Berkunjung ke Perfektur Osaka (Bagian 1)

Dapur Bangsa Berubah Jadi Sentra Industri Jepang

| dilihat 2513

Catatan Bang Sem

SIANG merambat, ketika pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi mendarat di landasan bandar udara internasional Osaka yang juga merupakan bandar udara internasional Kansai.

Bandar udara internasional ini merupakan pulau reklamasi yang dibangun di laut. Informasi yang tersedia di bandara ini menyebutkan, di dasar bandara ini terdapat lapisan pasir dan tanah liat, yang disebut lapisan tanah liat holocene atau holosen. Kedalamannya sekitar 20 meter.

Lapisan holosen itu disangga oleh lapisan pleistosen yang terdiri bolak lapisan tanah liat keras dan kerikil dengan kedalaman ratusan meter. Bagian atas lapisan pleistosen ketika mendapat tekanan, kian mengeras.

Lapisan tanah liat holosen terbentuk di era aluvial keempat yang melintasi masa panjang sejak fase akhir era es, sekitar 10.000 tahun yang lalu. Sedangkan lapisan pleistosen, telah terakumulasi di bawah laut, sejak dua juta tahun lalu. Persisnya era interglasial intervensi.

Dari bandara ke daratan wilayah Osaka, dihubungkan oleh jembatan baja multi jalur, yang dipergunakan untuk lintasan kereta api dan aneka jenis mobil.

Van yang saya tumpangi melaju cepat di jalan bebas hambatan yang lebar dan bersih. Tampak kawasan industriu yang tertata rapi dengan aneka dermaga. Sejumlah kapal, tampak bersandar di dermaga itu.  Asap putih mengepul dari serobong asap beberapa pabrik.

Osaka adalah bagian dari kawasan ekonomi Kansai, sebagai prefektur berbentuk megapolitan, menghubungkan 42 kota (besar dan kecil), termasuk kota Osaka sendiri yang seluas 1.899 kilometer persegi, atau hanya 0,5 persen dari luas dataran Jepang.

Meski merupakan suatu megapolitan, Osaka adalah prefektur terkecil kedua, sekaligus merupakan kawasan ekonomi termaju kedua setelah prefektur Tokyo.

Di Osaka tinggal 8,8 juta penduduk, atau sekitar 7 persen dari seluruh penduduk Jepang. Prefektur Osaka terbilang prefektur berpenduduk terpadat ketiga setelah prefektur Tokyo dan Kanagawa.

Di kota ini, tinggal tak kurang dari 210.000 penduduk non warga negara Jepang, atau 9,7 persen dari semua penduduk non warga negara Jepang yang terdaftar di Jepang.

Osaka memanjang dari utara ke selatan, dengan Osaka Bay – muara Sungai Yodo -- di sebelah barat dan dikelilingi pegunungan di tiga sisi lainnya. Karena itu, cuaca Osaka, umumnya ringan, dengan empat musim yang berbeda. Suhu tahunan rata-rata 17.30 C (61.30 F), dengan curah hujan rata-rata 1.568 mm.

Data dari Pemerintah Perfektur Osaka menyebut, kota ini sudah dihuni manusia, sejak 10.000 tahun lalu, ketika kebudayaan China bergerak ke Jepang melalui semenanjung Korea. Kala itu – sekitar abad ke 5 Masehi, Osaka menjadi sentra politik dan budaya Jepang. “Dan merupakan ibukota pertama Jepang,”ujar Akiko, seorang sobat yang menemani kunjungan ke Osaka bersama Amy.

Kala itu, sebagai ibukota, konsep kota masih sangat dipengaruhi budaya China. Konsep perkotaan berubah, setelah ibukota pindah ke Nara, dan kemudian Kyoto, yang terletak tak jauh dari Osaka.

Osaka berkembang mandiri, sejak abad ke 7 dan memainkan peran strategisnya sebagai pintu gerbang utama kebudayaan dan perdagangan Jepang.

Ketika kekuasaan politik jatuh ke tangan prajurit dan Jepang mengalami perang saudara di abad ke 12, kota Sakai di selatan kota Osaka kini ditetapkan menjadi kota bebas. Tahun 1583, Toyotomi Hideyoshi, tampil sebagai pemimpin, dan sekaligus menjadi pemersatu.

Toyotomi memilih Osaka pusat pemerintahan. Ia, lalu membangun Istana Osaka yang megah. Osaka pun berkembang sebagai pusat politik dan ekonomi Jepang.

Pada Era Edo, di abad ke 17, pusat politik bergerak ke Tokyo. Osaka lalu mengambil peran strategis sebagai pusat perekonomian nasional dan distribusi barang. Osaka, bahkan disebut sebagai sentra logistik nasional Jepang.

Di era ini nilai-nilai tradisional memacu masyarakat Osaka untuk melihat realitas peradaban lebih terbuka. Budaya kota mulai merambah pada periode ini, dan menemui kematangannya. Di Osaka berdiri berbagai sekolah yang tak lagi berada dalam urusan kekaisaran, Kaitokudo dan Tekijuku.

Sekolah-sekolah ini tumbuh mandiri, tidak berada di bawah perintah otoritas pendidikan pemerintah. Kemudian, menancapkan akarnya di Osaka.

Koaitokudo dan Tekijuku membuka cakrawala peradaban baru, dengan tetap mengembangkan nilai-nilai budaya tradisional yang telah hidup ribuan tahun, sejak fase akhir era Es.

Cikal bakal Osaka sebagai suatu kota modern, pun mulai tertanam kuat pondasinya. Secara bertahap, mendorong Osaka menjadi kota metropolitan dengan budaya metropolis sesuai masanya.

Ketika berlangsung restorasi Meiji di abad ke 19, yang menjadikan Jepang sebagai suatu negara modern, Osaka sempat ‘terhuyung.’ Namun, kemudian bangkit dan berkembang menjadi kawasan industri. Osaka lantas dikenal sebagai zona industri Jepang yang modern.

Untuk memenuhi kepentingan industri inilah, Jepang melakukan aksi pencarian dan penguasaan sumberdaya alam ke berbagai negara di Selatan, seperti Indonesia, Filipina, Malaya, dan Thailand. Terutama, ketika Jepang menaklukan kekuasaan negara-negara Eropa yang menguasai wilayah-wilayah itu.

Amerika Serikat dan sekutunya menjadikan Osaka sebagai sasaran serangan udara, selain Hiroshima dan Nagasaki. Beberapa bagian kota sempat hancur.

Lepas Perang Dunia II pemerintah memulihkan kembali wilayah ini, dan Osaka menggeliat bangkit sebagai pusat komersial Jepang. Lantas, memainkan kembali peran strategisnya dalam distribusi, perdagangan, dan industri.

Dengan perencanaan matang, berbasis budaya yang kokoh, pemerintah Jepang yang berkuasa di wilayah ini, membangun Osaka, dan menggerakkan lompatan besar sebagai sebuah kota internasional yang memberikan akses masyarakat dunia terhadap barang, jasa, modal, dan informasi.

Osaka yang menjadi mercu utama bagi Kansai di pulau utama Jepang, Honsu terus berkembang. Kota ini menemui jalan perubahan sebagai salah satu kota penting dunia, ketika diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah.

Dalam kapasitasnya sebagai ibukota Prefektur Osaka, kota ini berkembang sebagai metropolis Keihanshin, yang meliputi tiga kota besar Jepang: Kyoto, Osaka, dan Kobe. Osaka berkompetisi dengan Tokyo dan Yokohama dalam memajukan perekonomian Jepang.

Kini, Keihanshin merupakan metropolitan terbesar kedua di Jepang berperingkat dunia, dengan penduduk hampir 18 juta orang. Pendapatan domestik bruto wilayah metropolitan ini, juga terbesar kedua di Jepang, dan wilayah perkotaan terbesar ketujuh di dunia.

Prefektur Osaka mengalami kemajuan sangat cepat ketika Tõru Hashimoto memimpin wilayah ini. Hashimoto kemudian mundur dan memusatkan perhatian mengurus kota Osaka sebagai Walikota untuk menggabungkan dua entitas penting sebagai kota industri dan perdagangan.

Ichiro Matsui menggantikannya sebagai Gubernur melalui pemilihan umum lokal (Pilkada) yang berlangsung 27 November 2011. Di tangan Matsui, Prefektur Osaka menggerakkan Keihanshin sebagai metropolitan yang terus berkembang. Berpacu dengan perfektur Tokyo dan Yokohama.

Prefektur Osaka terus mempertahankan peran historisnya sebagai ‘dapur Jepang,’ karena di masa itu merupakan lumbung pangan nasional. Antara lain dengan mengembangkan pertanian modern penghasil beras di wilayah Kobe dan Kyoto.

Mencermati Prefektur Osaka dari sisi historisnya menarik perhatian saya, terutama ketika melihat bagaimana nilai-nilai tradisi menjadi ruh bagi modernisme – bahkan post modernisme Jepang.

Hal itu, antara lain terlihat dari bagaimana pemerintah otonom Prefektur Osaka merawat Daisenryo Kofun. Makam berbentuk lubang kunci terbesar di Jepang, berukuran sekitar 486 meter, berdiameter 249 meter. Makam dilengkapi dengan tiga gundukan berjenjang sepanjang 305 meter, dengan 35 meter gundukan melingkar, 33 meter gundukan depan, dilengkapi dengan tsukuridashi (ruang untuk upacara keagamaan) yang terletak di kedua sisi bagian tersempit dari makam.

Makam  ini merupakan makam Kaisar ke 16 Jepang,  Kaisar Nintoku, kaisar ke-16.

Makam ini dikelilingi tiga parit. Parit terluar makam ini, digali kembali pada Era Meiji. Pada tahun ke-5 kepemimpinan Kaisar Meiji (1872), diletakkan peti mati batu persegi panjang di ruang pemakaman persegi panjang depan. Ada sekitar 2,8 kilometer jalan mengelilingi makam ini. Untuk berjalan di jalan ini, diperlukan waktu satu jam.

Di sini juga disimpan, pedang, baju besi baik, pot kaca, piring, Sasenmonjyutaikyo (cermin) dan Tahoukantoutachi (pedang dengan ukiran hewan), antara lain, yang sempat menjadi koleksi Boston Museum of Arts di Amerika Serikat.

Makam ini dibangun berdasarkan aturan kompendium klasik (Engishiki). Makam ini bernama, Mozu-no-mimihara-no-naka-no-misagi. Tapi, sempat terjadi kontroversi arkeologi, yang meragukan makam ini sungguh merupakan makam Kaisar Nintoku. | (Bersambung

Editor : sem haesy
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 242
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 421
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 316
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 271
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya