Menjadi Kakek Nenek Cerewet di Rumah Indonesia Raya

| dilihat 544

Bang Sém

Mencermati dinamika perkembangan masyarakat Indonesia sejak hampir sepuluh tahun terakhir dan memuncak pada seluruh rangkaian proses Pemilihan Presiden 2024 nan berujung pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak bulat (karena tiga dari delapan hakim) menyatakan dissenting opinion yang sangat asasi. Keputusan MK tersebut menunjukkan, legitimasi atas Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 tidak utuh.

Sebagai rakyat yang mesti menyadari keberadaannya sebagai pemilik daulat yang sesungguhnya, dan tidak terbeli oleh aksi politik transaksional pragmatis, kita mesti memainkan peran strategis sebagai pemilik daulat yang sah. Menghidupkan terus sikap kritis dan tanggung jawab kebangsaan. Tanpa kecuali melakukan kontrol terhadap wakil rakyat agar tak sesuka hati mengubah posisinya sebagai wali rakyat.

Harus terjadi aksi simak dan imbang (check and balances) atas seluruh tata kelola pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan rakyat. Khasnya dalam mempertegas dan memperkuat pengawasan. Tanpa kecuali (dan khususnya) ihwal kontrol sosial dan politik.

Dalam konteks ini, kaum cendekia yang konsisten dan konsekuen dengan peran fungsionalnya sebagai suluh bangsa, jangan pernah lelah dan bosan melakukan eksaminasi atas keputusan formal yang kadung dianggap sah dan absah. Antara lain melakukan proses pencerdasan dan penajaman akal budi. Sikap kritis sedemikian adalah tanggung jawab warga negara dan warga bangsa. Bukan sebagai 'gangguan' atas seluruh aksi penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Kaum cendekia mesti dengan kesadaran kolektif melakukan berbagai dialog. Di masa lampau, sekitar abad ke-16, tradisi dialog, bertukar gagasan, sikap, dan pemikiran menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan dimensi  budaya (terutama filosofi, ideologi, dan laku kehidupan nyata). Salah satu tradisi itu berkembang di Sulawesi Selatan (kini).

Para tokoh cendekia pada masa itu, seperti La Pagalla yang populer disebut Nene' Mallomo (Sidrap - Sidenreng dan Rappang), Kajao Laliddo (Bone), Arung Bila (Soppeng), La Megguk - Macca e (Luwu), Puang ri Maggalatung (Wajo), dan Boto Lempangan (Gowa).

Pertemuan kaum cendekia untuk melakukan eksaminasi dan kontrol penyelenggaraan pemerintahan, itu disebut sebagai Tudang Sipulung Cenrana (Di Jawa, khasnya Ceribon, pertemuan kaum cendekia itu disebut Gotrasawala yang digagas dan dipimpin oleh Wangsakerta).

Pertemuan tersebut menghasilkan berbagai nilai dan norma budaya (mencakup seluruh aspek kehidupan) yang dikenal sebagai pangadereng, pedoman norma dan etika dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan negara yang transformatif untuk selalu berkarya lebih baik.

Hukum Tak Kenal Anak Cucu

Salah satu pedoman yang sampai kini masih relevan, misalnya, prinsip penegakan hukum dan konstitusi berkeadilan: Naia Ade' Temmakkeana Temmakkeappo (hukum tidak mengenal anak cucu). Dalam dimensi ke-kini-an kita kenal dengan pedoman etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemerintahan dan negara, bahkan penyelenggaraan wilayah domestik (keluarga).

Focal concernnya, antara lain: Pangadereng ade' - laku yang memantik dan mengembangkan laku hidup berkeseimbangan, mappasilasa;  Bicara - cara berkomunikasi yang saling menyehatkan dan memuliakan akal budi, mappasisau, keteladanan - rapang, dan mappasenrupa yang bisa dipahami sebagai laku kebaikan pemimpin sebagai roll model; Wari - tata laku dalam perbuatan yang tahu membedakan kepatutan dan ketidakpatutan, mappalaiseng; dan, Sara.' Kesemuanya terintegrasi dalam prinsip siri' yang kerap kita dengar sebagai nilai kebajikan utama masyarakat Bugis.

Menurut cendekiawan sohor Bugis, Prof. Mattulada (1968), Pangadereng dapat dipahami sebagai keseluruhan norma yang menata perilaku pemimpin dan khalayak terhadap sesamanya manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik. Perilaku baik yang mendorong dinamika masyarakat dalam dan menuju puncak-puncak kebajikan. Pangadereng dibangun dan berkembang di atas berbagai anasir yang saling menguatkan, menandai integritas.

Prinsip penegakan hukum dengan titik berat pada penegakan keadilan di atas kejujuran, ketegasan, dan keberanian yang kuat, sebagaimana dikemukakan Nene' Mallomo, Naia Ade' Temmakkeana Temmakkeappo, berpijak pada landasan kesetaraan dan keadilan yang dilakukan secara konsisten dan konsekuen (ingat kembali bagaimana integritas diri Jaksa Agung Baharuddin Lopa).

Dalam prinsip demikian, perbuatan hakim yang menggunakan hukum bagi anak dan kemenakan (keluarga) tak hanya melanggar etik, jauh dari itu dapat dipahami sebagai perbuatan kejahatan budaya. Karena tindakan demikian berdampak buruk secara luas bagi keseluruhan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance dan good government). Tata kelola yang memenuhi asas transparansi (kejelasan), akuntabilitas (kebertanggung-jawaban atas perilaku jujur dan etis dalam mengemban amanah), responsibilitas - tanggung jawab, independen - mandiri, fairness - wajar.

Dalam konteks demikian, Nene' Mallomo memberikan indikator kualitas pribadi manusia pemberi amanah (rakyat) dan pengemban amanah (penyelenggara pemerintahan dan negara). Yakni: Macca - cerdas cendekia; Malempu - jujur, Magetteng - konsisten, Warani - berani, Mapato - rajin, Temmapasilengang (adil), dan Deceng Kappang (rendah hati - menghormati orang lain).

Nenek dan Kakek Cerewet

Indikator kualitas dan integritas pribadi demikian, dalam pandangan Nene' Mallomo dipedomani oleh nilai dan norma (sekaligus orientasi minda), yang dikenal sebagai 5 (Lima) M : Masappa (mencari rezeki halal), Mabbola (menegakkan rumah dari rezeki yang halal), Mappabotting (kolaboratif - solid yang diikat oleh silaturrahmi), Mattaro Sengareng (rendah hati dan ikhlas), dan, Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji - menyempurnakan arkan).

Dalam budaya Jawa, juga berlaku prinsip nilai 5 (lima) M yang menjadi marka nilai dan norma hidup yang memberi marka hidup bagi penyelenggara pemerintahan - negara dan rakyat, yang tak boleh dilanggar. Yakni : Maling (mengambil harta dan hak orang lain, termasuk korupsi); Main (Berjudi - termasuk dengan nasib); Madat (melakukan sesuatu yang memabukkan, tanpa kecuali mabuk kuasa), Madon (berzina termasuk 'melacurkan diri' dalam urusan politik), dan Mateni (membunuh, baik dalam makna sebenar, juga membunuh karakter dan menghambat karir orang lain).

Dalam budaya Sunda, dikenal citra integritas diri: Montong teuing kanu sejen ka dirina inyana sorangan oge tara bohong (jujur sejujur-jujurnya); Tara sirik, tara jail, tara hasud najan ka musuh (Mampu melihat dengan cinta: berbaik sangka, meskipun terhadap musuh. Fair - wajar); Hade lampah, hade peta, hade ucap, hade budi (berbudi luhur dengan segenap kemampuan akal budi yang dimilikinya); Pangaweruh jeung pangartina mudu mapadanan (kemampuan memahami realitas dan mampu memberikan solusi terbaik).

Kesadaran untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas diri dalam menjalani kehidupan, sebagai apa pun, terutama dalam manifestasi penyelenggaraan pemerintahan negara, mesti berangkat dari perspektif atau cara pandang berkesetaraan antara penyelenggara pemerintahan dan negara dengan rakyat. Kesadaran akan kesetaraan sebagai pangkal penegakan keadilan, dalam budaya masyarakat Ternate berangkat dari perspektif, "jou se ngofa ngori" ( apa yang ada padamu ada padaku, apa yang ada padaku ada padamu).

Nilai ini membentuk pertalian rasa yang mengemuka dalam etika pada habitus sosial yang dihidupkan oleh sikap tahu diri secara proporsional: "Fala ta mataka-taka, Dego-dego to ruraka. Hau fa matai pasi, Moro-moro fo maku ise. Sagadi no ngolo-ngolo.,,, Hai i jurusu kore la ua to ngolo ngolo, To ruraka mau limau." (Rumah yang aku tidak biasa, Malu menduduki kursinya. Bercerai berai dalam ikhtiar, Bersepakat dengan nasihat moyang. Jangan bersampan ke laut lepas, Cadik perahumu bambu muda..... Kubersampan ke laut lepas, Karena ku malu akan pangkalannya) -  (Syair Dola Bololo)

Semua bertolak dari komunikasi dan interaksi berbasis kejujuran. Seperti nasihat Nene' Mallomo kepada (sekurang-kurangnya) tiga golongan penyelenggara pemerintahan dan negara (Tellu tau kupaseng), yakni  Arung Mangkauk E (Maharaja);  Pabbicara E (Penegak hukum); dan Suro E (Aparatur) : "Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran... Berlaku jujurlah, peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab yang disebut kejujuran (dan) tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Karena itu, kejujuran takkan mati, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur.”

Pada kekinian dan hari esok, antara lain, kaum cendekia mesti memainkan peran sebagaimana Nene' Mallomo dan para cendekia berperan dalam memandu dan mengontrol perilaku penyelenggara pemerintahan dan negara, dari yang paling atas sampai yang paling bawah. Itulah yang mesti disuarakan melalui beragam medium, saluran dan formula melalui beragap cara dan ekspresi sikap. Paling tidak menjadi 'kakek dan nenek cerewet (untuk menghalau keruwetan dan birahi kekuasaan) di rumah kita. Rumah Indonesia Raya.' |

Penulis Waran

Editor : delanova
 
Energi & Tambang
Sporta