Musik Keramik Asal Jatiwangi

Merangkai Harmoni Bunyi Genting

| dilihat 2776

AKARPADINEWS.COM | MENTARI pagi yang perlahan menyingsing tak mampu mengusik aktivitas para pekerja di pabrik genting Super Fajar, Desa Burujul Wetan, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Mereka sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang mengangkut, menggiling, memotong, dan memipihkan tanah.

Di dalam sudut ruang besar yang dipenuhi rak-rak bambu, beberapa pekerja sibuk mencetak tanah pada mesin ulir menjadi genting basah. Begitu pula para pekerja yang berada di luar ruangan. Mereka telaten menata alur genting basah di atas sandaran bambu, berharap tiap genting terkena terik sinar matahari.

Di ruang berbeda, tiga pekerja mengamati nyala api pada tempat pembakaran sambil sesekali menambah kayu bakar. Tak jauh dari ruang pembakaran, beberapa pekerja lainnya fokus menguas glasir pada punggung genting, dan setelahnya genting kembali masuk tempat pembakaran.

Di tengah rutinitas itu, nampak pula tiga pemuda yang memiliki kesibukan lain. Berbeda dengan pekarja lainnya, mereka justru asyik dengan alat rekam audionya. Mengamati perubahan bunyi pada mesin cetak, merekam, lalu berpindah ke ruang lain, demi memantau bunyi. Mereka rupanya tengah meracik rangkaian nada yang bersumber dari genting yang terbuat dari tanah liat.

"Begitu musikal. Tak tahu mengapa. Banyak bunyi yang harmonis dalam kesehariannya,” ujar Tedi N, salah seorang dari ketiga pemuda yang sejak tahun 2007 hilir-mudik ke pabrik-pabrik genting di desanya untuk meriset aneka bunyi di tanah kelahirannya, Jatiwangi.

Agar rangkaian nada genting itu terdengar harmonis, Tedi bersama kedua rekannya, Iwan Maulana dan Ahmad Thianlalu membentuk grup musik bernama Hanyaterra.

Mereka mengeksplorasi tanah di desanya menjadi karya musik. ”Ternyata inspirasi itu tidak jauh dari tolehan kepala kita,” imbuhnya dalam sebuah film dokumenter bertajuk Hanyaterra Teaser, yang mengisahkan proses kreatif ketiga pemuda itu, dengan director Ismail Muntaha dan Yophie Nugraha.

Mereka menyadari jika genting yang dibuat dari tanah liat di desanya menyimpan bunyi yang khas. Pembuktiannya dimulai dengan mendatangi tempat pembuangan limbah genting. Mula-mula mereka memilah pecahan genting yang tak terpakai, mengetuk-ngetuknya dengan alat pukul, menganalisa bunyi, lalu menyelaraskan nada.

Bila kesesuaian nada belum tercapai, genting yang utuh dipilih tingkat ketebalannya untuk mencari tinggi rendahnya nada. Terkadang mereka memotong bagian tepi genting demi menggapai kesesuaian notasi. Serpihan genting itu kemudian menjelma menjadi alat musik kolintang, bahkan genting utuhnya bisa berfungsi menjadi body gitar dan bass elektrik.

Eksplorasi dengan tanah tak berhenti sampai di situ. Berbekal hipotesa mereka mengeksplorasi berbagai instrumen. "Tanah mempunyai bunyi yang tidak dimiliki oleh instrumen lain, untuk itu kami mencoba mengeksplorasi berbagai bentuk instrumen”ujar Tedi. Mereka pun membuat alat musik lain dari tanah, semisal tambur gerabah, ocarina, piring keramik, dan kreweng. Alat musik gubahannya memiliki skala nada diatonis yang terdiri dari tujuh nada. Hanyaterra menyebut bebunyian yang dihasilkan dari alat musiknya sebagai “musik keramik”.

Uji coba terus menerus yang mereka lakukan, tak mengasingkan keberadaan musiknya dari masyarakat sekitar. Masyarakat setempat telah lama mengetahui alunan musik dari tanah melalui cerita leluhur.

Dalam tradisi tutur yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Jatiwangi, terdapat suluk atau ujaran yang dilantunkan seorang dalang bernama Ki Sura sebelum pementasan wayang. Ki Sura mengambil segumpal tanah, memerasnya hingga berbentuk seperti umbi-umbian, lalu meniupnya. Bebunyian lembut nan melolong lantas membahana. Masyarakat meyakini kekuatan bunyi itu dapat menyembuhkan penyakit. Energi itu yang ditransformasi Hanyaterra dalam bentuk baru, musik keramik. Baginya ada yang sakit dari kondisi tanah di desanya.

Ketersediaan tanah di Jatiwangi yang sejak lama digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan genting semakin menipis. Banyak pabrik genting mengeluh soal kualitas tanah yang semakin hari semakin menurun. Harga tanah kualitas super melambung tinggi mencapai kisaran Rp100-120 ribu per-rit, bahkanbarang susah didapat. Mereka harus mendatangkan tanah tersebut dari wilayah lain, seperti daerah Loji dan Cibolerang.

Perubahan kawasan di beberapa wilayah Jatiwangi ke sektor industri garmen juga mengancam ketersediaan tanah. Belum lagi impian membangun superblock mal, tepat di jantung kecamatan. Kondisi tanah yang semakin menua lalu diperparah dengan hadirnya proyek pembangunan tol dari Cikampek menuju Palimanan, Cirebon, yang membelah wilayah Jatiwangi.

Hanyaterra merangkum teriak tanah yang semakin “terinjak” melalui nada dan lirik yang terangkum dalam tembang Hulu-Hilir, Hanya Tanah, Hari Berjari, dan Haleuang Taneuh. Tembang itu beserta dua hidden sound terangkai dalam album perdana Hanyaterra yang dirilis tanggal 26 April 2015 di pabrik genting Super Fajar, Desa Burujul Wetan, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka.

Musik Hanyaterra membuat tafsir baru mengenai makna tanah, yang tak hanya dipijak, tetapi juga melahirkan energi. Musiknya yang lentur, mudah dimamah, dan cerna masyarakat semakin mendekatkan seni wabil khusus musik kembali ke tengah masayarakat. Mengenai proses kreasi pun, mereka tak mengawang tinggi memetik kata-kata yang jauh di langit.

Terkadang proses kreatif didapat dari hal-hal kecil sembari bermain di halaman, berbincang dengan karib, melihat perubahan desa, mendengar keluh kesah warga, bahkan ketika tengah berlangsung urun rembug antara warga dengan kepala desa. Prosesitu justru tersuguh dari kondisi lingkungan dan masyarakat. “Mereka adalah pembuat lirik yang baik,” tukas Tedi.

Kehadiran Hanyaterra tidak semata artifisial. Namun, menjadikan musik sebagai upacara bersama. Terlihat bagaimana anak-anak kecil bermain sembari meniup ocarina. Betapa sumringah dan sedikit tersipunya kepala desa saat bernyanyi bersama diiringi Hanyaterra. Lebih dari itu, Jatiwangi kini menjadi magnet para seniman lokal maupun internasional mengaktualisasi diri. Wadahnya ialah Jatiwangi Art Factory, episentrum kesenian di wilayah Jatiwangi.Tanah yang merupakan tembal asal dan kembalinya manusia tak hanya dikeruk, dipijak, dan ditindih bangunan. Lewat Hanyaterra, tanah dapat bersuara dan menghimpun harmoni.*

I Dirga Adinata

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 527
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1620
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1400
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 246
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 469
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 463
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 433
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya