N. Syamsuddin Ch. Haesy
INDONESIA akan mengalami defisit air pada tahun 2015 sebesar 334.739,4 juta M³, bila dilihat ketersediaan air rata-rata per tahun sebesar 691.314,6 juta M³ dan kebutuhan rata-rata per tahun sebesar 356.572,2 juta M³. Namun, bila dilihat dari masing-masing pulau, tercatat Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Timur akan mengalami defisit.
Pulau Jawa akan mengalami defisit hingga -134.102,8 juta M³ per tahun, Bali defisit hingga – 27.651,7 juta M³ per tahun, dan Nusa Tenggara Timur hingga – 4.545,9 juta M³, Sulawesi hingga – 42.517,7 M³ per tahun.
Ironisnya, kita tidak pernah berhenti mencemari air. Ketidak-mampuan kita mengelola hutan telah berakibat berubahnya air menjadi bencana. Pulau Jawa yang luasnya 13.405.500 Ha sedang menanti bencana di masa depan.
Kondisi lingkungan dan hutan Jawa hanya tinggal 4% dari seluruh luas Pulau Jawa. Padahal titik keamanan minimum yang disyaratkan adalah 30%. Kondisi kerusakan lingkungan di hampir semua puncak gunung di Jawa sangat memprihatinkan. Semuanya nyaris tidak lagi memiliki tutupan vegetasi.
Yang dimaksudkan titik aman adalah kondisi lingkungan dan hutan yang harus dipertahankan di mana kawasan lindung terjaga dan terpelihara dengan baik, sehingga dapat melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi.
Sejarah banjir di Jawa selalu sama penyebabnya, yaitu: terjadinya penggundulan hutan di daerah hulu dan penyumbatan oleh kotorangan di sungai-sungai dan jaringan saluran air, dari daerah tebing hingga ke muara. Penggundulan hutan, bahkan tidak hanya membawa banjir, karena mengangkut juga lumpur, dan kemudian mendangkalkan waduk-waduk yang dibangun untuk serapan air, dan kemudian limbah beracun dari aneka pabrik.
Banyaknya pabrik-pabrik dan permukiman kumuh yang pada umumnya terbangun di daerah aliran sungai (DAS), serta secara tidak bertanggung jawab membuang limbahnya secara langsung ke sungai-sungai, telah menyebabkan terjadinya pencemaran di sepanjang pantai utara Jawa.
Kondisi itu bisa terjadi akibat pemikiran kita yang kumuh. Karena pikiran sudah kumuh, maka kita merasa tidak lagi memerlukan lingkungan hidup yang sehat. Prinsip-prinsip hidup sehat bisa dilihat dari tersedianya air bersih, pengelolaan persampahan dan pencemaran yang selama ini terabaikan.
Banyak dampak yang ditimbulkan oleh kekurangan air bersih. Hampir separuh penduduk dunia yang hidup di negara-negara berkembang, kekurangan air bersih menyebabkan penderitaan bagi penduduk. Pada daerah-daerah yang kekurangan air, wabah penyakit mudah menyerang. Sebagiannya merupakan penyebab kematian yang tidak kalah ganasnya dengan penyakit lain.
World Health Organization mencatat, lebih dari 2 miliar orang di dunia saat ini mengalami penyakit diare dan muntaber yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebijh dari 5 juta anak-anak setiap tahunnya.
Banjir yang melandas ibu kota negara Jakarta, termasuk rob limpahan dari laut ketika pasang, mengingatkan kita tentang realitas buruknya akhlak terhadap sumber daya alam. Tidak hanya karena sungai-sungai dirampas fungsinya menjadi perkampungan kumuh. Lebih dari itu, inkonsistensi terhadap tata ruang kawasan utara Ibu Kota menunjukkan kenyataan pahit tahunan. Anehnya, meski siklus bencana itu selalu terjadi, tetap saja kita membiarkan perilaku tak berakhlak terhadap sumber daya alam.
Reklamasi pantai utara Jakarta, tak mempertimbangkan, kelak pada masanya, semua kemewahan yang menjadi mimpi indah hari ini di pantai utara Jakarta, akan berubah menjadi mimpi buruk. Terutama, ketika perubahan iklim terjadi, dan gunung - gunung es di kutub utara mencair. Lantas gelombang pasang, dengan ketinggian di atas rata-rata lima meter menerjang.
Kita mencatat lebih dari 5 (lima) juta penduduk miskin di kawasan pantura Jawa Barat. Padahal mereka hidup di daerah lumbung padi dan pantai. Mereka juga mengalami persoalan ketersediaan air bersih. |