Senyum

| dilihat 1968

DALAM suatu pelatihan beberapa hari lalu di Banda Aceh, saya meminta seluruh peserta berlatih dan membiasakan diri tersenyum dalam keadaan apapun. Seorang peserta, perempuan belia, berusia 24 tahun mengacungkan jari.

“Senyum sembarang waktu? Tanpa jeda? Kepada siapa saja?,” tanyanya.

“Ya. Senyum itu ibadah.”

“Baiklah. Saya coba, Pak.”

Perempuan cantik inipun tersenyum.

Seorang peserta lain, komandan satpam angkat jari. “Tugas dari bapak lumayan berat buat saya,” katanya.

Menurut pengakuannya, ia tak terbiasa senyum. Karena senyum tidak diatur dalam strandar operating procedures seorang satpam.

“Bagaimana mungkin saya harus selalu tersenyum?”

“Ya, mungkin. Bukan karena Anda komandan satpam, lalu Anda tak boleh tersenyum. Bahkan terhadap orang yang Anda curigai,” kata saya.

Peserta lain, mantan demonstran mengacungkan jari.

“Bapak kok ngajarinnya aneh-aneh aja. Sungguh mati, saya sulit tersenyum. Saya hanya bisa tertawa terbahak-bahak sambil mencibir. Kemudian dengan pongah memaki-maki,” serunya.

Peserta lain, seorang ibu, hampir setengah baya. “Nah, ini tugas yang ringan. Sehari-hari saya memang harus tersenyum menghadapi begitu banyak orang dari beragam kalangan. Maklum, sebagai teller, meski sedang suntuk, saya harus senyum menghadapi nasabah,” serunya. 

Ternyata, tak semua peserta bisa tersenyum. Ketika berpapasan dengan sesama peserta saat jeda, mereka malah tertawa ngakak, menertawakan senyum itu sendiri. Padahal, tersenyum merupakan aksi kehidupan yang tak sulit.

Ketika saya menjelaskan cara tersenyum, ruangan pelatihan riuh oleh tawa. “Bersikap entenglah. Kemudian tarik ujung bibir, sehingga tertarik ke pipi kiri dan kanan. Cukup,” seru saya. Semua mengikuti. Tapi, lagi-lagi berakhir dengan derai tawa.

“Mungkin karena senyum sangat berhubungan dengan suasana hati, untuk mencapai senyum tulus dan bukan senyum basa-basi, ternyata tidak mudah,” seru seorang peserta.

Semuanya tertawa ketika saya bilang, senyum itu merupakan bagian dari strategi menghadapi aneka suasana dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai senyum yang tulus, mengekspresikan pribadi yang arif, kita perlu melatih seluruh anasir jasmani dan ruhani. Meskipun senyum berhubungan dengan jasmani, khasnya bibir, tapi keindahan senyum ditentukan justru oleh keelokan budi dan pekerti kita.

Mungkin karena sudah terlalu lama kita tak belajar lagi budi pekerti dan hidup dalam suasana depressif dan understressed, cara tersenyum pun kita lupa. Tersebab itulah, ada baiknya, sebelum kita melakukan aktivitas rutin di setelempap ruang sangat privasi atau sedang melakukannya, berusahalah melatih diri tersenyum.

Mudah-mudahan senyum kita, menjadi senyum Indonesia yang indah... Senyum yang lahir dari keikhlasan menerima dan menjalani realitas hidup dengan sukacita..

Editor : administrator
 
Humaniora
06 Mar 25, 02:43 WIB | Dilihat : 651
Buka Puasa Bersejarah di Istana Windsor Inggris
04 Mar 25, 03:55 WIB | Dilihat : 455
Shaum di Zaman Sungsang
31 Jan 25, 05:17 WIB | Dilihat : 898
Keserakahan
Selanjutnya
Sporta