Resensi

Berzikir Bersama Sentuhan Biola Hendri Lamiri

| dilihat 3240

BERULANGKALI saya menyaksikan permainan biola Hendri Lamiri, langsung dan melalui siaran televisi, selalu saja tergugah. Saya suka mendengar dan menyimak permainan biola sejak kecil, dan terpikat sekali dengan permainan almarhum Idris Sardi, sang maestro.

Beberapa album instrumen biola Idris Sardi saya koleksi. Dan saya sampai pada kesimpulan, Idris Sardi adalah Idris Sardi. Dari sikap ini, saya berpandangan Hendri Lamiri adalah Hendri Lamiri. Dia bukan follower Idris Sardi, karena dia mempunyai karakter tersendiri.

Almarhum Chrisye pernah mengatakan pada saya, permainan Hendri dengan karakternya, memberi aksentuasi tersendiri pada komposisi musikal dan lagu. Hendri mampu memberi nilai lebih pada proses creating value suatu komposisi dengan permainan biolanya.

Ketika berlangsung Jakarta Melayu Festival 2016 di Ancol Beach City, 20 Agustus 2016 malam, Hendri berkolaborasi dengan Butong (accordeon), Fahad Munif (oud), Tom Salmin (gitar) menghadirkan Speak Softly Love, dengan ‘sentuhan melayu.’

Beberapa waktu berselang, Geisz Chalifah – produser Gita Cinta Production mengirimi saya album instrumen religi Hendri Lamiri bertajuk Sholawat. Album itu berisi 8 (delapan) lagu, yang satu dengan lainnya berbeda karakter dan beat.

Hendri memainkan kedelapan lagu itu dengan format yang berbeda. Namun di ke delapan lagu itu, Hendri memberi sentuhan khas Melayu, meski beberapa lagu di antaranya berbasis beat Arab.

Dari aspek teknik, dari ke delapan lagu dalam albumnya, Hendri mengeksplorasi seluruh kemungkinan yang bisa diekspresikan dengan dawai biolanya.

Pada Bismillah Mula-Mula Hendri menghadirkan teknik untuk medium performing medium. Teknik yang biasa dimainkan dalam ansambel untuk musik chamber. Sejak awal lagu, dia menghadirkan kompleksitas rhytm yang menyeret penikmatnya untuk masuk ke peralihan gejolak batin sampai pada ekstasi. Hendri memadukan alun biolanya dengan kompang, dan mengeksplorasi taste Melayu yang mengusik sukacita.

Pada Tholama Asyku Ghoromi yang diawali oleh medium fanfare dan denting piano, alunan vocal Sultanhel yang merdu dan fasih, melahirkan komposisi musikal yang sekaligus menganggit musikalitas syair Arab. Lengking dawai biola Hendri pada lagu itu, seolah menarik ungkapan dalam gejolak batin dan akhirnya membuncah menjadi kesadaran nurani.

Di lagu ini Hendri bebas bergerak antara rhytm dan melodi. Pada beberapa bagian memandu vocal, di bagian lain mengikuti vocal. Denting piano memberi aksentuasi, membuat kita seolah sedang berjalan di bukit sahara.

Berbeda dengan lagu Ya Nabi Salam Alaika, yang mengekspresikan kerinduan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Meskipun diawali dengan permainan mirip ketipung dan ritme drum yang sedang,  Hendri mengeksplorasi melodi dengan dawai biolanya. Mendengar lantunan dawai biola Hendri untuk lagu sholawat, membuat kita mengekspresikan sukacita seolah sedang menyambut tiba Rasulullah dan kaum muhajirin ke dalam batin kita yang kadang naif.

Suara bocah yang muncul seketika kemudian berganti dengan suara orang dewasa, membuat kita memaknai sholawat sebagai kerinduan yang menggembirakan.

Suasana kerinduan kepada Rasulullah Muhammad SAW tereksploitasi dan menjadi kerinduan yang hening di tengah keramaian (meminjam istilah Imam al Ghazali), ketika Hendri mendendangkan Sholawat Badar, dengan sentuhan virtuoso yang melengking, berpadu dengan arpeggio dengan ornamen musikal lainnya di sana sini.

Menikmati lagu Sholawat Badar, dengan gesekan biolanya, Hendri mengajak pergi mengembara ke dalam tradisi beberapa daerah. Sentuhan tradisi banjar dan daerah-daerah pesisir terasa sekali.

Hendri melakukan ekspansi melodi dengan tetap mempertahankan basis melodi pada kerinduan kepada Rasulullah. Dan kita merasakan masuk ke dalam dimensi kedalaman insaniah sebagai manusia yang dhaif sedang berjalan di alam fana.

Dalam lagu medley, Al I’thiraf, Thala’al Badhru, dan Shallu ‘Alan Nabi, lagi-lagi Hendri mengeksplorasi melodi dan menyeret kita masuk ke dalam suasana hening. Lamat-lamat terdengar eksplorasi suara seolah sedang di hutan Kalimantan, dengan ‘teriakan’ masyarakat Dayak yang khas. Suasana itu berlanjut pada lagu bertajuk Dzikir.

Di awal lagu yang diperkuat tahlil ini, melodi menjadi subjektif, emosional dan sering berada virtuoso (dengan berjalan panjang, arpeggio dengan berbagai ornamen vocal dan komposisi musikal instrument lain). Terbayang bagaimana berdzikir menelusuri hutan pedalaman, di antara semak dan rimba, mendaki bukit, mencapai puncak untuk menjangkau kaki alif-Nya.

Hendri menunjukan kemampuan teknis sebagai wahana mengalirkan perenungan batinnya. Tampaknya ia mengalir terhanyut melakukan ekspansi di kisaran melodi, melakukan perubahan dinamika untuk meningkatkan kualitas ekspresif melodi.

Sentuhan dawai biola yang bergerak antara melodi dan rhytm terasa pada lagu Padang Bulan. Dengan memasukkan bebunyian dari anasir lokal, dengan denting piano mengisi di sela-sela komposisi, Hendri menggunakan komposisi khas lagu-lagu rakyat. Tapi, terasa dia menghadirkan gagasan dasar untuk melodi memadupadan semua anasir musikal dalam satu harmoni.

Karakter Hendri yang berbeda dengan Idris Sardi, kian terasa pada lagu do’aku. Hendri tidak menarik lebar tone untuk memberi aksen ekspresif melodi (yang biasa dilakukan Idris Sardi). Hendri membiarkan kesadaran diri bagai asap mengepul ke udara, ditingkat dengan denting piano.

Pada lagu penutup album ini, terasa sekali Hendri bermain pada tekstur, memadupadan alunan biola, denting piano, dan petikan gitar sekali-sekala. Sekali-sekala juga dia menghadirkan pola lantunan biola romantik pada periode klasik. Dan kita seolah sedang bertadarus tidak dengan vokal kita, tetapi dengan irama musikal.

Di album instrumen religi ini terasa Hendri Lamiri seperti sedang mengeksploitasi suasana batinnya, keluar dari melalui ‘pintu-pintu’ yang terkunci (pinjam istilah Kirkgaard).

Menyimak seluruh isi album ini, saya membayangkan sedang bercermin hening di tengah malam, bermunajat kepada Allah.., sambil bergumam.., “Ya.. Ilaahi.. Anta maqsudi..”  Dan.., saya yakin apa yang dikatakan violinist Louisa May Alcott, “..the violin – that most human of all instruments..”  Biola adalah (alat musik) paling manusiawi dari seluruh instrumen.| Bang Sem

Editor : sem haesy | Sumber : foto-foto dokumentasi Hendri Lamiri
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 203
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 377
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 223
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 432
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 431
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 401
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya