Catatan Bang Sém
Ketika pusaran hidup mengulang sejarah. Situasi dan kondisi kehidupan sosio politik, ekonomi, dan budaya menghadirkan lagi masa lalu ke masa kini dengan wajahnya yang lain. Ketika itulah. suara-suara inspiratif, gelora gairah dan ghirah hari kemarin hadir membuncah. Seolah baru saja terjadi.
Dalam situasi semacam itulah, saya membaca ulang kumpulan puisi Rendra bertajuk "Potret Pembangunan dalam Puisi" yang diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan (LSP) 1980, dengan kata pengantar A(ndries) Teeuw, kritikus, guru besar sastra di Universitas Utrecht - Belanda.
Rendra memang selalu ngangeni. Kami (saya, Allahyarham Alfian Mudjani, dan Clarasinta, puterinya) sempat berbincang banyak hal, beberapa bulan sebelum wafatnya (6 Agustus 2009), di Bengkel Teater - jalan raya Cipayung, Depok, Jawa Barat. Ada juga Walikota Depok (kala itu), Nur Mahmudi Ismail.
Penyair kelahiran 7 November 1935, itu mengemukakan perihal arus besar perubahan yang akan bergerak menuju deformasi sosial yang berpangkal pada deformasi pribadi. Sesuatu yang merupakan gambaran distorsi kognitif dan afektif subyektif dari realitas sosial.
Akibat reformasi tak mampu dikendalikan oleh mereka yang tidak merasakan nafas dan jiwa gerakan reformasi 1998, namun secara sistemik diberikan tanggung jawab memimpin, deformasi sosial menjadi niscaya. Tak hanya karena secara global kebudayaan (dalam skala makro) tak diposisikan semestinya untuk menguatkan manusia dalam menghadapi kegamangan, ketidakpastian, keribetan, dan kemenduaan (sekaligus keterbelahan).
Masa yang diimajinasikan Rendra, menjadi realita sejak satu dekade kemudian. Proses penghancuran paradigma sosial dan budaya, dan penghancuran nalar publik (dalam pandangan Akademi Jakarta, 2022).
Keadaan Sungsang
Apa yang dikemukakan Rendra kala itu, meminjam pandangan Shapoval (2014) menghadapkan kita pada situasi atau kondisi hilangnya jaminan untuk kelangsungan rencana dan proyeksi jangka panjang. Sesuatu yang membawa kepribadian pada keterasingan diri dalam menemukan identitas tersembunyi, pembentukan realitas tandingan, deformasi dan penyakit sosial pribadi.
Setarikan nafas, juga menghadirkan disorientasi sosial dan intrapersonal dalam mendefinisikan perilaku maladaptif, serta hilangnya kompetensi sosial berdaya kritis dalam hubungannya dengan masyarakat dan ketidakkritisan terhadap aksi kehidupan. Saya menyebut keadaan itu sebagai keadaan sungsang sekaligus situasi paradoks.
Khasnya, ketika gambaran realitas watak manusia Indonesia sebagaimana mengemuka dalam Pidato Kebudayaan Mochtar Lubis (Taman Ismail Marzuki, 6/4/1977), nyaris tak mengalami perubahan. Yakni: Munafik (hipokrit); Tak mau bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan; Feodal; Percaya Tahayul; Artistik; dan, Lemah.
Berbagai ciri manusia Indonesia tersebut, kian menampakkan sosoknya sampai hari ini, dengan berbagai sindroma yang nampak kasad mata di mata rakyat dengan berbagai idiom yang muncrat dari mulut para politisi dan petinggi (lantaran bagi saya, kita mengalami krisis negarawan dan pemimpin). Tak pula punya elite (kaum khashshas yang sesungguhnya, yakni orang yang dengan ilmu, posisi, dan otoritasnya sungguh mengabdikan diri kepada khalayak. Melayani rakyat.
Situasi dan kondisi ini yang menyebabkan terbenamnya aspirasi dan tuntutan hati nurani rakyat, yang membuat kehidupan tak terjaga, karena mereka yang harus menjadi penjaganya terlena, hanyut dan terseret masuk ke dalam kubangan fantasi.
Rendra lewat sajaknya yang ditulis di Yogya (1974), sudah mengisyaratkan: Aku mendengar suara/jerit hewan yang terluka//Ada orang memanah rembulan./Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.// Orang-orang harus dibangunkan./Kesaksian harus diberikan./Agar kehidupan bisa terjaga.//
Berbagai peristiwa di berbagai PSN (program strategis nasional) seperti Rempang, PIK2, dan lain-lain. Juga terampasnya hutan adat Kinipan - Kalimantan Tengah, dan hutan adat Merauke dan lainnya di Papua.
Karena pembangunan tak dilakoni sebagai gerakan kebudayaan, dimensi etik menguap, mutual respect raib, pelanggaran aturan / hukum dianggap biasa. Penegakkan keadilan berhenti hanya pada penegakan hukum, pengembangan tamaddun (peradaban) berhenti hanya pada pengembangan artistika dan estetika, dan dimensi kemanusiaan hanya berhenti pada sebatas relasi insaniah.
Tangan-tangan Misteri
Kuasa negara atau otoritas pemerintahan ibarat tangan-tangan birokrasi yang rumit dan tak mudah bertemu dengan tangan-tangan rakyat, tanpa kecuali tangan mahasiswa, seperti terekspresikan dalam Sajak Tangan (Rendra, TIM Jakarta, 3/6/1977).
Tangan mahasiswa (generasi baru) menggambarkan nir kuasa. Kaum yang sedang mencari peran dan posisi: Inilah tangan seorang mahasiswa / tingkat sarjana muda / Tanganku. Astaga.//Tanganku menggapai,/ yang terpegang anderok hosstess berumbai/ Aku bego./ Tanganku lunglai //
Kini tak sedikit tangan-tangan penguasa yang sengaja menarik tangan segelintir 'oknum mahasiswa' dan 'membimbingnya' ke 'anderok hosstess berumbai.'
Sebagian bedsar tangan mahasiswa yang konsisten, menghadapi barikade birokrasi, seperti tersirat dalam larik berikut: Tanganku mengetuk pintu, / tak ada jawaban / Aku tendang pintu, /pintu terbuka./ Di balik pintu ada lagi pintu / Dan selalu : / ada tulisan jam bicara / yang singkat batasnya // Aku masukkan tangan-tanganku ke celana / dan aku keluar mengembara./ Aku ditelan Indonesia Raya.//
Pada kekinian, kuplet dalam bait-bait puisi ini menghadapkan kita pada realitas adanya political appointee atau bahkan political assignment yang kerap berubah menjadi 'tangan-tangan misteri' - invisible hand. Tangan-tangan yang berjarak dengan tangan khalayak, seperti tersirat dalam bait-bait kemudian.
Terbaca isyarat simbolis dalam makna tak tertulis, jarak antara tangan kaum terdidik dengan tangan realitas rakyat tak berdaya, jarak intuitive reason dengan realitas pertama khalayak yang menggusarkan, seperti ini: Tangan di dalam kehidupan / muncul di depanku / Tanganku aku sodorkan / Nampak asing di antara tangan beribu / Aku bimbang akan masa depanku //Tangan petani yang berlumpur / Tangan nelayan yang bergaram / Aku jabat dalam tanganku / Tangan mereka penuh pergulatan / Tangan-tangan yang menghasilkan / Tanganku yang gamang / tidak memecahkan persoalan //
Pamplet Penyair
Tangan-tangan itu berbeda dengan tangan kuasa (pengusaha dan penguasa) yang mencurigai 'tangan yang gamang.' Simaklah bait ini: Tangan cukong,/ tangan pejabat,/ gemuk, luwes, dan sangat kuat./ Tanganku yang gamang dicurigai,/disikat //
Dalam satu titik situasi tangan mahasiswa sebagai simbolisma gerakan aspiratif yang menganggit realitas aspirasi rakyat, menunjukkan dayanya, sebagaimana terjadi di tahun 1998. Begini Rendra menuliskan:
Tanganku mengepal./ Ketika terbuka menjadi cakar./ Aku meraih ke arah delapan penjuru./ Di setiap meja kantor/ bercokol tentara atau orang tua. // Di desa-desa/ para petani hanya buruh tuan tanah.//Di pantai-pantai / para nelayan tidak punya kapal.// Perdagangan berjalan tanpa swadaya./ Politik hanya mengabdi pada cuaca ...// Tanganku mengepal. / Tetapi tembok batu di depanku. / Hidupku tanpa masa depan.// Kini aku kantongi tanganku. / Aku berjalan mengembara / Aku akan menulis kata-kata kotor. / di meja rektor. //
Saya terdiam seketika membaca bagian akhir puisi ini. Seketika juga melintas berita mutakhir ihwal BEM FISIP Universitas Airlangga yang sempat dibekukan, tersebab karangan bunga terkait pelantikan Presiden dan Wakil Presiden yang dipasang, dua hari setelahnya di Taman Barat Kampus UNAIR Surabaya.
Puisi-puisi Rendra yang mencerminkan isyarat-isyarat tertentu sebagaimana pemikiran visionernya, selalu relevan untuk dibaca berulang kali di waktu yang berbeda. Kendati, menurut A. Teeuw, puisi-puisi Rendra bukan pelukisan aktualitas, bukan pula program aksi untuk merombaknya. Puisi Rendra merupakan pamplet seorang penyair, persaksian, bahwa sang penyair mendengar suatu suara - jerit hewan yang terluka.
Sebagai seorang yang bertumbuh bersamaan dengan kehadiran puisi-puisinya, bagi saya, Rendra selalu teindukan. Khasnya ketika secara berulang kita dihadapkan kembali oleh situasi dan kondisi yang selalu berulang-ulang. Seolah bangsa ini berjalan di tempat. Semogalah Rendra berada di sisi terbaik Ilahi Rabby. Karena keberadaannya dalam kehidupan di dunia, merupakan insan yang yang adanya memberi manfaat untuk manusia lain seluas-luasnya. | [PaduBonjer, 7/11/24]