Balangsak

| dilihat 7579

Merusak alam adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Apapun alasannya, merusak alam tak bisa dibenarkan.

Beranjak dari pandangan ini, saya memandang, para pembakar hutan, adalah para hantu yang senang melakukan aksi extra ordinary crime. Kejahatan luar biasa. Karena yang mereka lakukan adalah penghancurkan habitus kehidupan, baik alam maupun sosial. Melantakkan flora dan fauna, dan menebar derita bagi umat manusia.

Karenanya, Presiden Jokowi tak cukup hanya sekadar berretorika melakukan tindakan tegas terhadap para penghancur lingkungan, itu. Berikan hukuman sangat berat kepada siapa saja yang melakukan tindakan tidak bertanggung jawab, merusak alam. Apalagi, tindakan membakar hutan seluas 1.7 juta hektar itu, otomatis menafikan aksi menanam pohon yang dilakukan selama ini.

Selebihnya, aksi kejahatan itu, dari sudut pandang green economy, sebagai ideologi ekonomi baru dunia, secara ideologis merupakan perlawanan atas prinsip sustainability development. Green economy adalah paradigma pembangunan dunia, budaya membangun dan bukan budaya merusak. 

Kearifan Sunda, yang berkembang di tatar Sunda, sejak abad XIV telah mengingatkan kita untuk tidak merusak alam.

Kai Raga, begawan tatar Sunda dari kaki gunung Çrimanganti, pada masa itu sudah mengingatkan dialektika perusakan alam dengan malapetaka. Jauh sebelum Jaard Diamond mengungkap dampak deforestasi yang menyebabkan terjadinya dehumanitas, Kai Raga sudah mengingatkan: Gunung-gunung dibarubuh (bad mining), tatangkalan dituaran (deforestasi), yang akan menyebabkan cai caah babanjiran (banjir bandang), buwana marudah motah (bumi memuntahkan lumpur dan lahar).

BUKIT-BUKIT YANG DIPANGKAS DAN DITAMBANG SESUKA HATI

Dalam kearifan Sunda, banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh kerusakan alam akibat budaya merusak. Yaitu: kawung mabur carulukna (degenerasi akibat lingkungan buruk), gula leungiteun ganduan ( kinerja tanpa parameter yang pasti),  samak tingaleun pandanna (manipulasi dan kepalsuan),  ciherang karih kiruhna (kejernihan menjelma keruh), ciamis karih pahitna (segala hal yang baik dan manis tinggal buruk dan pahitnya).  Akibatnya, bangsa – negara – masyarakat akan balangsak (miskin, sengsara, dan hina dina).

Tuhan menciptakan alam semesta, sebagai alat kelengkapan hidup bagi manusia, dengan sistem tata hubungan yang sangat harmonis satu dengan lainnya, dengan tugas mulia sebagai pemelihara alam. Bahkan Rasulullah Muhammad SAW diutus mengingatkan manusia memainkan peran sebagai rahmat atas alam.

Kita ingatkan kepada siapa saja, khasnya para ulul albab, pemikir, cendekiawan, ilmuwan, sekaligus Amir (pemimpin) yang bertanggung jawab terhadap masa depan dan sustainabilitas ikhtiar meningkatkan kualitas manusia, untuk tidak tinggal diam terhadap kejahatan atas lingkungan alam dan sosial.  Paling tidak, untuk mengingatkan manusia, agar memperlakukan alam secara berakhlak dan beradab.

Manusia yang beradab, memahami hakekat tanggung jawabnya memelihara dan me­nge­lola potensi sumberdaya alam dengan baik. Dalam filsafat Karl Vogt, Ludwig Feur­boch, Haeckel, dan Buchner, manusia mulia selalu mengelola dan memperlakukan alam dengan baik.

Mudah-mudahan kita termasuk ke dalam kaum yang berakhlak memperlakukan lingkungan alam, sehingga anak cucu kita tidak balangsak. Karenanya, mari kita ikuti, cermati, dan kontrol bagaimana kelak pengadilan menghukum para penjahat lingkungan itu.  | Bang Sem

 

Editor : sem haesy
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 936
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1168
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1427
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1575
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1177
Rumput Tetangga
Selanjutnya