Festival Film Internasional Madani 2024

Cermin Insani dalam Film Goodbye Julia

| dilihat 865

Catatan Cinge Zaidan

Festival Film Internasional Madani ke 7 (2024) bertema Marwah (berasal dari kata muru'ah dalam bahasa Arab yang bermakna martabat), telah usai digelar di Jakarta (3-6 Oktober 2024).

Tema ini -- dalam pandangan penyelenggara -- diusung sebagai ekspresi sealigus pernyataan nilai : semacam tujuan yang lahir dari pergolakan dan pergeseran persepsi global tentang dunia saat ini. Hal tersebut mengemuka dalam sambutan Putut Widjanarko (Mizan) dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi.

Menurut penyelenggara festival yang diinisiasi Mizan dan Pabrikultur  dan ditopang oleh Dewan Kesenian Jakarta,  Dinas Kebudayaan,  Kementerian Pendidikan - Kebudayaan - Riset dan Teknologi, Fakultas Studi Islam - Universitas Islam Internasional Indonesia), kelompok-kelompok wilayah 'pinggir' arau negara-negara yang dianggap berkembang di Asia, Afrika,  dan Amerika Latin mulai menggeliat  membangun marwah baru dalam dunia pasca kolonial.

Setidaknya begitu yang tersurat dalam brosur. Ada aksentuasi: dalam dunias yang sedang bergerak inilah banyak sekali wacana dan khasanah seni visual seperti film, menjadi instrumen pembentuk kesadaran baru: bahwa kemerdekaan, kedaulatan, kemuliaan adalah hak semua manusia.

Merujuk pada Konferensi Asia Afrika di Bandung dekade 1950-an, tinggal Palestina yang masih berjuang mati-matian merebut hak kemanusiaan dan kebangsaannya dari tindakan bengis zionis Israel. Lebih setahun sudah, aksi genosida atas Palestina berlangsung.

Zionis Israel didukung Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan bahkan Yordania, masih terus melakukan aksi perampasan hak kemanusiaan yang biadab, genosida dan apartheid.

Goodbye Julia

Tema demikian juga relevan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara, karena praktik domestic colonialism dalam skala khalayak, termasuk penghancuran nalar publik masih berlangsung.

Pada pembukaan festival tersebut penyelenggara memutar film bertajuk Goodbye Julia (Wada'an Jûlyâ) garapan sutradara film Sudan, Mohammed Kordofani yang tinggal di Bahrain. Kordofani insinyur penerbangan yang belajar menjadi pembuat film secara otodidak.

Ia memilih Eiman Yousif (sebagai Mona), Siran Riak (Julia), Nazar Gomaa (Akram), dan Ger Duany (Majier) sebagai pemeran utama film pertama Sudan yang ditayangkan dalam sesi Un Certain Regard Festival Film Cannes (2023). Eiman Yousif adalah penyanyi, dan Siran Riak berlatar seorang model (Miss Sudan South) dan peragawati yang lahir di Sudan Selatan dan baru pertama kali main film.

Goodbye Julia berkisah ihwal dua perempuan dan menggambarkan hubungan rumit yang kontras antara khalayak di Sudan Utara dan Sudan Selatan. Mengambil setting di Kartoum semasa Sudan kembali menjadi satu negara, setelah bertahun-tahun, sejak 2011, terpisah. Adalah Mona, seorang muslim mantan penyanyi sohor Sudan Utara, yang tinggal bersama Akram, suaminya.

Suatu hari, Mona menyerempet Julia, sehingga memicu kemarahan Majier - suami Julia. Majier memburu Julia hingga ke rumahnya. Tanpa bertanya lebih dulu, Akram yang menduga Mona dalam bahaya menggunakan bedilnya, menembak Majier.

Mona merasa bersalah, dia berusaha menebus kesalahannya karena telah menyebabkan kematian Majier dengan mempekerjakan Mona yang tidak tahu apa-apa sebagai pembantunya. Majier dan Julia penduduk Sudan beragama Kristen. Masa itu, rasisme yang dipicu perbedaan ras, etnik, dan agama menjadi pemicu Sudan dalam pergolakan.

Ekuit dan Ekual

Kordofani memandang, konteks sosial film karyanya ini meluahkan pandangan, bahwa rasisme yang berlangsung selama beberapa dekade di Sudan Utara (dan dilakoni oleh pemerintah dan rakyat) merupakan pemicu orang-orang Sudan Selatan memisahkan diri.

Sutradara -- yang sebelumnya memperoleh Penghargaan Seni Internasional Taharqa Sudan 2015 untuk film pendek karyanya, Gone for Gold -- ini berhasil mengemas dan menghadirkan Goodbye Julia sebagai medium artikulasi pemikiran artikulatif tentang hakikat marwah kemanusiaan secara ekuit dan ekual.

Sebagai orang Sudan Utara, dia gelisah menyaksikan diskriminasi yang dilakukan atas warga Sudan Selatan. Suatu kejahatan budaya yang dibangun oleh orientasi dan sistem politik yang mengabaikan dimensi humanitas.

Dibantu musisi Mazin Hamid yang memadu harmoni basis musikal masyarakat Sudan Utara dan Selatan, Kordofani berhasil menghadirkan musik dan film dalam satu kesatuan utuh medium penyampaian pikiran sehat.

Kordofani yang menyelesaikan film Goodbye Julia ini selama 40 hari (antara 6 November - 15 Desember 2022) ini pun dipandang sejumlah kritikus film, berhasil merajut kembali 'cindai kebangsaan' Sudan yang koyak.

Semangatnya menghadirkan marwah kemanusiaan warga Sudan Selatan sebagai manifestasi membayar 'rasa bersalah' sebagai warga Sudan Utara, berhasil. Kendati beberapa bulan kemudian, pecah konflik militer yang dahsyat, sejak peristiwa 15 April 2023.

Penghargaan Festival Film Cannes

Ia, para kru dan artis pendukung film Goodbye Julia menghadapi situasi sulit, menjadi sasaran perundungan di tengah kontroversi masyarakat. Khasnya mereka yang masih berpandangan statis, memelihara rasisme. Terutama, karena masyarakat Sudan Selatan yang berpandangan seluruh warga Sudan Utara jahat, tak bisa menerima penggambaran warga Sudan Utara di dalam film ini.

Presumsi tentang watak dan perilaku jahat warga Sudan Utara sudah mendominasi alam pikiran masyarakat Sudan Selatan selama bertahun-tahun.

Di Festifal Film Cannes dalam sesi Un Certain Regard, film ini ditonton 1.000 penonton pada tanggal 20 Mei 2023. Dalam presentasi dan diskusi film ini, berbagai apresiasi mengemuka. Tentu dengan pandangan ihwal konflik Sudan (yang masih segar masa itu).  Tepuk tangan dan apresiasi bak berhamburan merayakan keberhasilan film ini. Lantas menjadi awal bagi Goodbye Julia 'melanglang' di lebih dari 30 festival film internasional, termasuk BFI London Film Festival, Karlovy Vary, Melbourne, Chicago, Warsawa, Hamburg, Montreal International Black Film Festival, dan Jakarta International Madani Film Festival.  Termasuk keberhasilan film ini menjadi salah satu nominee untuk  Film Fitur Internasional Terbaik di Academy Awards ke-96.

Pemutaran Goodbye Julia pada pembukaan Festival Film Internasional Madani ke 7 di Jakarta, sesuatu yang tepat. Tak hanya karena film ini menghadirkan spirit kemanusiaan sebagai telangkai yang menghubungkan dua polar pemicu konflik sosial. Juga karena Goodbye Julia menegaskan fungsi sosiologis dan politis film dalam menciptakan perdamaian.

Dimensi madani terasa dalam film ini, khasnya terkait dengan inklusivitas, kosmopolitanisma, keadilan sosial dan pandangan tentang dimensi kedalaman manusia. Saya memandang film ini dan proses pembuatannya bisa menjadi bahan banding (benchmark) bagi para kreator film Indonesia dalam mengembangkan gagasan-gagasan baru.

Cermin dari Sudan

Garin Nugroho, Hanung Bramantio dan para sineas generasi sebelumnya sudah mengawali dan menghantarkan kesadaran tentang fungsi sosio politik dan budaya film. Khasnya dalam memberikan tawaran-tawaran tentang kemanusiaan dan kebangsaan (antara lain lewat film tentang HOS Tjokroaminoto dan KH Achmad Dahlan, dan sejenisnya).

Film-film demikian, tanpa kecuali film November 1828 (Teguh Karya),  Si Mamat (Sjumandjaja), Tjoet Nja' Dhien (Eros Djarot), Naga Bonar (MT Risjaf), telah menyemai berbagai nilai kemanusiaan dan relasi sosialnya dengan beragam genre dalam menjaga marwah kemanusiaan dan kebangsaan. Pun tentang proses kebangkitan masyarakat madani.

Tentu, sebagaimana halnya Kordofani, akan banyak rintangan dan tantangan yang harus dihadapi sineas Indonesia dalam mengangkat kisah keadaban dan peradaban baru masyarakat madani Indonesia. Paling tidak dalam memandang dan menempatkan film sebagai salah satu cermin perkembangan peradaban bangsa ini kini dan mendatang.

Saya sepandangan dengan Gari Nugroho yang menyatakan dalam brosur, "Tema-tema yang diangkat Madani International Film Festival selama ini telah menjadi cermin kita untuk melihat keadaan sekarang, memandu apa yang harus kita lakukan. Tema Marwah pada 2024 ini mencoba menggugat dan mempertanyakan kepemimpinan dunia yang gagal menghentikan genosida Israel di Palestina, dan kepemimpinan di negeri kita sendiri yang seolah abai terhadap berbagai kesalahan dan penyimpangan."

Penyelenggaraan Madani International Film Festival perlu dirawat dengan menghadirkan pandangan-pandangan kritis dan visioner tentang tata kehidupan nasional, regional, dan global. Sekaligus sebagai bagian dari upaya panjang merawat keberadaban (paling tidak) yang memuliakan marwah manusia, masyarakat, negara, dan bangsa, sejak Konferensi Asia Afrika diselenggarakan pada dekade 1950-an.

Goodbye Julia adalah cermin dari Sudan untuk melihat ulang tentang madani dan marwah. |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Sainstek
25 Okt 24, 10:37 WIB | Dilihat : 752
Maung Garuda Limousine yang Membanggakan
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 2501
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 2740
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 2977
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
Selanjutnya
Energi & Tambang