisengan Indonesia Raya sebagai media yang sangat keras. Ternyata, surat kabar terbesar di Indonesia itu diolah dengan selera humor yang kritis dengan menurunkan berita yang hanya merespon April Mop. “Anda bisa membayangkan sebuah koran yang menjatuhkan Soekarno dan Soeharto, tapi sangat humoris,” tutur Ignatius. Namun, peristiwa April Mop ini tidak pernah lagi dilakukan oleh koran lain hingga saat ini.

Lewat tulisan, lukisan, dan kisah yang diceritakan orang-orang terdekatnya, ternyata ada sisi lain dari seorang Mochtar Lubis. Di balik sikap kritis dan watak kerasnya, Mochtar Lubis ternyata sangat humoris, bersahabat, dan lembut hatinya. Dan, lewat karya dan idealismenya, Mochtar Lubis akan selalu dikenang. Seperti yang dikatakan Atmakusumah, “Harimau itu masih tetap ada di hati kita.” 

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 243
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 416
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 263
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 525
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1618
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1398
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya