Refleksi

Angin Petang Mahakam

| dilihat 2301

SAARIFFA menikmati angin petang yang berembus menggeraikan rambut panjangnya. Angin dari arah sungai Mahakam seolah hendak membelai wajah eloknya. Saariffa menikmatinya. Jemarinya memegang kokoh pagar beranda resto Lipan, yang persis beada di tebing.

Syarif, suaminya, menyediakan dada bidangnya, hingga Saariffa menikmati kehangatan, saat ia merebahkan kepalanya. Matanya memandang jauh ke depan, menyaksikan sejumlah kapal menyeret tongkang berisi batubara dan agak berhati-hati, lantaran rakit kayu gelondongan melebar persis di tepian.

Ketika jemari Syarief membelai keningnya, Saariffa membalikkan tubuhnya. Matanya nan bening memandang wajah Syarief. “Fikiran apa yang tengah melintas di benakmu menyaksikan tongkang, itu..,” serunya tiba-tiba.

Syarief tersenyum. Spontan dia mengecup kening Saariffa. “Ironi,” ujarnya seketika, membuat Saariffa membelalak. “Ya, ironi.. Tuhan memberikan begitu banyak kekayaan di banua etam (baca: tempat kita), ini. Tapi, sebagian terbesar saudara-saudara kita miskin secara persisten,” ujarnya.

Syarief memegang kedua bahu Saariffa, ke arah kota Samarinda. “Lihat…, lihat sebagian saudara-saudara kita yang masih hidup berhimpitan dan karib dengan kemiskinan,” ujarnya. Saariffa memandang jauh ke kejauhan, hinggap di menara masjid Islamic Center, Samarinda, yang megah itu.

Sesaat Saariffa terhenyak. Ia teringat pesan almarhum ayahnya, yang meminta dia dan Syarief pulang ke Samarinda, mengabdikan ilmu dan pengalaman di kampung sendiri.

“Di banua etam ini, masih banyak saudara-saudara ikam yang dapurnya jarang berasap, pendapatannya minim, personal income mereka rendah, lalu mereka terpinggirkan, menjadi kaum mustadh’afin (baca: marginal), lemah dan tak berdaya saing. Bulik lah ikam.” ujar almarhum Alwi, ayahnya menjelang wafat.

Ketika Saariffa tercenung dan matanya berkaca-kaca, Syarief segera merespon.

Ulun ingat pesan abah,” ujar Saariffa sambil memeluk hangat, hingga air matanya membasahi pundak Syarief.  Angin di atas Mahakam kian berembus. Petang terus merembang. Syarief menerawang.

Memang tak masuk akal, di negeri kaya raya 40 juta penduduknya miskin dan 20 juta lainnya setengah miskin.  Mereka tak beroleh pendidikan dan kesehatan yang layak, dan tak mampu secara ekonomi.

Lalu, Syarief dan Sariffa segera bergegas menuju Balikpapan memburu jadual pesawat. Pikirannya masih menerawang. Saat melintasi Bukit Soeharto, jiwanya sansai terpukul ironi. Kebijakan pertambangan dan migas belum sepenuhnya berpihak kepada kepentingan rakyat, terkalahkan argumentasi tentang foreign direct investment. Investasi asing secara langsung. Tentu, rakyat belum akan menikmatinya.

Di benak Syarief melintas angka-angka. Lebih dari 84 juta hektar (ha) lahan pertambangan, sampai tahun 1999 sudah diberikan kepada 908 pemodal asing raksasa. Baik dalam bentuk kontrak karya, kontrak karya batubara, ataupun kuasa pertambangan, yang baru akan berakhir dua dasawarsa lagi.

Ugh! Syarief terbatuk. Di benaknya terbayang 18 juta ha kawasan kontrak karya pertambangan berada di wilayah hutan lindung. Lalu, 2 juta ha hutan rusak setiap tahun, lantaran eksplorasi dan eksploitasi pertambangan. Dan, di sekitar wilayah pertambangan seluruh Indonesia, 17 juta jiwa penduduk hidup miskin.

Di kabin pesawat menuju Jakarta, Syarief masih dikepung ironi, ketika pikirannya mengembara ke alam realita: industri manufaktur kita belum kuat, lantaran hasil tambang lebih banyak mengekspor barang mentah. Saariffa meletakkan kepalanya di bahu Syarief. Keduanya terpejam, dan baru terjaga, saat pesawat mendarat.. Oooh… |  001

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 238
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 461
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 452
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 422
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1182
Rumput Tetangga
Selanjutnya