Syukuri Saja Dulu

| dilihat 352

[ Pesan Bang Sém kepada Anak, Menantu dan Cucu ]

Lorong gelap menuju masa depan, khasnya konsolidasi demokrasi, masih panjang. Boleh jadi masih enam puluh purnama lagi. Jadi syukuri saja dulu berkas-berkas cahaya yang melintas sekelebat atau yang terus menemani langkah kita.

Salah satu sinar kecil yang menawarkan remang di lorong gelap ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 62/PUU-XXII/2024 (Kamis, 2/1/25) yang serta merta menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atawa presidential treshold.

Ketua MK, Suhartoyo menyatakan "mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," seraya menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum -- Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109 -- bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."

Dengan demikian, tak berlaku lagi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.

Permohonan untuk menguji pasal ini sudah berkali-kali dilakukan. Alhamdulillah, permohonan gugatan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh para pemohon:  Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirl Fatna, akhirnya dikabulkan.

Negeri Paradoks

Pernyataan hakim konstitusi Suhartoyo, itu memberi isyarat, MK sebagai penjaga konstitusi sedang kembali ke garis azimuth-nya sebagai penjaga konstitusi. Pernyataan tersebut, boleh kita pahami, menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik.

Maknanya adalah kita akan boleh meyakini akan memasuki fase konsolidasi demokrasi yang memungkinkan kuasa dan kekuasaan tak lagi bisa ditekuk dan dibekuk oleh oligark politik.

Tinggal lagi, bagaimana kita sebagai rakyat terus berupaya tanpa henti meningkatkan kesadaran untuk semakin melek dan cerdas politik. Tentu dengan bergiat melakukan pendidikan politik bagi rakyat, lantaran fungsi yang melekat pada partai politik, itu selama ini diabaikan begitu saja oleh politisi dan petinggi partai.

Di negeri paradoks. Negeri kaya politisi miskin negarawan, kaya pejabat miskin pemimpin, surplus petinggi minus elite politik, surplus akademisi dan kaum terdidik minus intelektual, upaya menempa dan meningkatkan kualitas diri menghidupkan kesadaran berbangsa dan bernegara adalah kewajiban dan tanggungjawab setiap kaum terdidik.

Kita tak bisa tidak, harus melintasi lorong gelap zaman sungsang yang diayun gelombang ketidak-pastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan (atawa keterbelahan). Terus berusaha memantik nyala api dan cahaya sambil berteriak. Kendati seringkali para pemantik api dan cahaya untuk menerangi lorong gelap ini, dianggap sebagai musuh, pelanggar aturan dan ketentuan sarat kepentingan yang mereka buat.

Mutual Respect

Saya juga berysukur, menyambut pergantian tahun 2024-2025, di Balaikota Jakarta Raya, sejumlah mantan tokoh yang pernah menjabat Gubernur dan memimpin Jakarta -- kecuali petinggi yang numpang lewat saja -- dan calon Gubernur - Wakil Gubernur Jakarta Raya bersukacita. Menunjukkan kepada khalayak, bagaimana indahnya silaturrahmi dan persatuan.

Mereka telah bersama-sama dan sendiri-sendiri menorehkan imajinasi Jakarta yang dua tahun ke depan akan memasuki masa lima abad. Masa yang sangat panjang melintasi lorong gelap untuk mendapatkan misykah bagi meletakkan cahaya peradaban, cahaya zaman bagi kota yang sejak lampau merupakan kota global, meski selalu hendak dijadikan kota gombal dan digombali dengan aturan perundang-undangan tentang ibu kota negara.

Mereka menorehkan pendapat dan harapan mereka di kain 'bentang harapan JakASA,' yang menyadarkan kita, masih ada harapan. Dan di ujung lorong gelap yang panjang ini, kelak akan ditemui cahaya.

Kita juga patut mensyukuri, di tengah gelap remang penindakan berbagai kasus korupsi (dalam makna yang luas) dan semburan bercak noda korupsi di wajah bangsa -- yang menjadi percakapan global -- masih banyak kaum intelegensia yang terus lantang bersuara. Meneriakkan kebenaran dan keadilan, dengan atau tanpa pelantang suara.

Teriakan tersebut menandai, bahwa akal budi yang memelihara harmoni nalar, nurani, naluri, rasa dan indria tak sepenuhnya luruh dan lantak di hempas gelombang besar kepandiran. Teriakan yang masih mengingatkan kita untuk menghidupkan daya mutual respect antar anak-anak bangsa. Menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta berakar kemanusiaan.

Jadi, syukuri saja dulu percik api kesadaran itu. Caranya, terus dan tak henti berupaya kolektif menyalakan api kesadaran kebangsaan.. Jangan lelah memelihara optimisme ! |

Editor : delanova
 
Seni & Hiburan
19 Nov 24, 08:29 WIB | Dilihat : 774
Kanyaah Indung Bapak
20 Jul 24, 21:32 WIB | Dilihat : 1591
Voice of Baceprot Meteor dari Singajaya
Selanjutnya
Sporta