Pernyataan itu disampaikan seorang teman, Achmad, beberapa tahun lalu. Dosen asal Bajo yang hidup di Buton – Sulawesi Tenggara, ini tak jauh beda dengan orang-orang Bajo di wilayah BajoE, Teluk Bone. Pada kesempatan lain, sahabat saya, Datuk Johan Jaafar -- budayawan yang juga Chairman Media Prima (yang mengelola TV3, TV7, TV 9 Malaysia) -- asal Johor, mengekspresikan kekagumannya pada filosofi orang Bajo. Lelaki kelahiran Johor, yang serius melacak jejak nasabnya sebagai orang Bugis, ini bersoal kritis, atas cuplikan legenda orang Bajo, yang konon, bermula dari kaburnya Puteri Raja Johor ke tanah leluhurnya: Bone. Sang Puteri dan pengikutnya menetap di sana, dan tak hendak kembali lagi. Karena penerimaan orang Bugis atas Puteri Raja Johor, itu berlaku keyakinan: “Orang Bugis adalah kakak lelaki, dan Orang Bajo adalah Adik Perempuan.” Baru pada abad ke 16, mereka mengembara ke seluruh pelosok Nusantara, menjaga bahari.
Lepas dari cerita lisan, itu acapkali bicara tentang Bajo, yang selalu ada di benak saya adalah pelajaran utama tentang keberanian hidup sebagai modal utama manusia untuk selalu optimistis. Orang-orang Bajo yang oleh antropolog Perancis, François Robert Zacott, dikatakan sebagai pengembara laut, sejak lama saya yakini sebagai primus masyarakat bahari. Di manapun mereka hidup di seluruh Nusantara, paling tidak sejak abad ke 16, Orang Bajo menebarkan kesadaran asasi tentang konsistensi terhadap realitas hidup.
Tak hanya karena setiap anak Bajo, sejak lahir sudah bersinggungan dengan angin, badai, gelombang pasang dan surut, panas mentari, dan sunyi malam, sebagai habitat natural laut. Melainkan juga karena nilai-nilai dasar yang diyakininya tentang hakekat manusia, alam, dan Tuhan sebagai integralitas hidup dan kehidupan. Inilah yang kemudian berkembang, antara lain, dalam filosofi hidup yang bertumpu pada dua dimensi: dalamnya pemahaman atas prima kausa manusia, dan tinggi tak terbatasnya eksistensi Tuhan. Dalamnya kearifan dan tingginya kecerdasan, disertai luasnya cakrawala pengetahuan.
Karenanya, orang Bajo dalam pemahaman saya adalah potret nyata masyarakat yang mempunyai kekuatan harmoni dalam berinteraksi dengan alam, berrelasi dengan sesama manusia, dan berhubungan religi dengan Tuhan. Karakteristik orang Bajo adalah cermin bening ihwal manusia bahari. Manusia yang tak berhenti memandang laut lepas sebagai panorama alam, karena mereka menyambangi setiap dimensinya sebagai realitas dan oportunitas, yang hanya bisa didapat oleh mereka yang berani hidup dan optimistis. Mereka yang berani hidup dan optimistis, selalu paham hakekat harmoni dalam kesetaraan manusia.
Melihat eksistensi Orang Bajo, dari pengalaman Zacott, kita menemukan realitas keteguhan dalam memandang realitas: fenomena dan dinamika. Laksana lelaki Bajo beramsal : Sanggai la ai sanggai batitu, ngire mandore ngire manditu. Ningkinda ai ningkinda batitu, ada mandore ada manditu. (Angin manakah yang bertiup ini, ia bertiup di sana dan di sini. Gadis manakah ini, kadang mau ini dan kadang mau itu). | Bang Sem