Betawi Kembali ke Laut Arungi Tantangan Masa Depan

| dilihat 2544

Catatan Sem Haesy

Jum’at, 22 Juni 2018, panggung utama Pasar Seni Ancol – yang sampai Agustus 2018 nanti ‘diubahsuai’ sebagai Kampung Betawi, dikunjungi banyak orang dengan ekspresi pesona-persona Betawi.

Selepas salat Jum’at, seperti hari-hari sebelumnya di panggung itu digelar pertunjukan Lenong – performa teater rakyat yang karib dengan masyarakat Betawi. Menjelang petang, sambil duduk bersila gaya kongkow (bisa juga disebut sembang-sembang dan ngelonéng) ihwal Betawi dan seputaran peringatan Hari Jadi Kota Jakarta ke 491 tahun.

Tampak terlihat sejumlah penggiat sosiobudaya Betawi. Ada Babe Chaer, Mpok Dr. Tuti Tas, Bang Samchan – dosen Uiversitas Negeri Jakarta yang konsisten, konsekuen dan tak pernah lelah merawat literasi Betawi. Intelektual Melayu Betawi dari Bekasi – Dr. H. Abdul Choir. Pun tak ketinggalan, sastrawan Betawi produktif – anggota Dewan Kesenian Jakarta – H. Yahya Andi Saputra bersama jurnalis Betawi, Boy Achmad Buchori dan Rachmad Balang Sadeli.

Ada juga Bang Becky – Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) dan beberapa pengurusnya. Tak ketinggalan, dr. Ashari – Direktur Eksekutif Gerakan Kebangkitan (Gerbang) Betawi dan sekretaris jenderalnya, Muhammad Sulhi Rawi, tak terkecuali Bang Pendi penggiat Betawi dari Matraman, juga Bang Daeng dari Jakarta Utara. Tentu, ada juga penggiat toponimi – pengetahuan tentang asal usul tempat – Betawi, Arkeolog Betawi - Bang Candriyan Attahiyat. Beberapa seniman praktisi kesenian Betawi juga terlihat di situ, ada Bang Yoyo, Bang Ghoes, Bang Yamin Azhari, Bang Asep Setiawan, Bang Imbong, dan lain-lain.

Dari kalangan generasi muda terlihat aktivis Keluarga Mahasiswa Betawi, komika belia, peneliti budaya Betawi dari LIPI. Tak terlewatkan, tampak pula aktivis perempuan Betawi.

Tak ketinggalan terlihat Komisaris Taman Impian Jaya Ancol, Geisz Chalifah – anak Betawi kelahiran Kebon Kosong. Direktur Utama Taman Impian Jaya Ancol, C. Paul Tehusijarana. Ada juga sejarawan cerdas dan kritis yang intens mengulik Betawi, JJ Rizal, dan saya.

Ronny Adi Tenabang – Ketua Sikumbang dan salah seorang penggerak Betawi Kita, yang punya gawé bersama Pustaka Betawi dan lainnya, memoderasi kongko-kongko itu.

Adalah menarik, ketika Geisz dan Paul mengungkap komitmen Ancol  berniat menjadikan Pasar Seni sebagai sentra aktivitas budaya Nusantara, dengan menempatkan budaya Betawi sebagai core. Pernyataan ini melegakan, lantaran sejak berdirinya, Ancol lebih memainkan peran sebagai pusat rekreasi. Dengan pernyataan kedua pimpinan Ancol, itu ada harapan, Pasar Seni akan menjadi destinasi wisata berbasis budaya. Apalagi ada rencana khas menempatkan Betawi corner dalam pengertian yang semestinya. Bukan tempelan.

Pada saat itu, saya kemukakan, Betawi tak hanya etnis. Betawi sesungguhnya merupakan manifestasi budaya berdimensi peradaban, sehingga Betawi mesti dilihat dalam keseluruhan konteks membangsa – to be nation. Budaya dan peradaban Betawi menjadi telangkai, sekaligus simpul yang ‘menyatukan semua potensi budaya Nusantara yang terserak.’ Fokusnya pada integralitas budaya yang memang plural dan berbagai.

Sebagai bagian penting dari bangsa Melayu yang membentang dari Madagaskar – Malaka – hingga Maluku dan Aryan (Papua), Betawi dengan idiom Betawian yang disandangkan secara etnik, perlu memainkan peran khas, sekaligus strategis. Terutama, seperti kata Geisz, karena Betawi dalam konteks etnik merupakan masyarakat terbuka yang egaliter dan toleran.

Egaliterianisma Betawian itu yang membuatnya menjadi ruh dari pluralitas dan multikulturalisma, sekaligus sentra nilai-nilai peradaban yang sudah tumbuh sejak berabad lalu. Dan ini merupakan modal utama bagi siapa saja yang ‘mengaku Betawi’ sebagai Betawian, memainkan peran sebagai praercursor – pelopor dalam menghadapi tantangan masa depan.

Saya bersepakat dengan rumusan Peraturan Daerah DKI Jakarta (Bagian Keenam, Pasal 28, ayat (3) Peraturan Daerah No. 4/2015), yang merumuskan dimensi nilai budaya Betawi, meliputi : nilai agama, tradisi, nilai, norma, etika, dan hukum adat, jatidiri daerah dan bangsa, serta kemanaafannya bagi masyarakat. Ini merupakan modal untuk menjawab 17 tantangan ke depan: Menyelamatkan lingkungan dan bumi, Membalikkan Kemiskinan, Mengendalikan Populasi Penduduk, Mewujudkan Gaya Hidup Lestari, Mencegah Konflik Sosial dan Perang, Globalisme (termasuk Glokalisasi), Melindungi Biosfer, Meredakan Tindak Kekerasan & Kejahatan Kemanusiaan, Pembudidayaan Kreativitas dan Teknologi, Menaklukan Penyakit, Memperluas Potensi Manusia, Singularitas, Menghadapi Risiko Eksistensi (khasnya, Integritas dan Dignity), Menjelajahi Transhumanisme, Merencanakan Peradaban Lanjutan, Menjembatani Keterampilan dan Kesenjangan Kearifan Budaya, serta Pemodelan Sistem Planet.

Dari masa lalu, banyak kearifan dan kecerdasan lokal, serta kecerdasan budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang Betawian yang hidup dan berkembang di wilayah Kalapa, kawasan pesisir yang selalu menjadi incaran para penjelajah dan penjajah dunia, khasnya Eropa. Terutama karena Kalapa tempat lahir, hadir, dan mengalirnya kaum Betawian.

Dalam konteks itu, benar apa yang dikatakan JJ Rizal, hal utama bukanlah lagi berkutat hanya pada hal-hal elementer, semisal peristiwa 22 Juni 1512. Karena penentuan hari jadi kota Jakarta oleh Dewan Pwerwakilan Kota pada 11 Juni 1956, merupakan inisiatif Walikota Sudiro yang mengumpulkan sejumlah tokoh (Mohammad Yamin, Sukanto, dan Sudarjo) untuk mengulik hari jadi kota Jakarta, itu masih debatable.

Ada yang jauh lebih penting dari itu, menurut JJ Rizal yakni bagaimana menggerakkan visioneering untuk mengembalikan orientasi sosio budaya ke pantai, untuk menegaskan bahwa kita adalah bangsa bahari dan Indonesia adalah negara kepulauan. Dalam konteks budaya, visioneering berorientasi pantai seperti yang dikemukakan JJ Rizal, mengandung makna perluasan cakrawala yang lebih panoramis.

Jeli, JJ Rizal menangkap isyarat agenda Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Anies – Sandi sejak Mei 2018 lalu, yang bertumpu di pesisir utara Jakarta – mulai dari Pulau Seribu – lepas pantai Kapuk – dan Ancol. Isyarat yang mesti ditangkap oleh semua kalangan Betawian untuk mengembalikan dimensi budaya pantai, pesisir yang dinamis dan luas tak berbatas. Itulah esensi era peradaban baru ke depan, era konseptual yang melampaui era informasi dan digitalisasi.

Adalah fakta dan kenyataan, bahwa perkembangan produk budaya Betawi – bila merujuk pada begitu banyak referensi, termasuk sudut pandang creol culture – keunikan budaya, banyak dipengaruhi oleh budaya pantai. Semua terlihat dalam ragam seni pertunjukan Betawi, mulai dari zapin (jepen), cokek, gambang kromong, tanjidor, keroncong, dan musik melayu.

Geisz lekas menangkap hal ini. Ia mengisyaratkan metropolitanisma dan bukan agropolitanisma. Karena itu sejak 2016, pentas Jakarta Melayu Festival yang berskala internasional – dan melibatkan musisi dunia – digerakkannya kembali ke pantai, ke Ancol.

Betawi kudu balik ke pantai. Kembali ke garis cakrawala. Dalam konteks itu, semua pihak, termasuk Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat (kelak) mesti menguatkan akses rakyat ke pantai dengan berbagai kebijakan yang tetap mengacu pada: maju kotanya, bahagia warganya. Kota modern dan religius islami dengan pesona budaya seperti tercitrakan dalam lagu-lagu almarhum Mashabi dan Husein Bawafie, seperti disajikan selepas kongkow petang itu.

Perlu dialog scenario plan digelar Bappeda DKI Jakarta untuk melihat keseluruhan konteks pembangunan ke depan, khasnya RPJP 2025 – 2050.

Laju-laju perahu laju / Arungi samudera tak berbatas / Jakarta - Betawi teruslah maju / Transformasi terbentang luas //.

Editor : sem haesy | Sumber : foto-foto Rachmad balang Sadeli
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya