Kolom Teater

Aktor adalah Komunikator

| dilihat 2718

Lisa Syahtiani

Pernahkah anda melihat sebuah pertunjukan teater dimana anda tidak memahami apa yang dilakukan seorang aktor itu di atas panggung ?.  

Meski para aktor bermain atraktif, seringkali kita hanya mampu menikmati apa yang kita lihat saja, bukan yang kita dengar. Seolah-olah kita tidak mampu merasakan apa yang dirasakan aktor dalam pertunjukannya. Sementara si aktor terlihat begitu menikmati aktingnya dan tampak betapa dia berusaha keras membentuk ekspresi-ekspresi yang begitu berat, untuk meyakinkan kita bahwa dia tengah merasakan sesuatu. Tapi kita tidak merasakannya dengan benar. Sampai akhirnya muncul kebosanan duduk di kursi penonton. Sekalipun bertahan itupun bukan karena tontonannya, tapi sekedar menghargai, karena yang tengah berpentas adalah kerabat atau sahabat kita.

Pernahkah anda menyaksikan pertunjukan teater di mana aktor terlihat begitu ringan berlaku di atas panggung. Seperti perilaku yang sudah biasa dia lakukan sehari-hari. Kemudian ada  saat kita menjadi sangat tidak tahan untuk sekedar ikut berceloteh seolah menyambungkan apa yang dibicarakan si aktor.

Bahkan disaat-saat tertentu si aktor pun bisa sesekali menjawab celoteh penonton dan membuat penonton lainnya ikut tertawa jika celotehnya itu lucu. Atau seorang aktor yang tanpa kita sadari, membuat kita diam terpaku di kursi penonton, tak bergeming. Dan kita baru menyadari keterpakuan itu, saat tepukan tangan membahana menandakan pertunjukan telah usai.

Tontonan mana yang lebih anda pilih jika dua kasus di atas dibandingkan?  Apa sebetulnya motivasi penonton memilih menonton pertunjukan teater ketimbang tontonan lainnya ?

Penonton teater, saya garis-besarkan sebagai orang yang memiliki sisi kemanusiaan lebih tinggi. Mengapa ? Larena dalam sebuah pertunjukan teater, penonton seperti tidak punya jarak oleh peristiwa. Seolah penonton memiliki kontak langsung dengan peristiwa. Berbeda dengan film, ketika kita menyadari bahwa yang ada di hadapan kita adalah sebuah layar besar. Peristiwa dalam film merupakan gambar-gambar yang seolah hidup. Sedangkan dalam pertunjukan teater, penonton sadar, panggung adalah sebuah ruang kosong yang tidak dibatasi oleh apapun dengan kursi penonton, selain batas kejadian peristiwa.

Dengan begitu, penonton seolah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri peristiwa itu didepan matanya. Langsung, seketika itu juga. Karena itu peristiwa dalam pertunjukan teater merupakan representasi dari kehidupan sehari-hari.

Untuk mendapatkan representasi dari kehidupan sehari-hari, pengamatan atau observasi, sangat diperlukan. Pengamatan merupakan upaya untuk mendapatkan konteks peristiwa dalam naskah dengan kenyataan yang terjadi pada realitas kehidupan.

Mungkin kita akan sulit menemukan realitas yang betul-betul sama persis dengan peristiwa dalam naskah. Karena itu perlu ada referensi lain, seperti buku-buku ataupun berita-berita di media yang mirip atau memiliki kaitan yang erat dengan peristiwa dalam naskah. Dan tugas aktor adalah menyulam semua itu dalam satu kesatuan pemahaman atas keterkaitan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya dalam sebuah karakter yang dimainkan.

Pengalaman saya sebagai seorang aktor membuat saya mengambil kesimpulan, seorang aktor sama halnya dengan seorang komunikator. Sebab aktor pada setiap lakunya di atas panggung selalu menyajikan informasi yang harus diketahui dan dipahami penonton, agar mereka mampu mengenali dan memahami peristiwa yang tengah dimainkan di atas panggung.

Informasi itu tidak hanya disampaikan melalui ucapan, tetapi juga melalui laku, gerakan tangan, bahkan ketika kaki dilangkahkan dari sisi panggung yang satu ke sisi panggung lainnya. Aktor, tidak hanya menginformasikan peristiwa dalam naskah, tetapi juga merupakan media yang mampu menginformasikan daya kreativitas sutradara, penata artistik dan lainnya.

Tidak semua sutradara memiliki komunikasi yang baik dalam menyampaikan gagasannya kepada aktor-aktrisnya. Disinilah aktor harus mandiri, misalnya: berdiskusi dengan sutradara, mencari dan memberikan motif yang tepat atas keinginan sutradara tersebut.

Keterlibatan langsung seorang aktor dan penata artistik biasanya lebih banyak melalui kostum ataupun properti yang harus digunakan. Kemandirian aktor dalam hal ini adalah menemukan kenyamanan dari ketidaknyamanan materi kostum dan properti tersebut. Dan menjadikannya bukan hanya sebagai benda yang menempel pada tubuh anda melainkan bagian dari karakter tokoh yang anda mainkan.

Bagaimana dengan imajinasi. Dimana imajinasi memainkan perannya pada seorang aktor. Apakah imajinasi itu adalah sebuah hal – hal yang dibayang-bayangkan? Bila imajinasi adalah pembayangan, bagaimana penonton tahu apa yang sedang kita bayangkan?.

Membangun imajinasi itu landasannya adalah pengetahuan. Sartre dalam psikologi imajinasi, menyebutkan bahwa landasan imajinasi adalah kesadaran. Seluruh pengetahuan seorang aktor baik yang didapatkan melalui analisis naskah, buku bacaan, hasil diskusi dan observasi yang dia sulam menjadi satu kesatuan sudah menjadi bentuk imajinasi bagi seorang aktor. Karena pengetahuan itu dijadikan motif yang dipilih secara tepat oleh seorang aktor untuk dijadikan landasan pada laku aktor. Dengan daya kreatifitas,  imajinasi itu akan berkembang menjadi sebuah bentuk-bentuk estetika.

Untuk dapat menjadi aktor yang mampu melakukan kontrol diri, sehingga seorang aktor tidak larut pada kedalaman karakter tokoh yang dimainkan, maka dalam melakukan eksplorasi keaktoran, penelitian tentang tokoh dan segala peristiwa terkait yang melatarbelakanginya merupakan landasan yang paling ideal. Selain itu, untuk menjadi aktor yang baik adalah ketika anda mampu memahami diri anda kemudian memahami karakter tokoh yang hendak anda mainkan dan menempatkannya pada salah satu sudut dibagian dalam diri anda, dimana anda akan dengan mudah melepaskannya setelah anda selesai menggunakannya, semudah anda memutar anak kunci pada sebuah gembok. | Penulis adalah aktor teater dan film independen. Juga, pencitra monolog.

Editor : N Syamsuddin Ch. Haesy
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya