Bang Sém
Ketika angka-angka semakin rentan dimaknai sebagai takaran dan kata-kata dipisahkan dari makna sebagai takaran dalam kompetisi kepemimpinan, yang akan terlahir adalah riuh gaduh berkepanjangan.
Dimensi kemanusiaan luruh bersama luruhnya kejujuran sebagai inti sekaligus ruh kualitas insaniah manusia. Cita-cita dan tujuan hidup bermasyarakat, bernegara dan berbangsa yang sederhana (hidup bahagia sejahtera dalam keadilan bagi semua) menjadi rumit. Tumpang tindih oleh ambisi dan kehendak berkuasa dengan kepentingan sesaat, yang boleh jadi sesat.
Dalam situasi demikian, seringkala hakikat rakyat sebagai pemilik daulat, terabaikan dan diabaikan. Politik sebagai suatu perangkat demokrasi untuk melakoni cara mencapai harmoni atau keseimbangan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, akan kian terpuruk.
Rakyat akan menghadapi ketimpangan dalam tata kelola negara dan pemerintahan, para petinggi akan terjebak dalam situasi tengak-tenguk.
Para pemimpin sebagai kaum khashshas (elite) sebagai suluh kehidupan dengan ilmu dan pengalaman bersama rakyat akan tersingkirkan dan disingkirkan. Lantaran hak dan tanggung jawab yang mereka tunaikan, hanya menjadi bilangan yang tak lagi berdaya.
Bayangkan, apa jadinya suatu negara bangsa yang dijauhkan dengan pemimpin dan rakyatnya, dikelola hanya oleh para petinggi dengan segala syahwat kuasa dengan aksi sesuka hati?
Jangan Tergoda
Ironi peradaban suatu negara bangsa, akan segera hadir sebagai babak baru lakon kehidupan yang kian jauh melenceng dari cita-cita dan tujuan para pemimpin pejuang, tak lagi mampu menemukan azimuth-nya.
Bersyukurlah mereka yang meski susah sungguh, konsisten dan konsekuen berada di dalam barisan negarawan, pemimpin, cendekiawan, dan ruhaniawan yang bukan sekadar politisi, petinggi, akademisi, dan pemuka agama.
Pergerakan mereka yang konsekuen dan konsisten bergerak di jalan tujuan dalam panduan raksi azimuth: kemerdekaan sejati, kebenaran, keadilan, dan kesetaraan. Teruslah melangkah untuk mewujudkan hakikat kesejahteraan dan kebahagiaan kolektif.
Melangkah di jalan pendakian memang berat dan tak mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang menghadang. Namun jelas akan menuju ke puncak peradaban baru. Peradaban yang dibangun oleh kesadaran mencapai kesejahteraan semesta atau universe prosperity.
Di jalan pendakian itu, mereka yang konsekuen dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan negara bangsa yang dirumuskan para pemimpin pejuang - para pendiri di masa lampau, akan banyak menemukan peluang-peluang baru. Sekaligus cakap dan jernih melihat kekurangan dan kelemahan diri sendiri, sehingga mampu merumuskan dan mewujudkan kekuatan baru bangsa yang diperlukan oleh generasi esok.
Jangan pernah lelah dan patah semangat. Ruang untuk terus menghidupkan kesadaran kolektif dan entusiasme melakukan upaya nyata menyelamatkan bangsa akan kian terbuka. Jangan pernah tergoda oleh tawaran-tawaran menjadi bagian dari kuasa dan kekuasaan. Bukan karena menolak upaya rekonsiliasi yang akan banyak diumbar, melainkan karena (terutama) perlunya menegakkan kebenaran dan menggelar keadilan.
Pendakian
Allahyarham WS Rendra (1935-2009), di tengah gebalau para petinggi pemerintahan dan negara melakukan represi pernah berseru: "Orang-orang harus dibangunkan/Kesaksian harus diberikan/Agar kehidupan terjaga."
Seruan ini merupakan seruan asasi bagi para pemimpin, negarawan, cendekiawan di seluruh lapangan kehidupan kini dan esok, ketika arus besar penghancuran nalar publik terus menghambur dengan segala wujud kepandiran ideologis yang ditekuk oleh transaksi dan prgamatisme politik.
Hidup adalah pendakian mencapai puncak kemuliaan insani yang akan berkembang menjadi kemuliaan kolektif khalayak, negara dan bangsa. Jalan itu jalan yang sempit.
Di masa lalu, kala perjuangan kebangsaan sedang melintasi fase yang peling, Bung Hatta mengungkapkan, "Tiap-tiap langkah menuju cita-cita yang mulia mesti mendapat alangan dan rintangan. Jalan yang ditempuh penuh dengan onak dan duri. Kanan dan kiri ranjau menanti. Inilah satu cobaan dunia, mengukur iman dan rukun manusia yang mengatakan, ia punya cita-cita... Bertambah jauh kita berjalan, bertambah sukar dan sempit lapangan perjuangan. Bertambah keras pergerakan rakyat menghendaki watak dan pekerti, sabar dan ketetapan hati." (Daulat Rakyat, 1933).
Situasi demikian kini berulang. Suasananya berbeda. Kita tidak lagi menghadapi penjajah Belanda, melainkan bangsa sendiri. Bung Karno pernah mengingatkan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (10/11/61).
Karenanya, kita perlu mengingat seruan Panglima Besar Jendral Soedirman, "Hendaknya perjuangan kita harus kita dasarkan pada kesucian... Jika kekuatan lahir kalah kuat, maka tak ada jalan untuk menang kecuali dengan mengandalkan kekuatan batin... Tak ada yang lebih kuat dari kelembutan, tak ada yang lebih lembut dari kekuatan yang tenang.” |