Catatan Seni 5

Berpijak pada Ronggéng

| dilihat 1144

Bang Sém

Ronggéng  sebagai tari tradisi rakyat (folk dance) masih menjadi pijakan bagi tarian populer di tatar Sunda, khasnya gerak tari Jaipongan, yang sempat disisihkan dari senarai tari Jawa Barat.

Endang Caturwati, guru besar seni pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, menyatakan pandangan demikian dari hasil risetnya atas Kliningan Jaipongan di daerah Subang - Jawa Barat (Sindén-Penari di Atas & di Luar Panggung, 2011)

Dinyatakannya, para seniman tari lebih tertarik mengambil kekayaan sumber gerak tari ronggéng sebagai media kreativitasnya, dibandingkan sumber gerak tari lainnya (tari Topeng, tari Tayub, tari Wayang, atau tari karya Tjetje Soemantri).

Ditegaskannya, "Tarian ronggéng dengan gerakan-gerakan yang atraktif sensual, dinamis, serta memiliki daya pesona, seakan merupakan tarian yang abadi sepanjang masa."

Pernyataan ini relevan dengan realitas pertama seni pertunjukan rakyat-sekaligus realitas sosial, karena ada perkembangannya, ronggéng  kontemporer yang terlihat dalam pergelaran dangdut Pantura, gerakan-gerakan yang atraktif sensual dan dinamis memang menjadi daya pesona, sekaligus sebagai bagian dari 'marketing strategi' untuk mencapai puncak popularitas sejumlah penyanyi dangdut berbasis budaya pesisir (coastal culture). (Baca juga: Ronggéng dalam Perspektif Endang Caturwati)

Mengambil benchmark tari Hula dari Hawaii, Endang melihat, upaya kembali ke pangkal gerakan tari tradisi -- sebagaimana halnya Jaipongan -- menjadi salah satu daya pacu perluasan wilayah popularitas suatu tarik, yang tak lagi hanya pada wilayah asalnya. Bahkan menjadi penanda khas, ketika tarian tersebut populer ke Mancanegara.

 

Sarah Fecht, manajer konten Communications, terbitan The Earth Institute, menulis,  gerakan tarian menjadi daya pesona yang memantik pandangan dan penilaian lelaki dan perempuan heteroseksual, katimbang tipe tubuh atau atribut lainnya. Pernyataan senada untuk hasil penelitian yang sama, juga diungkapkan oleh Tod Perry, penulis dari California University (GOOD, 2020).

Gerakan tarian yang atraktif sensual dan dinamis, juga memantik fantasi 'menari dengan bintang' dengan sedikit drama dalam penelitian psikologi dengan lebih banyak standarisasi ilmiah.

Dalam artikelnya di Popular Sceince (2017), Fecht  mengungkap hasil studi yang dipublikasi sekelompok peneliti Northumbria University di Scientific Reports, yang mengidentifikasi gerakan tarian terbaik dan terseksi laki-laki, berpusat di tubuh bagian atas, sedangkan gerakan tari perempuan berpusat di sekitar pinggul, paha, dan lengan.

Fecht mengungkapkan, menari mungkin berkembang sebagai cara untuk memamerkan kualitas diri sebagai pasangan. Studi ini merekomendasi, dengan memahami ciri-ciri tarian yang baik, kita bisa lebih memahami fungsi evolusinya.

Kendati demikian, para penguji studi tersebut, memberikan peringkat yang lebih tinggi untuk tarian dengan ayunan pinggul yang lebih besar, dan gerakan kaki yang asimetris — artinya kedua kaki bergerak secara berbeda. Mereka juga lebih suka gerakan lengan asimetris tingkat sedang, yang menurut Nick Neave, penulis studi tersebut, agak mengejutkan.

 

Rekomendasi lain dari para peneliti dalam studi itu, gerakan - gerakan tersebut mungkin lebih disukai, karena  memberikan umpan balik tentang kewanitaan dan kesehatan penari. Tak hanya terkait dengan gerak atraktif sensual dan dinamis.

Hasil studi itu mengungkapkan, gerak mengayun pinggul, misalnya, merupakan (ekspresi) "sifat feminin yang tegas," yang mengisyaratkan kesuburan. Akan halnya kemampuan menggerakkan lengan secara independen menunjukkan kontrol motorik yang baik, "selama independensi anggota tubuh ini tidak mendekati gerakan patologis yang tidak terkendali."

Dalam makalah hasil studi tersebut, Neave mengemukakan, tarian sangat dipengaruhi oleh budaya, jadi mungkin terdapat beberapa perbedaan dalam gerakan atau gerak tubuh tertentu. Kendati demikian, Neave mengemukakan, hasil studi itu menegaskan, pada umumnya orang cenderung setuju tentang siapa penari yang baik dan siapa penari yang buruk.

Para peneliti tersebut mencatat, bahwa konfigurasi gerakan yang berbeda dapat menghasilkan nilai tari yang sama tinggi. Jadi orang yang tidak suka menggerakkan lengan, misalnya, tetap bisa menjadi penari yang "seksi" jika dipadukan dengan gerakan mengayun pinggul yang lebih sedikit dan gerakan kaki yang lebih asimetris.

 

Hasil studi tersebut persis dengan hasil penelitian Endang untuk disertasi doktoral (S3) yang dialih format menjadi buku, khasnya terkait dengan konfigurasi posisi dan gerakan tangan, kepala dan leher (gilek), serta goyang - gitek - géol pada pinggul dan bokong.

Dalam perspektif lain, dari penelitiannya tentang Kliningan - Jaipongan di Subang, Jawa Barat, Endang mengungkapkan korelasi latar sosial dan budaya dengan konfigurasi gerak tarian. Dari formasi gerak berpijak pada Ketuk Tilu, Dongbrét, Tayuban, Topéng Banjét, Topéng Betawi, Longsér, Cokék, dan Dogér, Kliningan Bajidoran, sampai kemudian Jaipong yang dimodifikasi oleh Gugum Gumbira yang mengalami proses populisasi menjadi Kliningan Jaipongan (Jaipongan Pantura).

Pandangan Endang tentang gerak tari ronggéng (yang dieksplorasi dalam tari jaipongan) yang dipandang sarat dengan anasir  - erotisme (sexual signal), terkonfirmasi dari studi psikologi yang diungkap Fecht, yang dalam konteks lintas budaya, dipandang, bahwa menari cenderung terlibat dalam ritual 'asmara.'

Konfigurasi gerakan semacam itu tak ditemui dalam ronggéng Deli atau rongéng Pattani, yang lebih dekat dengan konfigurasi gerak tarian Serampang 12, kecuali dinamika-nya, karena terhubung dengan ritme musik Melayu. Walaupun pemicu gerakan sama berpedoman pada gendang ( atau ketobong, darbouk, dan rebana).

Konfigurasi gerak tari ronggéng yang dideskripsikan Endang, 'serupa tapi tak sama' dengan konfigurasi gerak  Raqs Baladi (tarian tradisi dan tarian rakyat Timur Tengah), terutama Mesir, atau Raqs Sharqi, tarian oriental yang ditarikan secara tunggal, yang populer di dunia dengan Bally Dance, dengan dominasi gerakan pada dada, perut, dan pinggul.

Sebagaimana halnya ronggéng, Bally Dance juga sering disalah-pahami, seolah-olah sebagai presentasi erotisme untuk menghibur kaum lelaki. Padahal, tarian ini paling sering dilakukan di kalangan perempuan,  umumnya selama berlangsung ritual kesuburan atau pesta di kalangan khas perempuan Timur Tengah (Arab) pada malam pacar, menjelang pernikahan keesokan harinya.

Endang menyebut, di tangan Gugum Gumbira yang menciptakan Tari Jaipongan, ronggéng ibarat 'intan' yang berpadu padan dengan gerak kembangan silat. Tari tradisional rakyat ini, menjadi semacam jiwa bagi tari Jaipongan.

Endang dengan penelitiannya membuktikan, bahwa ronggéng mampu menjadi menjadi basis (dan menginspirasi) koreografer kreatif menjadi ragam tari yang memikat. Endang, membuktikannya sendiri melalui berbagai karyanya.

Gambaran tentang tari ronggéng dan Nyi Ronggéng itu sendiri, terdeskripsikan dari salah satu bait lagu Ratu Jaipong, yang ditranskripsi Endang dari vokal ke teks dan di-Indonesia-kan, menjadi seperti ini :

Tari bergoyang éplok - céndol / Gutak-gitek, gual géol / Membuat penonton mabuk kepayang / Si Gadis bergerak lembut perlahan / Mendebarkan di dalam hati / Bukan saya tak merindukan / Tak dapat dipilah-pilah / aduhai goyang Nyi Ronggéng / Aduhai menggairahkan //

Jakarta, 1 Desember 2020

Baca Juga : D
inamika Ronggeng di Tengah Transisi Masyarakat.

 

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 98
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 515
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 524
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 444
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya